Anak bawang di panggung teater: Divisi kostum
Read in English
Kesan glamor yang ditampilkan di panggung pertunjukan teater menambah pengalaman positif penontonnya. Aspek-aspek visual, seperti properti dan kostum, menjadi sistem pendukung utama dalam mewujudkan visi sebuah pertunjukan.
Akan tetapi, seringkali sistem pendukung tersebut dinilai hanya sebatas yang terlihat saat di panggung saja. Para pemeranlah yang kemudian mendapatkan sorotan utama. Properti di sekeliling mereka hanya dianggap sebagai penjelas latar belakang adegan, dan kostum sebagai penambah kesan estetika sebuah pertunjukan.
Padahal, masing-masing aspek pendukung memiliki peran yang lebih besar dari apa yang terlihat. Sebagai contoh, kostum bukan hanya memiliki fungsi estetika, namun juga penting untuk menegaskan karakter dan cerita.
Menurut penelitian yang diterbitkan oleh Research Clue, “The Importance and Functions of Costumes as an Inevitable Tool in the Promotion and Development of Theatrical Performance,” kostum di panggung teater mengandung banyak elemen non-verbal yang ingin dikomunikasikan kepada para penontonnya.
Setiap pakaian dan aksesoris yang digunakan oleh para pemeran di panggung memiliki makna tersendiri yang bertujuan untuk menguatkan karakter dan latar belakang pemakainya. Tujuan ini hanya bisa tercapai jika eksekusi yang dilakukan oleh divisi kostum berjalan dengan baik. Tetapi, meski memiliki peran yang sangat krusial, divisi kostum adalah salah satu divisi yang kurang mendapatkan apresiasi.
TFR mewawancarai anggota divisi kostum di kelompok teater untuk mengetahui cara kerja divisi ini lebih dalam lagi. Angel (20) memiliki pengalaman mengurus kostum untuk lima pertunjukan yang dilakukan oleh Teater Pandora (@teaterpandora).
Menurutnya, riset merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan dalam menyiapkan kostum saat akan mengadakan pentas. Semua hal perlu diteliti secara mendalam, mulai dari latar waktu dan mood suatu adegan hingga ceritanya secara keseluruhan.
“Dari situ, maka bisa ditentukan moodboard sehingga bisa mengeksekusi pemilihan warna, detail kostum sekecil apapun yang bisa mendukung pertunjukan,” jelas Angel.
Sumber TFR lainnya, Fya (24), pernah berkecimpung di divisi kostum untuk teater kampus FISIP UI, Teater Paradoks (@teaterparadoks), dalam sebuah pertunjukan bertajuk “Opera Primadona” pada tahun 2017 silam.
Dalam mengurus kostum, Fya melalui proses yang sama dengan yang dilalui Angel. “Pekerjaan divisi kostum tidak hanya memasangkan pakaian ke aktor, namun juga melihat mood peran secara keseluruhan sehingga bisa menentukan kostum terbaik untuk dipakai pada saat pementasan,” ujarnya.
Setelah proses riset, divisi kostum kemudian membuat proposal kostum yang diajukan kepada sutradara pertunjukan. Selain itu, juga ada tes percobaan untuk melihat apakah eksekusi kostum sesuai dengan ide awal. Tes percobaan biasanya dilakukan dengan tim tata cahaya, tata rias, dan divisi lainnya yang berhubungan dengan latar.
Dalam membuat konsep kostum, Angel mencari inspirasi dari film, lukisan, hingga foto yang mirip atau sesuai dengan latar pementasan yang sedang disiapkan. Fya lebih memilih YouTube, Pinterest, dan gambar di Google.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan dalam memenuhi kebutuhan kostum, mulai dari beli baru dan beli di toko baju bekas hingga menjahit sendiri menyesuaikan dengan masing-masing karakter.
Tantangan yang dihadapi oleh divisi kostum dalam melakukan tugasnya ada di tahap produksi hingga detik-detik pementasan.
