Tidak ada keberlanjutan tanpa kesejahteraan - Bagian 2. Sosial
Read in English
Pemberdayaan datang dari dalam diri kita. Di perusahaan, pemberdayaan dimulai dari sisi internal. Seperti yang disebutkan dalam bagian pertama serial ini, keberlanjutan mencakup aspek-aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi. Merek yang tidak bisa memenuhi kebutuhan dasar pegawai tidak bisa dibilang merek berkelanjutan.
Psikolog Abraham Maslow merumuskan kesejahteraan seseorang ke dalam hirarki kebutuhan dasar yang terdiri dari lima tingkat, yaitu fisik, rasa aman, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan fisik terdiri dari pangan dan keuangan atau upah layak. Rasa aman termasuk kepastian kerja dan kebutuhan akan rasa aman di dalam lingkungan kerja, baik secara fisik maupun mental. Sosial merujuk pada rasa memiliki dan bisa datang dari kolega kerja. Penghargaan datang dari sikap menghargai yang diberikan rekan kerja. Aktualisasi diri merujuk pada prestasi di tempat kerja.
Memastikan kesejahtaraan pegawai di tatanan rantai pasokan dan produksi adalah faktor yang paling rumit. Pegawai atau buruh sangat rentan terhadap kondisi kerja yang tidak layak, jam kerja panjang, dan upah rendah.
Menurut Dian Septi Trisnanti, perwakilan Forum Buruh Lintas Perempuan (FBLP), yang dibutuhkan oleh buruh garmen adalah upah layak dan kerja layak. Meskipun buruh garmen yang ia wakili bekerja di pabrik besar yang memproduksi produk untuk merek-merek global, banyak yang mendapatkan makanan dan air minum yang tidak layak konsumsi.
“Produksi garmen berjalan sesuai kuota. Setiap bagian pakaian, mulai dari lengan, kerah, sampai jahitan akhir, dikerjakan oleh tim-tim terpisah. Satu buruh biasanya harus menyelesaikan 50 sampai 75 pieces dalam 20 menit. Mereka kerja delapan jam per hari. Banyak yang lewatin makan siang dan kerja lembur untuk mencapai kuota,” ucap Dian.
Yang paling berbahaya adalah ketika buruh menahan diri untuk tidak ke toilet demi mengejar kuota. Dengan ritme kerja seperti itu, tidak heran buruh yang sedang hamil sering mendapatkan perlakuan tidak adil dan pemotongan gaji.
“Omnibus Law adalah ancaman besar bagi buruh garmen. Peraturan itu memperbolehkan buruh jadi pekerja kontrak selamanya,” tambah Dian. Pada umumya, pegawai kontrak dan pegawai tetap mendapatkan fasilitas yang berbeda di tempat kerja.
Alasan lain mengapa peraturan tersebut adalah ancaman besar bagi buruh adalah karena Omnibus Law membiarkan perusahaan dan buruh menegosiasi persyaratan masing-masing. “Seolah-olah posisi perusahaan dan buruh sama, padahal kan enggak. Perusahaan kasih perintah, buruh mengerjakan. Kontrak berpotensi mengintimidasi buruh untuk tidak membentuk serikat pekerja.”
Serikat pekerja lazim ditemui di pabrik. Anggota serikat biasanya menegosiasi atau berjuang untuk mendapatkan fasilitas. “Mobil antar-jemput untuk buruh perempuan yang kerja shift malam itu hasil serikat pekerja,” kata Dian.
Buruh pabrik sering dianggap sebagai pekerja yang mudah diganti karena sifat pekerjaan yang berulang tidak memerlukan keterampilan khusus, ditambah lagi dengan banyaknya jumlah penduduk Indonesia yang berada di kelas ekonomi menengah ke bawah. Sebagian dari mereka tidak memiliki banyak pilihan. Bekerja berjam-jam di pabrik lebih bagus daripada kelaparan di jalanan.
Untuk merek-merek yang mengalokasikan produksi ke pabrik lain, kondisi buruh di balik mesin sering terabaikan karena para pendiri perusahaan tidak mengunjungi pabrik setiap hari, apalagi jika pabrik tersebut berada di kota lain atau negara lain.
