Aktivisme di era digital
Read in English
Seiring dengan kemajuan era digital, ketergantungan terhadap platform media sosial semakin meningkat. Baik sebagai pintu gerbang ke kehidupan seseorang atau sebagai alat untuk menyampaikan informasi, media sosial menjunjung tinggi ide kebebasan berekspresi. Belakangan ini, terutama di tengah pandemi COVID-19, aktivis sangat mengandalkan media sosial untuk menegaskan kembali dan mengampanyekan tujuan mereka. Contohnya, penggunaan media sosial selama Pride Month, selebrasi tahunan bagi komunitas LGBTQ.
Mereka yang berada di luar komunitas sering mengambil bagian dalam gerakan ini untuk mendukung tujuan tersebut. Selain berpartisipasi dalam unjuk rasa, banyak juga yang menggunakan media sosial untuk menyuarakan kekhawatiran mereka dengan menggunakan tagar dan mengunggah gambar yang berhubungan dengan pelangi bersama dengan opini mereka, atau bahkan infografis.
Aktivisme adalah ketika seseorang mengambil tindakan tegas dalam mengampanyekan hal tertentu. Tidak ada buku panduan dalam dunia aktivisme, jadi tidak ada cara untuk mengetahui apakah aktivisme yang ditampilkan benar atau salah. Aktivisme hadir dalam berbagai bentuk.
Aktivisme bisa juga berbentuk protes damai, seperti Women’s March Jakarta pada bulan April. Sampai titik tertentu, bahkan sesuatu yang sederhana seperti membagikan infografis atau postingan yang mendidik mengenai suatu tujuan di media sosial bisa dianggap sebagai aktivisme.
Karena ekspresi diri dan aksesibilitas adalah sifat dasar media sosial, orang-orang diharapkan untuk seterbuka dan sama mudah diaksesnya dengan media sosial. Harapan utama yang keluar dari aktivisme saat ini adalah gagasan untuk memublikasikan aksi yang dilakukan. Namun, aksi yang terbesar seringkali dilakukan dalam bayang-bayang, bukan di bawah matahari.
Contohnya, selama gerakan #Reformasi Dikorupsi pada tahun 2019, mahasiswa memenuhi gedung DPR RI sebagai bentuk protes terhadap banyaknya undang-undang yang dianggap tidak adil. Mahasiswa yang ikut serta dalam protes tersebut menjadi viral dan mendapatkan banyak pengikut di media sosial. Tidak lama, banyak merek yang menawarkan kontrak iklan kepada mereka.
Ketika diwarnai dengan keuntungan pribadi, seperti ketenaran, daya tarik, dan perhatian, aktivisme dapat disebut sebagai aktivisme performatif. Aktivisme performatif biasaya berakar dari hak istimewa, dan mereka yang ikut serta dalam aktivitas ini mengambil keuntungan dari kaum marginal dengan bertindak atas nama mereka dan mengeksploitasi penderitaan mereka untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Tak dapat dipungkiri bahwa aktivisme performatif adalah hal yang berbahaya. Namun, karena bahayanya tidak langsung, perbedaan antara keduanya menjadi elusif.
Fenomena ini kemudian menimbulkan perbincangan mengenai media sosial dan hubungannya dengan aktivisme. Di mana kita membuat batasan?
Untuk mencapai kesimpulan, TFR mewawancarai dua aktivis Indonesia yang memperjuangkan tujuan yang mereka yakini dan melanjutkan agenda mereka di media sosial: Yacko, rapper perempuan berusia 41 tahun, dan Faye Simanjuntak, perempuan berusia 18 tahun yang mendirikan Rumah Faye dan ikut mendirikan What is Up, Indonesia?
Yacko menggunakan musiknya sebagai sarana untuk menyuarakan pembelaan terhadap hak-hak perempuan. “Sebenarnya saya masih dalam proses belajar menjadi aktivis. Tapi, satu hal yang saya tahu pasti adalah bahwa saya menggunakan lirik saya sebagai senjata untuk berbicara dan meningkatkan kesadaran mengenai sebuah isu."
Yacko tidak setuju degan pandangan bahwa menggunakan media sosial untuk aktivisme adalah sebuah kemunduran. Menurutnya, gabungan media sosial dan aktivisme bukan berarti hal buruk. “Pastinya hal tersebut mengubah bagaimana aktivisme dikomunikasikan dengan menyebarkan informasi melalui media sosial, terutama informasi yang tidak tersedia di media massa.”