“Ada saja kemungkinan untuk susah menemukan kostum yang sesuai dengan konsep awal dan sulitnya mencari aksesoris yang merupakan simbol dari karakter yang diperankan. Hal ini penting karena ada gaya khas dari karakter yang harus ditampilkan oleh sang aktor melalui kostum,” jelas Angel lebih lanjut.
“Terkadang karakter yang dimainkan memiliki karakteristik yang berbeda dengan pemerannya. Hal tersebut bisa disiasati dengan kostum. Contoh, ada tokoh yang digambarkan berbadan besar, namun aktor yang memainkannya tidak cukup besar sehingga kurang cocok. Hal tersebut diatasi dengan membuat kostum yang diisi busa agar memberikan efek lebih besar kepada badan aktor,” tutur Fya.
Pada saat pementasan, kendala juga tak terelakkan.
“Pengaturan waktu dan tempo menjadi hal yang sangat penting untuk terus dilatih dalam membantu aktor berganti kostum di adegan yang berbeda. Tak jarang rentang waktunya hanya hitungan detik. Untuk itu, gladi resik kostum sangat diperlukan agar pertunjukan bisa berjalan dengan baik tanpa terkendala permasalahan kostum,” kata Fya.
Selain itu, lanjutnya, terkadang ada kostum atau aksesoris yang rusak saat akan digunakan di panggung. Divisi kostum harus mencari jalan keluarnya dengan segera tanpa mengganggu alur pementasan.
Meskipun jarang diberikan apresiasi secara langsung, baik Fya dan Angel merasa bahwa jika sebuah pementasan mendapatkan pujian, divisi kostum juga termasuk di dalamnya.
Menurut Angel, “Teater itu sifatnya ansambel. Tidak ada bagian yang berdiri sendiri dan lebih signifikan dari yang lain. Latar, kostum, pencahayaan, dan lain-lain berperan penting dalam keberlangsungan pertunjukan.”
Fya memiliki pendapat yang sama dengan Angel. “Kalau ada kekurangan dari satu divisi saja, maka hasil dari pementasan tidak akan bagus. Untuk teater, kerjasama dalam tim merupakan elemen yang sangat penting. Meskipun bukan aktor, divisi kostum tetap sama dibutuhkannya untuk mendukung pementasan berjalan dengan baik,” katanya.
Luthfi (25), pimpinan produksi di Teater Pandora, mengungkapkan pentingnya peran divisi kostum dalam sebuah produksi pertunjukan. “Untuk memainkan sebuah peran, aktor perlu menghidupi peran tersebut. Busana sendiri adalah bagian dari kehidupan dan identitas peran. Jika busana yang dikenakan tidak cocok dengan karakter yang ingin ditampilkan, pementasan tidak akan terlihat bagus,” ia menjelaskan.
Menurutnya, ketika sang aktor mendapatkan pujian, ada peran divisi kostum di baliknya. “Ketika penonton melihat pertunjukan, mereka akan melihatnya secara keseluruhan. Akan tetapi, jika aktor yang lebih disorot daripada divisi lain, tidak perlu berkecil hati. Menjadi pekerja di balik layar memiliki konsekuensinya sendiri.”
Bagi Luthfi, aktor memang merupakan garda terdepan di bisnis teater. Oleh karenanya, aktor harus bisa menggunakan properti dan kostum apa pun yang diberikan kepadanya. Sebagus apapun kostumnya, tidak akan bermakna kalau aktor tidak bisa berperan dengan baik.
Dalam hal ini, bisa dikatakan bahwa hal tersebut juga berlaku sebaliknya. Jika aktor sudah memerankan tokohnya dengan baik, namun elemen pendukungnya, seperti kostum, tidak dieksekusi sebaik pemeranannya, hasil dari pertunjukan tersebut juga tidak akan maksimal.
Semua elemen di dunia teater memiliki harmonisasinya satu sama lain. Tidak ada yang lebih dominan dari lainnya. Terkadang, penonton hanya kurang memerhatikan aktor yang berada di balik layar.