Beberapa merek terkenal menyatakan mereka tidak bekerja sama dengan pabrik yang mempekerjakan buruh kontrak. Namun, yang terjadi di lapangan adalah merek X bekerja sama langsung dengan pabrik A dan pabrik A hanya mempekerjakan buruh tetap. Akan tetapi, pabrik A pun mengalokasikan pesanan ke pabrik lain yang mempekerjakan buruh kontrak. Praktek tersebut dikenal sebagai CMT (cut, make, trim).
Di atas hitam dan putih, merek X hanya bekerja sama dengan pabrik A yang mempekerjakan buruh tetap. Pabrik lain yang dialokasikan tidak termasuk di dalam kontrak karena kerja sama mereka hanya dengan pabrik A.
Di sisi lain, salah satu pendiri merek perhiasan perak Tri Hita Karana (THK), Phoebe Carolyn, menempuh jalan yang berbeda dalam memperlakukan pengrajin yang memproduksi koleksi perhiasannya. Menurut Phoebe, ada perbedaan antara mempekerjakan dan memberdayakan.
“[Dalam hal] pemberdayaan berkelanjutan, model bisnis harus berkelanjutan [juga]. Contohnya, satu brand baju bilang mereka memberdayakan perempuan karena mempekerjakan ibu-ibu. Apakah itu pemberdayaan? Pemberdayaan dan mempekerjakan beda karena memberikan pekerjaan dan membayar upah adalah mempekerjakan,” kata Phoebe.
“Pemberdayaan harus ada dalam pikiran kita supaya orang-orang yang kita berdayakan memiliki kemampuan dan kekuatan untuk sukses secara mandiri tanpa kita.”
Pada awal tahun 2020, THK meresmikan rumah yang dibangun untuk para pengrajinnya di Kendari, Sulawesi Tenggara. Kabar tersebut menyebar dengan cepat dan upaya mereka menginspirasi wali kota Kendari untuk lebih memerhatikan pengrajin perak ke depannya.
THK saat ini memiliki dua lokakarya, di Bali dan Kendari. Lokakarya dan alat-alat sepenuhnya dimiliki oleh para pengrajin. “Mereka nanya apakah boleh ambil pesanan dari orang lain. Tentu saja boleh. Itu membuktikan mereka membaik.”
Kesehatan mental termasuk faktor lain yang dipikirkan oleh THK. Mengambil jurusan psikologi membawa keuntungan sendiri bagi Phoebe. Dia bisa menyesuaikan cara berkomunikasi dengan tiap pengrajin.
Sampai saat ini, menjelaskan semua hal secara menyeluruh masih menjadi strategi terbaik. Menimbang latar belakang para pengrajin, menjelaskan sebab-akibat dari sebuah tindakan adalah sebuah keharusan. Misalnya, “Jika mereka terus menerus melakukan kesalahan, mereka akan kehilangan pesanan dan itu akan berpengaruh pada pemasukan mereka.”
Phoebe juga menyesuaikan gaya kepemimpinannya. Daripada memotong upah pengrajin ketika mereka melakukan kesalahan, ia memilih untuk menghapus bonusnya. Kalau tidak berhasil, ia akan memberikan peringatan lisan. Bersikap ramah dan tegas pada saat yang bersamaan memerlukan semangat dan kesabaran.
“Kita invest di manusia untuk menghindari turnover rate yang tinggi. Itu tidak bisa diaplikasikan ke semua bisnis. Jika kamu tidak passionate di usaha sosial, mending tidak dilakukan karena para pengrajin tersebut sudah memikul banyak trauma.”
Pengrajin perak berasal dari Kendari. Industri perak sempat mati ketika Belanda meninggalkan Indonesia, karena mereka adalah konsumen utama perhiasaan perak. Industri perak lalu menyebar ke kota-kota lain, seperti Yogyakarta dan Bali.
“Kita, para milenial, datang dan mencoba jadi pahlawan dengan memberi harapan dan membuat mereka percaya, dan jika kita mematahkan kepercayaan mereka, pikiran jelek akan muncul lagi. ‘Kenapa kita harus ngerjain ini?’ Banyak yang tidak pikir sejauh itu karena memulai brand sangat gampang sekarang. Kita tidak tau bagaimana suatu hal bisa memengaruhi orang.”