TFR

View Original

Investasi terhadap perusahaan direct-to-consumer, kenapa tidak pernah terdengar?

Read in English

Pada tahun 2010, Dave Gilboa, Neil Blumenthal, Jeff Raider, dan Andrew Hunt meluncurkan Warby Parker, sebuah merek kacamata direct-to-consumer (DTC) yang memungkinkan pelanggan mencoba kacamata di rumah sebelum membelinya. Ide menjual kacamata di e-commerce tampak konyol pada saat itu. Kebanyakan kacamata di pasaran dijual melalui model bisnis lisensi. Lebih dari satu dekade kemudian, Warby Parker berubah menjadi perusahaan berharga $3 miliar dollar. Pada tahun 2020, perusahaan ini mengantongi pendanaan Seri G

Tidak lama setelah kesuksesan Warby Parker, merek DTC menjadi kata kunci di industri dan menarik perhatian media dan investor. ThingTesting, akun media sosial yang didedikasikan untuk mengulas produk-produk direct-to-consumer, meraih sukses besar melalui ulasan mendalam terhadap merek-merek DTC.

Berkat media sosial dan teknologi, perusahaan tidak lagi harus bergantung pada papan iklan atau katalog cetak - mereka bisa langsung menjangkau dan berinteraksi dengan konsumen.

Menjual DTC bukanlah sebuah konsep baru. Banyak UMKM dan merek fesyen di Indonesia yang merupakan merek DTC. Singkatnya, merek DTC adalah merek yang menjual secara langsung ke konsumen tanpa perantara. Mereka biasanya fokus pada ranah online. Salah satu merek DTC lokal yang paling populer adalah Cotton Ink. Merek yang didirikan pada tahun 2008 oleh Ria Darwono dan Carline Darjanto ini sudah berkembang dari online menjadi toko fisik.

Meski ada banyak merek DTC lokal, investasi skala besar untuk mereka tidak pernah terdengar. Di negara tetangga, ada Love, Bonito yang berbasis di Singapura yang meraih pendanaan Seri B pada tahun 2018 dan Pomelo yang berbasis di Thailand yang meraih pendanaan Seri C pada tahun 2019. Di sisi lain, investasi terbaru dari modal ventura pada merek DTC lokal adalah bagi Brodo pada tahun 2020. Sampai hari ini, investasi skala besar didominasi oleh perusahaan teknologi.

Menurut survey yang dilakukan oleh TFR, 74% pendiri perusahaan memilih metode bootstrap untuk mendanai bisnis mereka. 17% responden memilih untuk meminjam dana dari teman dan keluarga. Hanya 9% yang memilih untuk mengajukan pinjaman ke bank. Mengajukan pendanaan dari investor atau modal ventura adalah pilihan yang paling tidak populer. Merek pakaian dalam Nipplets, salah satu responden, menyebut tidak adanya kontrol penuh sebagai sisi negatif dari memiliki investor.

“Kami tidak ingin kehilangan arahan kreatif,” ucap Athena Athleisure saat ditanya mengenai alasan mengapa perusahaan tidak tertarik dengan investasi. “Keuntungan memiliki investor adalah [kita] bisa memperluas bisnis dengan berbagai cara, tapi kekurangannya adalah tekanan untuk memenuhi target dan perjanjian,” jelas merek kecantikan Bloomka.

Mengembangkan merek tanpa investasi, mungkinkah?

Sara Blakely, pendiri merek pakaian dalam Spanx, memulai perusahaannya pada tahun 1998 dengan modal $5.000 dari simpanannya. Spanx membukukan penjualan sebesar $4 juta dalam waktu satu tahun dan $10 juta di tahun kedua setelah Oprah Winfrey dalam acaranya mengaku bahwa Spanx adalah produk kesukaannya. Blakely tetap menjadi pemilik Spanx satu-satunya dan menjadi miliarder pada tahun 2013.

Foto: Spanx

Belajar dari pengalaman Spanx, menciptakan produk unik adalah faktor utama dalam mendirikan merek yang berkelanjutan tanpa investasi eksternal. Spanx memiliki spesialisasi dalam shapewear atau pakaian dalam yang membuat tubuh tampak lebih langsing dalam pakaian, terutama pakaian yang pas di tubuh.

Sebagai catatan, Blakely tidak menciptakan shapewearShapewear pertama yang tercatat dalam sejarah adalah sabuk di jaman Yunani Kuno, diikuti oleh korset. Blakely mengambil ide yang sudah ada dan mengembangkannya. Butuh waktu satu tahun bagi Blakely untuk mengembangkan prototipe dan menguji produk pada teman dan keluarganya.

