TFR

View Original

Mengatasi pelecehan seksual ketika pendidikan seks dilarang - Bagian 3

Read in English

Beberapa bulan lalu, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera Almuzzammil Yusuf menuduh Universitas Indonesia mendorong mahasiswa baru untuk mempraktikkan seks bebas. Tudingan itu berakar pada materi kekerasan seksual dalam program orientasi mahasiswa baru tahun ini. Materi tersebut menggarisbawahi pentingnya persetujuan seksual.

Almuzzammil bukan satu-satunya yang memiliki pandangan seperti itu mengenai pendidikan seks. Beberapa hari lalu, seseorang mengunggah tweet diagram organ seksual yang digambar oleh siswa SMP dan menuduh mereka cabul. Di dalam masyarakat yang sangat paranoid terhadap pendidikan seks ini, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah kekerasan seksual?

Kekerasan seksual begitu lazim terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari sampai-sampai sebagian dari kita mungkin menjadi kebal. Bagi perempuan, berada di ruang publik saja sudah dianggap sebagai undangan bagi segala macam bentuk perhatian yang tidak diinginkan. Di luar rumah, kita di-catcall setiap hari. Bahkan ruang digital pun tidak sepenuhnya aman

Sebagai staf pemasaran di Nipplets, Catherine harus berada di garis depan untuk menerima foto-foto penis yang dikirim secara sepihak, yang sudah tak terhitung jumlahnya, ke akun Instagram Nipplets @nipplets_official. Pengalaman itu sangat mengganggu, tetapi Cath kemudian mendidik dirinya sendiri dan meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menegaskan bahwa mengirim foto-foto seperti itu tidak diperbolehkan. Prioritas tim Nipplets adalah menciptakan ruang yang aman bagi semua orang, sehingga mereka sampai-sampai memblokir sumber gangguan.

Berhubung pengalaman ini datang seiring dengan pekerjaannya, Cath juga ingin berbagi tips kepada pengelola akun media sosial mengenai cara menangani situasi seperti itu. “Dengan kekuatan sebesar yang dimiliki influencer, pengelola media sosial dapat meningkatkan kesadaran tentang betapa buruknya hal itu dan mulai mendidik masyarakat, terutama para pelakunya,” ujarnya.

Ini menimbulkan pertanyaan: mengapa orang bisa dengan mudahnya mengirim foto penis tanpa kehendak penerimanya?

Di bagian kedua serial ini, Dr. Elizabeth Kristi Poerwandari M.Hum, profesor di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, mengatakan kepada TFR bahwa orang-orang mengirim foto penis tanpa kehendak penerimanya sebagian besar karena pikiran-pikiran yang didorong oleh hasrat seksual, dorongan untuk mendominasi, dan "anggapan bahwa wanita akan senang menerimanya." Penelitian yang saat ini dijalankan oleh mahasiswanya menemukan bahwa berbagai dorongan ini tidak dibatasi oleh jenis kelamin, karena sejumlah perempuan juga melakukannya.

Perilaku yang ditimbulkan dari budaya internet juga bisa jadi merupakan penyebab utamanya. “[Hal ini] menjadikan pengguna internet memperlakukan orang lain sebagai instrumen,” ujar Dr. Kristi. Ada distorsi dalam hubungan manusia yang dibuat di ranah digital yang sudah biasa kita tempati. Yang paling ekstrem, "Ini menempatkan orang ke dalam situasi yang tidak manusiawi dan tidak sehat; itulah sebabnya prevalensi penyakit mental cukup tinggi."

Dari sudut pandang ini, tampak ada sikap kurang empati di antara masyarakat untuk urusan seksual. Pendidikan seks dibutuhkan untuk menciptakan ruang yang aman bagi semua orang, tetapi ada alasan yang jelas mengapa menempatkan masyarakat, terutama wanita, di ranah domestik adalah metode yang lebih dipilih dibandingkan benar-benar mempelajari sesuatu: karena namanya.

Mungkin kata ‘seks’ dalam pendidikan seks perlu disesuaikan juga. Berhubung bahasa Inggris bukan bahasa pertama di negara ini, mayoritas orang Indonesia mengaitkan seks dengan aktivitas seksual di ranjang meskipun seks memiliki makna ganda.

Seks mengacu pada perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan, atau singkatnya, alat kelamin. Sayangnya, maknanya yang satu lagi lebih populer.

Pada dasarnya, pendidikan seks mencakup segala sesuatu yang berkaitan dengan seksualitas manusia, seperti hubungan emosional dan tanggung jawab, anatomi seksual manusia, aktivitas seksual, reproduksi seksual, usia dewasa, kesehatan reproduksi, hak reproduksi, seks aman, kontrasepsi, dan pantang seksual. Pembahasan tentang persetujuan seksual tidak dapat dihindari, karena persetujuan seksual adalah kunci untuk hubungan seksual dan emosional yang sehat.

