TFR

View Original

Kesamaan ide dalam film, apakah pelanggaran hak cipta?

Ditulis oleh Angga Priancha dan Olive Nabila | Read in English

Saking tenarnya “Squid Game”, dunia pertelevisian Indonesia turut membuat adegan sinetron yang memiliki kesamaan ide dengan serial death-game asal Korea Selatan tersebut.

Ide di sini lebih dalam maknanya dari sekadar kesamaan genre, tetapi bagaimana film tersebut harus dibuat, mulai dari fondasi cerita, pengembangan alur, setting lokasi dan kostum karakter, hingga musik yang dimainkan.

Sinetron “Dolanan Games” sempat menjadi bahan perbincangan karena para pemainnya menggunakan pakaian olahraga yang mirip dengan kostum berwarna hijau yang digunakan para peserta “Squid Game”

Di samping kostum, ide ceritanya juga mirip, di mana dalam salah satu episodenya, karakter dalam sinetron tersebut mendapat undangan misterius untuk memainkan sebuah permainan yang belum diketahui aturan mainnya.

Serupa dengan “Squid Game”, peserta yang menang akan memperoleh sejumlah uang.

Bedanya, tidak ada nyawa yang dipertaruhkan dan hadiah uangnya tidak sebesar di “Squid Game”.

Foto: “Dolanan Games” dari SCTV

Foto: “Squid Game” dari Netflix

Netizen menilai pihak “Dari Jendela SMP” telah melakukan plagiasi terhadap “Squid Game” dan “Harry Potter”. Akan tetapi, apabila kita telaah dengan saksama, meski memiliki ide yang sama, kedua serial tersebut menghasilkan cerita dengan gaya ekspresi yang berbeda.

Menariknya, ada kemungkinan besar di mana kemiripan ide cerita seperti yang terjadi antara “Squid Game” dan “Dolanan Game” bukan merupakan pelanggaran hak cipta.

Mengapa demikian?

Foto: “Dari Jendela SMP Siapa Si Paling Menyihir Hatimu”

Foto: “Harry Potter 20th Anniversary: Return to Hogwarts”

TV Format: Ekspresi karya cipta intelektual atau ide besar sebuah acara?

Serial, film, komedi situasi, berita, dan acara bincang-bincang adalah bagian dari program televisi (program TV) yang kita tonton sehari-hari di televisi. “Pesbukers”, “Friends”, dan “Mata Najwa” adalah contoh-contoh program TV dengan jenis yang berbeda.

Sebelum ditayangkan, masing-masing acara tersebut pasti memiliki idenya sendiri yang melatarbelakangi mengapa acara tersebut dibuat seperti itu.

Ide merupakan salah satu dari sekian banyak elemen yang menyusun format sebuah acara televisi.

Marie Larsson dalam tesisnya yang berjudul “Television Format – Enjoy the comfort of copyright or is there a new direction for tv-protection? The IP system from WIPO in regards to the articles in the UNHR” menjelaskan bahwa Television Format (TV Format) merupakan ide di balik sebuah program TV yang mengatur bagaimana sebuah acara seharusnya diproduksi dan tentang apa acara tersebut. Ide tersebut kemudian ditulis dan dipresentasikan kepada perusahaan produksi.

Contoh ide program TV dijelaskan Larsson sebagai berikut: “terdapat 16 orang yang dikirim ke sebuah pulau terpencil selama 3 bulan hanya dengan pakaian di tubuh mereka. Hanya satu orang yang akan selamat. Kamera akan mengikuti setiap gerak-gerik mereka. Pemenangnya akan mendapat hadiah uang tunai dengan jumlah yang besar”.

Ide di atas merupakan contoh untuk sebuah program TV dengan genre survival, “Expedition Robinson”. Ada juga “American Idol” dan “Who Wants to be a Millionaire yang menjadi contoh program TV yang berhasil memperoleh perlindungan hak cipta dan dipasarkan ke berbagai negara di dunia.

Akan tetapi, untuk dapat menjadi sebuah program TV yang ber-hak cipta, acara-acara tersebut harus memiliki unsur-unsur tertentu.

Albert Moran, professor screen studies dari School of Humanities di Griffith University merumuskan elemen-elemen dari TV Format sebagai berikut:

  1. The paper format, berisi deskripsi tertulis dari suatu acara.

  2. The bible format, lebih luas dan detail cakupannya dibandingkan paper format. Di sini para produser akan menulis setiap aspek dari produksi, pemasaran, hingga promosi. Dikutip dari blcklst.com, the bible mencakup penggalian tema secara mendalam, deskripsi karakter secara lebih luas (termasuk biografi singkat), tujuan acara secara keseluruhan, anggaran, lokasi acara, dan ringkasan untuk episode selanjutnya.

