TFR

View Original

Sinetron: Hiburan televisi terproduktif

Ditulis oleh Siti Fatimah Ayuningdyah | Read in English

Image: CTV

Beberapa waktu lalu, potongan adegan sinetron yang menampilkan sebuah boneka Hello Kitty sedang direbus dan mengejutkan satu keluarga sempat heboh di media sosial. Tidak lama kemudian, klip sinetron lain pun ikut viral, kali ini menunjukkan seorang pria tanpa tangan yang di beberapa adegan tampak jelas menyembunyikan tangannya di balik kemeja.

Hal ini sekilas terlihat seperti kesalahan yang dapat dengan mudah dikoreksi dengan pengambilan gambar ulang atau dipotong saat proses penyuntingan. Namun, adegan tersebut dibiarkan, bahkan sampai disiarkan.

Walaupun menarik perhatian banyak orang, hampir tidak ada yang terkejut melihat sinetron Indonesia menampilkan adegan-adegan itu. Sudah sejak lama sinetron dicap sebagai tontonan berkualitas rendah yang ditujukan untuk masyarakat kelas bawah. Dalam beberapa tahun terakhir, sinetron secara konsisten dinilai sebagai salah satu acara televisi paling tidak berkualitas menurut survei Komisi Penyiaran Indonesia.

Stigma ini berdampak tidak hanya terhadap programnya sendiri. Ada rasa malu ketika kita diasosiasikan dengan sinetron. Seorang penggemar sinetron yang kami wawancarai untuk artikel ini meminta agar namanya tidak disebutkan karena merasa malu. Lily Nailufar, penulis naskah untuk sejumlah komedi situasi, program televisi, film, dan – untuk beberapa waktu – sinetron, mengamini fenomena ini.

“Ibu saya kadang sulit membedakan antara sinetron dan acara TV lain, sehingga kadang beliau bilang saya penulis naskah sinetron. Saya lalu marah, “Sitcom, Mah, bukan sinetron. Beda, lho!”” ujar Lily.

Padahal, dulu sinetron tidak diterpa stigma seperti sekarang, apalagi di era keemasannya pada tahun 1990-an. Era inilah yang melahirkan berbagai sinetron legendaris seperti ‘Si Doel Anak Sekolahan,’ ’Janjiku,’ ‘Tersayang,’ dan – yang terkenal karena baru tamat bertahun-tahun setelah dimulai – ‘Tersanjung.’ Sinetron-sinetron tersebut sarat dengan drama dan kadang bertele-tele, namun ‘dosa’ terbesar mereka hanya sebatas efek khusus yang masih buruk.

Bintang sinetron pada era 1990-an seperti Jihan Fahira, Desy Ratnasari, dan Anjasmara adalah artis papan atas, dan nama mereka masih dikenal bertahun-tahun kemudian. Kala itu, karena pilihan hiburan televisi yang masih terbatas, sinetron menjadi topik yang hangat diperbincangkan. Program-program yang kebanyakan tayang secara mingguan ini selalu dinanti, dan biasanya ditayangkan pada jam tayang utama.

Kemudian, muncullah proses yang dikenal sebagai ‘stripping.’ Seketika, dunia sinetron yang selama ini kita kenal pun berubah.

Penulis naskah di tengah budaya stripping

Secara umum, stripping merujuk kepada budaya ‘kejar tayang’ dalam produksi sinetron, mulai dari penulisan naskah, pengambilan gambar, penyuntingan, hingga penayangan. Seluruh prosesnya bisa diselesaikan dalam kurang dari 24 jam.

Raam Punjabi kerap disebut sebagai tokoh yang pertama mempopulerkan metode stripping ketika ia menayangkan sebuah sinetron keagamaan setiap hari pada bulan Ramadhan tahun 1998, bukan seminggu sekali seperti layaknya sinetron pada masa itu.

Sejak saat itu, industri sinetron berubah. Rumah produksi baru mulai bermunculan, sinetron yang diluncurkan pun semakin banyak dan beragam, bahkan publik mulai terbiasa menikmati episode baru setiap hari. Efeknya terhadap kru sinetron sangat brutal.

Lily mengingat masa lalunya sebagai penulis naskah sinetron di tahun 2005, “Para penulis ‘dirumahkan’ di sebuah apartemen, dan kami sudah seperti mesin. Di sana sudah ada yang memasak dan bersih-bersih, pokoknya kami hanya tinggal menulis.” Dirinya menjelaskan bahwa dalam menulis naskah sinetron, ada dua peran penting, yaitu penulis jalan cerita dan penulis utama.

Penulis jalan cerita bertugas menonton program lain, biasanya Bollywood atau drama Korea, sebagai referensi lalu membuat kerangka jalan cerita dari inspirasi yang mereka dapat. Jalan cerita ini lalu dipecah menjadi episode, dan para penulis utama akan membuat naskah utuh berdasarkan materi dari penulis jalan cerita.

“Pernah kami menerima naskah jam 4 pagi, dan naskah lengkap sudah harus jadi pada pukul 6 pagi. Naskah itu harus langsung dikirim ke lapangan, tapi kan dulu tidak semua orang punya email, jadi harus menggunakan faks,” tambah Lily.

Lily juga mengangkat perbedaan dalam kendali mutu di sinetron dengan program lain seperti komedi situasi atau serial web yang biasanya membutuhkan riset yang panjang, “Tidak ada revisi maupun brainstorming dalam sinetron.”