Unicef, misalnya, meluncurkan program Better Reproductive Health and Rights for All in Indonesia atau BERANI, bekerja sama dengan pemerintah Kanada dan Bappenas. Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada tahun 2018 mendorong pendidikan kesehatan reproduksi untuk siswa taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas di Indonesia. Meski namanya berbeda, isinya adalah pendidikan seks.

Di lingkungan kerja, pemberantasan pelecehan seksual dapat dimulai dari kebijakan perusahaan. Alvin Tanthio, human resources professional di sebuah perusahaan FMCG global, mengatakan, “Kami memiliki departemen etika dan kepatuhan yang menangani kasus pelecehan dan penyerangan seksual. Biasanya, ketika ada kejadian seperti itu, pelakunya akan dipanggil untuk 'disidang,’ tapi kami butuh laporan korban.”

Ia tidak menampik kenyataan bahwa ada karyawan yang akan berada dalam bahaya jika melaporkan apa yang dialaminya kepada manajemen. “Apalagi jika perusahaan itu bisnis keluarga atau pelakunya dekat dengan pemilik. Repot.”

Sayangnya, bagi bisnis berskala kecil atau merek independen, membangun sistem yang menangani pelecehan seksual tidak selalu atau belum menjadi prioritas. Bisnis kecil cenderung dimulai dari tim kecil dan karenanya, mereka bahkan biasanya tidak memiliki unit sumber daya manusia. Mereka juga tidak berpikir bahwa pelecehan seksual bisa terjadi di dalam tim yang memiliki hubungan sangat erat.

Pemilik sebuah kafe kucing di Kemang menceritakan kepada TFR bahwa beberapa tahun lalu, setelah manajemen memberhentikan manajer kafe itu karena masalah internal, asisten manajer berterus terang bahwa sang mantan manajer telah melecehkannya secara seksual sepanjang tahun pertama bisnis tersebut.

Pelecehan tersebut sangat memengaruhi asisten manajer sampai-sampai dia terlalu takut untuk menyetir pulang sendiri setiap hari. Tapi, dia terlalu takut untuk melapor karena manajer itu adalah orang yang menerima laporannya setiap saat.

Menurut praktisi senior di industri periklanan, Poppy Dihardjo, tidak semua perusahaan memiliki kebijakan untuk menangani kekerasan seksual di tempat kerja, tidak peduli seberapa besar bisnisnya. Untuk situasi seperti ini, dia dan timnya biasanya menyarankan untuk mengusut tuntas pelaku. "Biasanya, kalau mereka punya nyali untuk melakukannya kepada rekan kerja mereka, kejadian itu bukan yang pertama kalinya."

Ini juga yang menjadi alasan Poppy memulai sebuah gerakan yang disebutnya No Recruit List. Dia melihat banyaknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di antara mahasiswa ketika mengamati mereka dan bertanya-tanya apakah mereka tidak khawatir bahwa calon bos mereka akan mengetahui kecenderungan mereka itu ketika memeriksa latar belakang mereka? Poppy kemudian menyadari bahwa dia memiliki pengaruh untuk membuat perubahan semacam itu di dalam industri.

Sekali lagi, jalannya panjang dan tidak mudah untuk dilalui. Tidak semua unit sumber daya manusia siap untuk menangani kasus kekerasan seksual di tempat kerja meskipun itu merupakan bagian dari pekerjaan mereka.

“Karyawan adalah aset perusahaan, tapi bisa jadi beban jika ternyata mereka menjadi pelaku,” jelasnya. Itu sebabnya No Recruit List memosisikan diri sebagai mitra bagi perusahaan untuk membantu mereka menyaring aset masa depan mereka.

Pada akhirnya, apa yang bisa kita lakukan untuk bertahan dan berjuang di dalam lingkungan yang pada dasarnya memungkinkan terjadinya kekerasan seksual? “Kita bersuara bukan hanya untuk diri kita sendiri, tetapi juga untuk orang lain,” Dr. Kristi menyimpulkan.

Sementara, Poppy menggarisbawahi pentingnya membangun jaringan dengan perempuan lain untuk mengumpulkan dukungan dan mengadvokasi isu kekerasan seksual di sekitar kita, bersama-sama.

Dalam iklim seperti ini, kita akan dapat bertahan dengan lebih baik jika bersama-sama. Ketika kita melihat seseorang menjadi korban pelecehan, kita maju dan bersuara untuk mereka. Mempererat solidaritas mungkin tidak bisa menghentikan serangan, tetapi akan menjadi pengingat bahwa kita tidak sendirian. Dukungan semacam ini tidak hanya melindungi orang lain, tetapi juga mendorong para korban untuk bangkit dan mengambil langkah-langkah yang mereka butuhkan.

Koreksi: Artikel ini sebelumnya menyebutkan bahwa Poppy Dihardjo memulai No Recruit List ketika kuliah. Pernyataan tersebut salah. Poppy Dihardjo memulai No Recruit List ketika ia mengamati mahasiswa.


Related articles

See this gallery in the original post