Bisnis kesepian
Read in English
Sebagian besar dari kita tentu mengenal baik konsep ‘mukbang’ dan hampir pasti pernah melihat video tersebut. Tapi, banyak yang tidak tahu bahwa popularitas mukbang banyak dikaitkan dengan kesepian. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Universitas Nasional Seoul melaporkan bahwa meringankan perasaan kesepian yang diasosiasikan dengan makan sendiri bisa jadi merupakan alasan utama popularitas mukbang. Sebuah artikel ulasan pada tahun 2020 melaporkan beberapa kajian yang pernah dilakukan dan menemukan bahwa kesepian merupakan alasan utama, atau setidaknya, alasan terbesar di balik popularitas mukbang.
Kesepian merupakan sifat alami manusia yang bisa jadi sulit untuk dihadapi. Setiap makhluk hidup di dunia ini mengerti bagaimana rasanya kesepian meskipun tidak semuanya bisa mengungkapkannya dengan kata-kata. Rasa kesepian datang dalam berbagai bentuk, dan manusia masih berupaya untuk mencari cara mengatasinya. Sementara itu, mereka yang menyadari seberapa parah rasa kesepian bisa memengaruhi mereka tidak tinggal diam. Mereka menciptakan teknologi yang bisa membuat orang berkumpul dari berbagai tempat, menciptakan makanan yang memberikan serotonin, dan bahkan menciptakan pasar bagi mereka yang merasa kesepian.
Jepang mungkin negara merupakan yang paling maju dalam menyediakan jasa untuk melawan rasa kesepian. Sektor bisnis jasa negara itu terkenal luas karena mampu menyediakan hampir semua yang dibutuhkan oleh seseorang, mulai dari host dan hostess yang menemani minum-minum karyawan yang tidak memiliki waktu untuk membangun hubungan sampai orang yang sekadar ada di situ.
Cerita Shoji Morimoto menjadi viral belakangan ini karena dia menawarkan jasa untuk hadir bagi orang-orang. Kadang dia hanya akan mendengarkan pelanggannya dan memberikan tanggapan non-komitmen, lain waktu dia duduk di dalam helikopter dengan seseorang yang menyewanya untuk menemaninya ke Disneyland. Jasa seperti ini mungkin terdengar tidak masuk akal dari sudut pandang orang Indonesia, mengingat bagaimana sepele hal tersebut terdengar.
Tahun lalu, seorang pria bernama Anam Khoirul membuat sebuah banner yang menawarkan jasa berbayarnya sebagai pasangan kencan untuk Tahun Baru. Tiga hari kemudian, ia mendapatkan 3.128 order. Tindakan ini bisa jadi hanya sebuah konten komedi atau bahkan dilakukan untuk mencari publisitas, namun tampaknya banyak orang Indonesia yang penasaran dengan jasa seperti itu.
Belum lama ini, kami melihat layanan curhat atau percakapan dari hati ke hati di Instagram. Penasaran, kami menghubungi penyedia layanan tersebut. Kami berbicara dengan Aul (24) yang telah berkecimpung dalam bisnis ini sejak tahun 2020. Demografi pelanggannya adalah orang-orang berusia 18-25 tahun yang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan mereka tanpa menghakimi dan memberi nasihat. “Pada awalnya, saya kewalahan karena saya sangat bersimpati terhadap klien pertama saya, tetapi kemudian saya belajar untuk menyeimbangkannya dengan meditasi dan positive self-talk setelah setiap sesi,” katanya.
Dia juga mengalami kesulitan untuk menjangkau kliennya karena masalah kepercayaan. “Banyak dari mereka yang berpikir bahwa curhat ke orang asing bukan hal yang tepat karena berisiko terbongkar,” jelasnya. “Banyak juga yang menganggap bahwa masalah keluarga atau pribadi itu memalukan dan harus disembunyikan.” Mengingat latar belakang psikologinya, jelas bagaimana Aul menyadari bahwa memang ada pasar untuk ini. Tentu ia bukan satu-satunya.
Pada awal tahun 2020, Indocuddle (@indocuddle) menjadi viral karena memposting lowongan pekerjaan yang mereka sebut sebagai “pemeluk professional.” Perusahaan tersebut menawarkan pelukan sebagai bagian dari bantuan untuk proses penyembuhan mental klien. Kami telah mencoba menghubungi Indocuddle melalui Instagram dan email, tetapi belum mendapatkan tanggapan apa pun.
Layanan yang ditawarkan Indocuddle mungkin terlihat aneh karena pelukan melibatkan sentuhan intim dalam prosesnya. Namun, banyak yang mungkin tidak menyadari betapa pentingnya keintiman untuk menangkal kesepian dan membangun rasa keterhubungan antar-manusia.
“Menurut Jung, jumlah teman yang dimiliki tidak memengaruhi rasa kesepian,” jelas Yunike Balsa, psikolog klinis dan pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara. “Rasa kesepian adalah saat ekspresi Anda tidak dipahami atau diterima oleh orang lain,” jelasnya.
Dengan semua teknologi yang kita miliki saat ini, kebutuhan kita untuk bertemu orang lain berkurang karena sekarang, hubungan yang perlu kita pertahankan dan bangun direduksi menjadi perangkat elektronik kecil yang kita bawa ke mana pun kita pergi layaknya perpanjangan tubuh kita.
Namun, mode komunikasi ini mendistorsi hubungan antar-manusia yang kita bangun. Dulu, ada masa di mana kita akan bertemu teman baru atau calon pasangan romantis terlebih dahulu sebelum menjalin hubungan. Saat itu, lebih sulit untuk bertemu orang baru, tetapi lebih banyak upaya yang dilakukan.