Merek pakaian ready-to-wear Cotton Ink dimulai dengan modal Rp1 juta. Kedua pendiri menggunakan metode bootstrap di seluruh operasi perusahaan. “Sejujurnya, sampai tahun 2020 kami masih menggunakan dana sendiri dari modal awal Rp1 juta dan pintar-pintar mengatur penjualan dan pembayaran,” kata pendiri dan CEO Cotton Ink Carline Darjanto. Satu-satunya pendanaan eksternal yang diajukan perusahaan adalah pinjaman bank.

Pada awalnya, Cotton Ink menggunakan sistem pre-order yang memungkinkan perusahaan menerima uang muka dari pelanggan sebelum membayar vendor. Strategi ini memungkinkan perusahaan untuk mengurangi biaya produksi dan mengurangi stok mati. “Fokus pada barang yang laku dan [barang yang bisa] menghasilkan uang,” kata Carline. Cotton Ink menemukan sweet spot dalam pakaian kasual dan nyaman yang masih sesuai untuk tempat kerja.

“Perencanaan adalah segalanya. [Anda] Harus membuat skenario uang masuk dan keluar yang tepat. Brand harus [berusaha] semaksimal mungkin untuk memiliki keunikan atau nilai yang berbeda dari yang ada di pasaran, kreatif dalam pemasaran dan pengeluaran anggaran, sehingga [mereka] dapat tumbuh perlahan tanpa harus stres memikirkan penggalangan dana,” kata Carline.

Cara lain, perusahaan meningkatkan modal setelah mereka menangkap pasar. Nike -sebelumnya bernama Blue Ribbon Sports - dimulai dengan modal $1.200 dari kedua pendirinya. Tapi, Nike tidak didanai sendiri selamanya. Merek pakaian olahraga raksasa itu melantai di bursa pada tahun 1980. Masuk bursa merupakan salah satu pilihan untuk menambah modal. Selain itu, ada Supreme yang diakuisisi oleh ekuitas swasta tahun lalu untuk memperluas operasinya.

Menjual langsung ke konsumen memiliki keunggulan dan tantangan tersendiri. Perusahaan mendapatkan margin yang lebih tinggi karena mereka tidak perlu membayar komisi ke pengecer atau department store. Pendiri memiliki kuasa untuk menjalankan bisnis dan membuat keputusan sesuai keinginan mereka. Mengurus semuanya - penelitian, pengembangan, desain, produksi, gudang, logistik, pemasaran – sendiri dapat mengurangi biaya dan menghasilkan operasi yang lebih efektif dalam jangka panjang.

Inditex, perusahaan induk Zara, melakukan hampir semuanya sendiri. Alih-alih mengalihdayakan seluruh produksi ke produsen di negara-negara yang terkenal memiliki tenaga kerja murah, Inditex mengalihkan sebagian produksinya ke pabrik di dekat kantor pusatnya di Spanyol atau di negara tetangga. Meskipun biaya produksi bisa jadi lebih tinggi, waktu penyelesaian lebih cepat daripada pengiriman produk ke seluruh dunia. Hasilnya, Inditex dapat meluncurkan produk baru setiap dua minggu sekali.

Namun, melakukan segala sesuatu sendiri juga bisa menjadi pedang bermata dua. Stok, gudang, dan distribusi, misalnya, bisa menjadi beban jika tidak dikelola dengan baik. Perusahaan global seperti H&M dan Burberry menuai kecaman keras ketika mereka ketahuan membakar kelebihan stok mereka. Stok berlebih atau stok mati adalah produk yang tidak terjual yang memenuhi gudang dan mencerminkan pendapatan yang hilang.

Lalu, ada juga strategi humas dan pemasaran yang wajib dimiliki setiap perusahaan. Membangun reputasi dan memenangkan kepercayaan konsumen adalah upaya berkelanjutan. Alternatif lain adalah menjual di pengecer terkenal atau department storedengan mengorbankan margin keuntungan. Bagaimanapun, metode ini berbiaya mahal, terutama untuk merek yang spesialisasinya adalah produk mewah.

Mencapai kesuksesan besar tanpa investasi eksternal tentu sangat mungkin dilakukan. Keputusan apakah akan mengambil investasi atau tidak tergantung pada seberapa cepat sebuah perusahaan ingin tumbuh dan berkembang. Dalam beberapa kasus, ini bukan hanya tentang uang tunai. Perusahaan juga mencari bimbingan dan koneksi dari investor. Pertanyaan selanjutnya adalah, di mana kita mencari investor?

Akan dibahas di bagian dua.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita

See this gallery in the original post