Pola baku dalam sinetron

Sinetron juga memiliki pola yang cukup kaku. Lily pernah mencoba untuk menyimpang sedikit dari pola tersebut, “Saya pernah menulis untuk sebuah seri, waktu itu rumah produksinya ingin script yang lebih soft. Misalnya, orang-orangnya mungkin sedang marah, tapi mereka bisa menyampaikannya lewat kata-kata atau ekspresi wajah, tidak harus ada yang ditonjok,”

Sayangnya, saat itu pilihannya diprotes oleh pihak stasiun TV yang menganggap naskahnya terlalu halus, “Mereka minta diganti, karena kalau sedang marah maunya ada yang dijambak atau didorong ke tembok.”

Guntur Arief Saputra, seorang pengarah gambar yang pernah terlibat dalam produksi iklan, serial web, dan sinetron, juga menyadari adanya pola baku untuk sinetron. “Sebenarnya apa yang ada di sinetron secara teknis sudah menjadi template. Rating ngaruh banget, bukan hanya dari segi cerita, bahkan sampai ke persoalan teknis.” Seperti Lily, dirinya juga pernah mencoba menyimpang dari pola itu dan mengalami perlawanan yang sama.

“Ada satu scene yang menurut saya pribadi cukup baik untuk digarap serius dan bagus, dan saya mencoba keluar dari pola sinetron. Saya garap pakai treatment yang menurut saya bagus,” jelasnya.

Pada akhirnya, ia dikomplain oleh para produser yang mendesaknya untuk mengikuti pola, karena pola itulah yang menjanjikan rating dan jumlah penonton tinggi untuk sinetron.

Sementara, Guntur tidak mengambil kredit dari manuver klasik ‘zoom in, zoom out’ yang kerap ada di sinetron yang ia bantu produksinya. “Hal itu dimasukkan berdasarkan inisiatif para produser atau editor,” tuturnya.

Untuk orang-orang yang pernah terlibat dalam produksi sebuah sinetron, blunder seperti yang terjadi pada contoh-contoh yang kami sebutkan di awal artikel ini tidak mengejutkan. Guntur menggarisbawahi proses persiapan di sinetron yang berbeda, “Jika dalam proyek selain sinetron persiapannya 100%, untuk sinetron hanya sekitar 30%.” Ia pun menambahkan, “Kita selalu menebak besok shooting ceritanya akan seperti apa, lokasinya seperti apa. Nggak jarang pagi shooting dan malamnya sudah tayang.”

Apakah akan ada perubahan?

Setelah melihat situasi yang diuraikan oleh para pekerja sinetron, kita dapat memahami mengapa sinetron masih seperti sekarang. Bukannya tidak ada upaya dari para penggarap sinetron untuk memperbaiki kualitas, namun bisa dibilang industrinya sendiri belum siap untuk melepas formula yang menjanjikan rating tinggi dan menggantinya dengan formula baru yang dapat meningkatkan kualitas. Bahkan, sebagian pihak berpendapat bahwa sinetron tidak akan berubah karena permintaan pasar masih kuat.

Kendati demikian, Guntur mengemukakan bahwa hanya karena banyak yang masih menyukai sinetron seperti sekarang, bukan berarti mereka akan menolak perubahan. “Menurut saya kalau stasiun TV bisa menerima ide dan cara penggarapan yang baru, penonton tidak akan komplain. Jadi bukannya kru sinetron tidak bisa membuat yang bagus, tetapi mereka seperti dikunci untuk tidak membuat yang bagus, untuk mengikuti template,” ujarnya.

Namun, untuk mereka yang mampu mengubur idealisme dan integritas seninya, sinetron dapat menjadi pilihan dalam hal pendapatan, terutama untuk penulis. “Semua kebutuhannya seperti sewa dan makan ‘kan sudah disediakan, sehingga uang yang dihasilkan bisa dipakai untuk melakukan atau membeli apa yang mereka suka,” tutur Lily.

Selain itu, sinetron memang mampu menjadi bagian penting dari kehidupan penontonnya. Sinetron ‘Suara Hati Istri’ di Indosiar adalah contoh sinetron yang walaupun memiliki banyak cela, mampu mencuri hari jutaan istri di Indonesia. Sebagai salah satu dari 20 program televisi dengan rating tertinggi se-Indonesia, ‘Suara Hati Istri’ telah berhasil membentuk massanya sendiri. Massa ini terkumpul berdasarkan sesuatu yang lebih dalam.

‘Suara Hati Istri’ kebanyakan fokus pada topik beratnya kehidupan seorang istri - suami kejam dan suka berselingkuh, mertua yang jahat, dan berbagai tuntutan yang harus dipenuhi seorang istri. Ternyata, topik ini menyentuh nurani jutaan istri di Indonesia. Mereka merasa terwakili oleh pengalaman-pengalaman seorang istri yang diceritakan sinetron ini, dan mereka merasa dimengerti. Belum lagi para karakter utama wanita dalam sinetron ini semakin menunjukkan pemberdayaan diri.

Pada akhirnya, sinetron akan bergerak ke arah yang diinginkan para pemain di industrinya. Satu-satunya kekuatan yang lebih besar adalah permintaan pasar. Kualitas sinetron hanya akan membaik ketika publik menuntut konten yang lebih bermutu dan mulai meninggalkan konten berkualitas rendah. Sampai itu terjadi, kita akan terus mendapati berbagai adegan sinetron menjadi viral di media sosial.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post