Menghargai hasil karya - Bagian 1. Menelusuri hak cipta
Read in English
Jenis karya yang dilindungi oleh UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014 disebutkan di dalam Pasal 40. Dalam artikel ini, kita akan membahas ilustrasi yang termasuk dalam kategori seni rupa.
Plagiarisme bukan hal yang asing bagi ilustrator asal Indonesia, Kathrin Honesta. Ia pernah melihat hasil karyanya dijiplak oleh seorang mahasiswa di Inggris. Mahasiswa tersebut membuat sebuah karya sulam berdasarkan ilustrasi yang pernah dibuatnya, lalu didaftarkan di sebuah kompetisi. Sayangnya, mahasiswa tersebut memenangkan kompetisi itu.
Di Indonesia, sebuah perusahaan percetakan asal Yogyakarta pernah menggunakan ilustrasinya tanpa meminta izin terlebih dulu. Setelah Kathrin menyatakan keberatannya, perusahaan tersebut mengganti seluruh desain sampul buku untuk menghindari perselisihan lebih lanjut.
Ilustrator Dionisius M. B. Djayasaputra atau Dion juga mengalami banyak kasus plagiarisme. “Saya tidak memburu semua kasus plagiarisme karena terlalu banyak,” ungkap Dion kepada The Finery Report. Kasus-kasus yang diburu olehnya adalah kasus yang bisa mengakibatkan kerugian ekonomi yang besar. Contohnya, sebuah studio animasi asal India meniru ilustrasinya untuk sebuah video musik. Video musik tersebut ditonton lebih dari 17 juta kali, sedangkan penyanyinya memiliki 20 juta pengikut di YouTube.
Kasus tersebut dimenangkan oleh Dion, dan pada akhirnya studio tersebut mencantumkan namanya, membuat tribut ke media sosial, dan membayarnya. Dari kasus itu, Dion belajar untuk lebih berhati-hati tentang lisensi di platform seperti Behance. “Saya berhenti memublikasikan karya saya di Behance, dan sekalipun saya memublikasikan karya saya, saya memastikan bahwa saya tidak menggunakan lisensi creative common,” ucap Dion.
Plagiarisme adalah tindakan meniru atau menjiplak karya dari pengarang, pencipta lagu, atau pihak lain dengan sengaja tanpa permisi untuk digunakan sebagai hasil karya orisinil. Nyatanya, plagiarisme cukup lazim di Indonesia. Meskipun ada peraturan hak cipta, kalimat ‘tidak ada yang baru di bawah alam semesta’ dijadikan pembenaran.
Ditambah lagi, media sosial dan situs web mempermudah orang-orang untuk mencari dan menemukan karya orang lain. Di satu sisi, berbagai platform tersebut memberikan publisitas bagi seniman. Namun, di sisi lain, jalan untuk menjiplak terbuka lebar.
Tahun lalu, teman dan pengikut media sosial Kathrin memberitahu dirinya bahwa sebuah kafe di Malaysia membuat mural dengan mencontoh ilustrasi Kathrin yang berjudul Project Monster. Ia menyampaikan keberatannya kepada pihak kafe, namun komentar mereka cukup mencengangkan. “Tidak akan diulangi lagi jika Anda tidak memublikasikan hasil karya anda yang berharga di masa depan. Arsip akan bagus untuk Anda. Hanya opini.”
Terlepas dari risikonya, media sosial masih menjadi cara paling mudah untuk memublikasikan sebuah karya, karena perlindungan hak cipta timbul secara otomatis setelah pencipta membuat karyanya publik. Mendaftarkan hasil karya ke Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual adalah langkah tambahan untuk mengonfirmasi kepemilikan karya.
Akan tetapi, tidak seperti hak merek, perlindungan hak cipta memiliki tanggal kadaluarsa.
Pada Desember 2020, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan gugatan pewaris pemilik sketsa Tugu Selamat Datang terhadap manajemen Grand Indonesia. Meskipun sang perancang tugu, Henk Ngantung, telah meninggal dunia, UU Hak Cipta tetap melindungi karyanya selama 50-70 tahun setelah tanggal kematiannya. Setelah itu, karya tersebut menjadi milik umum.
Ketika suatu karya menjadi milik umum, siapa pun bebas untuk menggunakan karya tersebut untuk tujuan komersil.
Menuntut pertanggung jawaban penjiplak
Menurut Pasal 95 UU Hak Cipta No.28 Tahun 2014, penyelesaian sengketa hak cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan. Pengadilan yang ditunjuk untuk menyelesaikan kasus hak cipta adalah pengadilan niaga.
Untuk menghindari perselisihan hukum, pencipta bisa juga menggunakan solusi alternatif yang dituangkan ke dalam UU Hak Cipta, yaitu mediasi, negosiasi, dan konsiliasi. Mediasi memerlukan pihak ketiga yang netral untuk memastikan tidak ada yang berpihak ke satu sisi. Mediasi bisa dilakukan di pengadilan atau melalui lembaga swasta.
Perlindungan hak cipta juga berlaku di 160 negara yang bergabung dalam The Berne Convention. Perjanjian Berne Convention mengatur perlindungan hasil karya dan hak penciptanya. Apabila pencipta tinggal di Indonesia dan karyanya dijiplak oleh seseorang di Malaysia, ia bisa mengajukan gugatan di Malaysia.