Faye memiliki pendapat serupa, “Dalam banyak hal, baik secara positif dan mungkin sedikit negatif, media sosial telah memungkinkan lebih banyak orang untuk didengar dan lebih banyak orang untuk berbicara. Lebih banyak orang yang menyadari apa yang terjadi jauh lebih cepat dari sebelumnya. Ini adalah akses informasi yang belum pernah terjadi sebelumnya.”
“Media sosial juga bisa digunakan untuk mengekspresikan opini seseorang mengenai suatu isu, serta mendorong orang lain untuk berinteraksi dan mengambil tindakan. Yang lebih penting lagi, hal tersebut bisa tumbuh menjadi suatu gerakan dalam kehidupan nyata,” imbuh Yacko.
“Saat ini, aktivisme juga lebih mudah mendapatkan perhatian dari otoritas lokal dan benar-benar memicu perubahan. Contohnya, sebelum era digital yang mencakup segalanya ini mengambil alih, kita harus mengajukan laporan kalau merasa tidak puas dengan hal tertentu. Sekarang, jika sebuah tagar menjadi viral, efektivitasnya jauh lebih besar dari sekadar mengisi formulir pengaduan," tutur Faye.
Namun, dengan akses informasi yang begitu melimpah, Faye khawatir informasi yang ada akan semakin disederhanakan. “Jauh lebih mudah untuk melihat satu kalimat, marah, lalu memperbesar satu kalimat itu tanpa memahami keseluruhan topiknya. Penyederhanaan yang berlebihan sangat berbahaya karena ada berbagai masalah mendasar yang perlu dibicarakan.”
Ketika ditanya mengenai aktivisme performatif, pandangan Faye sedikit lebih pribadi. “Mengetahui bahwa ada orang di luar sana yang “menjadi aktivis” atau memposting story hanya untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki nilai-nilai moral semata bukanlah perasaan yang baik, mengingat saya dan tim saya bekerja tanpa lelah untuk memicu perubahan di Indonesia.” Jawaban Yacko berada di spektrum yang sama. Ia mengatakan bahwa akan selalu ada aktivis performatif yang memanfaatkan masalah tertentu untuk keuntungan pribadi.
“Tetapi saya harus kembali ke titik ini: tidak ada yang bisa mengawasi aktivisme. Hampir tidak ada cara untuk mengetahui apakah orang-orang melakukan aktivisme dengan jujur dari hatinya. Mungkin yang mereka lakukan tidak seefektif yang seharusnya, tetapi tidak berarti bahwa mereka melakukannya hanya untuk mendapatkan pengaruh," tambah Faye.
Yacko merasa bahwa aktivisme performatif adalah bagian dari proses belajar pelakunya. “Sebuah proses untuk memahami arti sebenarnya dari aktivisme, untuk mempelajari apakah mereka nyaman membicarakannya atau tidak, untuk mengevaluasi niat mereka sendiri, dan untuk mengetahui apakah mereka dapat berubah menjadi aktivis sejati dan memperkuat suara mereka dan menggunakan hak istimewa mereka.”
“Terkadang aktivis seperti saya dan aktivis akar rumput lainnya tidak bisa pilih-pilih. Kenyataan pahitnya adalah bahwa orang-orang yang berada di posisi istimewa seringkali memiliki pengaruh yang lebih besar dari mereka yang terdampak. Bahkan jika aktivisme tersebut adalah sesuatu yang performatif, kita tidak benar-benar memiliki pilihan selain menerima bentuk aktivisme itu,” ucap Faye.
Aktivisme performatif, jika dilakukan tanpa penelitian menyeluruh, dapat menimbulkan konsekuensi buruk. Mungkin tidak secara langsung terhadap mereka yang melakukannya, tetapi jelas akan memberi pukulan pada para aktivis akar rumput yang bekerja untuk memperkuat suara mereka yang terpinggirkan.
Jadi, bagaimana kita membawa aktivisme ke luar dunia Internet?
“Bersuara dan menciptakan perbincangan konstruktif, dimulai dari lingkaran terkecil seperti keluarga dan teman, menghadiri acara komunitas atau unjuk rasa yang berhubungan dengan tujuan kami, menyumbangkan uang, menginvestasikan waktu dan sumber daya,” jawab Yacko.
Faye menyatakan bahwa aktivisme di Internet masih sangat valid. “Aktivisme berbeda untuk banyak orang, dan jika mereka tidak berada di dalam posisi untuk membawa aktivisme mereka ke luar dunia Internet, maka itu bukan kesalahan mereka. Hal terpenting tentang aktivisme adalah selain mendidik orang lain, kalian juga harus mendidik diri sendiri. Kita memiliki tanggung jawab bukan untuk memperkuat suara masing-masing individu, tetapi untuk memperkuat suara komunitas yang membutuhkannya,” ujarnya.