Sekarang, kita begitu terbiasa mengenal orang baru secara virtual sehingga kita mungkin tidak menyadari bahwa kita kehilangan sebagian besar hubungan manusia yang kita butuhkan. “Ketika kita melakukan kontak dengan orang lain secara virtual, kita kehilangan banyak hal yang membuat komunikasi menjadi utuh: bahasa tubuh, nada bicara; kehadiran fisik minim, sehingga membangun keintiman dengan pihak yang dituju semakin sulit,” ujar Yunike.
Komunikasi yang terdistorsi ini mungkin menjadi alasan mengapa banyak orang masih merasa kesepian, meskipun mereka memiliki teman atau pasangan romantis, apalagi sekarang kita sedang dalam pandemi. Teknologi memang banyak menyelamatkan kita karena memungkinkan kita menjangkau orang lain dari jarak yang aman, namun tetap tidak menghilangkan dorongan untuk menjalin keintiman yang mungkin tidak kita miliki selama masa sulit ini, atau bahkan jauh sebelumnya.
TFR menjangkau orang-orang yang menyediakan layanan pelukan, sebuah layanan yang sudah lumayan populer di Alter Twitter. Singkatnya, Alter Twitter adalah sisi Twitter di mana orang-orang menggunakan kepribadian alternatif mereka untuk membicarakan hal-hal yang dianggap tabu, seperti seks, ketidaknyamanan emosional, dan trauma psikologis. Kami berhasil berbincang dengan M (21), seorang perempuan yang menyediakan jasa pelukan sejak paruh kedua tahun 2020. Alih-alih melambat, ia mengaku bisnisnya cukup hidup, bahkan saat pandemi ini.
“Kebanyakan dari mereka ingin tahu tentang layanan yang saya tawarkan; mereka kesepian, mereka butuh teman untuk diajak bicara," kata M. “Beberapa sudah memiliki pacar, tetapi mereka tetap menggunakan layanan saya karena penasaran atau karena mereka sedang menjalin hubungan jarak jauh.” Tentu saja ada pedoman ketat yang harus diikuti olehnya dan oleh kliennya untuk sesi yang aman dan konsensual. “Aturan saya membatasi sesi kami sampai berpelukan. Saya masih mengizinkan ciuman di dahi dan pipi,” terangnya. "Mereka bebas untuk berbicara tentang apa pun dan saya tidak akan menghakimi mereka; saya akan ada untuk mendengarkan mereka, dan saya hanya akan memberikan pendapat jika diminta."
Kami juga berbincang dengan Z (22), seorang pria yang menyediakan layanan pelukan melalui Twitter sejak tahun 2016. Jenis orang yang datang kepadanya sebagai klien adalah "orang-orang kesepian yang membutuhkan kasih sayang," katanya. "Mereka datang ke saya karena mereka membutuhkan pelukan dan juga untuk mengurangi stres," tambahnya.
Saat ditanya mengenai apa yang menginspirasinya untuk memulai bisnis itu, Z mengatakan bahwa inspirasinya datang dari pengalaman pribadinya dengan teman-temannya. “Saya melihat bahwa sebagian besar teman-teman saya sangat membutuhkan pelukan, dan dari apa yang mereka katakan kepada saya, mereka lebih membutuhkan pelukan daripada seks.”
Jasa seperti ini bisa menjadi jalan pintas menuju komunikasi dan keintiman untuk menangkal kesepian, namun bukan solusi. "Orang (modern) takut terjun ke dalam proses membangun keintiman," kata Yunike. Ada proses yang membutuhkan waktu dan usaha bagi orang asing untuk menjadi kenalan, teman, teman dekat, dan lain-lain. Seiring waktu, keintiman yang berkelanjutan dan nyata dibangun di antara mereka. “Baru-baru ini, dalam pengamatan saya, saya melihat banyak orang yang tidak tahu apa yang mereka butuhkan, jadi mereka mencari sesuatu yang bisa mereplikasi sensasi dalam sekejap, alih-alih membangun hubungan yang asli dan berkelanjutan.”
Layanan pelukan ini jangan disalahartikan dengan sepupu jauhnya: booking out (meski ada yang memahaminya sebagai booking order atau online) atau lebih dikenal dengan sebutan BO. Ini adalah versi zaman baru dari profesi tertua di dunia. Seorang pria yang tidak ingin disebutkan namanya mengatakan bahwa dia lebih memilih BO karena dia tidak menyukai drama yang sering kali muncul dari hubungan yang berkomitmen. Oleh karena itu, memuaskan kebutuhan seksualnya dengan membayar adalah hal yang ideal baginya.
Perwakilan dari GThingsst (@gthingsst), sebuah perusahaan yang mengkhususkan diri pada alat bantu percintaan, mengatakan bahwa perusahaan mencatat peningkatan penjualan selama pandemi, khususnya untuk pasangan yang dipisahkan oleh jarak. Meski demikian, perusahaan percaya bahwa alat bantu tersebut tidak ada hubungannya dengan menyembuhkan kesepian. Alat bantu itu adalah untuk menghubungkan orang melalui cara baru; dengan memberi pasangan jalan alternatif untuk terhubung dengan cara yang penuh cinta dan memuaskan secara seksual.
Faktanya adalah bahwa sekreatif apa pun industri dalam menawarkan layanan yang menangkal kesepian, yang mereka tawarkan adalah jalan pintas. Semuanya bersifat sementara dan efeknya jelas tidak bertahan lama. Namun, semakin maju orang, semakin banyak distorsi dalam pembentukan koneksi antar-manusia, yang akan menghasilkan lebih banyak masalah modern. Meski solusi modern seperti layanan berbayar mungkin tidak menjadi pemenuhan yang nyata, solusi tersebut akan tetap muncul dan berkembang selama ada permintaan. Kita bisa menyebutnya mode bertahan hidup yang tak terhindarkan.