  3. Konsultasi produksi adalah arahan/saran dari produser dari acara orisinalnya.

  4. Perangkat lunak dan mesin komputer, berupa desain grafis dan efek-efek tertentu yang digunakan.

  5. Titles, termasuk merek dagang, logo, dan bentuk tertulisnya.

  6. Sounds terdiri dari musik, jingle, dan lagu tema yang dibuat secara tertulis.

  7. Naskah.

  8. Rekaman video.

Problematika perlindungan TV Format

Hak cipta hanya melindungi karya cipta intelektual di bidang literatur dan seni yang sudah diekspresikan dalam bentuk nyata.

Syarat bagi sebuah karya untuk memperoleh hak cipta adalah memenuhi unsur orisinalitas dan fiksasi. Syarat orisinalitas bertujuan untuk membuktikan bahwa karya tersebut benar-benar berasal dari pencipta yang membuat. Ini berarti karya yang original seharusnya bersumber dari kreativitas sang pencipta.

Syarat fiksasi mewajibkan agar ide yang melatarbelakangi sebuah karya untuk diwujudkan atau direalisasikan; menjadi suatu ekspresi yang nyata, sebagai contoh ditulis, digambarkan, atau direkam melalui mesin fonogram. Hasil ekspresi tersebutlah yang dilindungi oleh hak cipta.

Jadi, untuk dapat memperoleh perlindungan hak cipta untuk karya apa pun, maka idenya harus diwujudkan. Sementara, TV Format dapat dikritik bahwa bentuknya masih dalam tatanan ide besar sebuah acara dan bukan ekspresi yang nyata sebuah ciptaan. Yang berarti seharusnya tidak dapat dilindungi oleh hak cipta.

Dalam TV Format, yang dapat dilindungi selama ini adalah hasil dari ide tersebut, yakni hasil rekaman filmnya. Meskipun begitu, melalui praktik hukum yang berkembang, keberadaan TV Format sudah mulai diakui pengadilan.

Meskipun telah dibentuk elemen-elemen detail yang dapat menyusun format sebuah program TV, tidak mudah bagi program tersebut untuk dilindungi secara keseluruhan. Pasalnya, walaupun masing-masing dari elemen tersebut dapat membantu proses pengekspresian fiksasi, sulit untuk melindungi gabungan dari elemen-elemen tersebut sebagai TV Format. Ini dikarenakan pakem dari elemen tersebut tetap membuka kemungkinan ekspresi yang berbeda sebelum direkam dalam bentuk video.

Ini berarti TV Format secara keseluruhan masih berupa tatanan ide yang tidak dapat dilindungi oleh hak cipta yang hanya melindungi ide yang telah diwujudkan.

TV Format secara garis besar hanya memuat bagaimana sebuah program akan ditampilkan dan bukan bentuk perwujudan ide tersebut.

Sebagai contoh, kita ingin membuat sebuah film yang bercerita tentang “kehidupan masa SMA”. Frasa “kehidupan masa SMA” adalah ide dari film kita. Langkah merealisasikannya adalah dengan cara memproduksi film tersebut. Proses mengembangkan jalan cerita, membuat naskah, menentukan jumlah pemain dan karakter, penentuan lokasi, judul, dan lain-lain masih berupa ide yang tidak dilindungi hak cipta. Yang dilindungi adalah hasil filmnya sebagai karya sinematografi.

Permasalahan ini semakin kompleks karena tidak semua program TV merupakan tatanan yang baku. Program game show misalnya. Di sana, para pemain hanya diberitahukan seperti apa permainan akan berlangsung, akan tetapi naskahnya masih memerlukan improvisasi dari pemain.

Ini berbeda dengan program TV “Who Wants to be a Millionaire yang formatnya lebih mudah untuk dibakukan karena tidak diperlukan improvisasi dari pesertanya. Dalam program ini, peserta hanya perlu menjawab sejumlah pertanyaan untuk dapat memenangkan hadiah. Akan tetapi, keberlangsungan bagaimana pertanyaan dijawab pun masih berupa tatanan ide dan bukan merupakan ekspresi baku.

Lalu, perlindungan seperti apa yang bisa diberikan?

Pertama, perlindungan dapat diberikan melalui rekaman video dari format televisi yang direkam dan bukan formatnya secara keseluruhan. Layaknya Disney yang memiliki hak cipta atas film-film garapannya.

Opsi lain dari adalah dengan memecah komponen di balik TV Format. Misalnya, soundtrack dalam kelompok lagu dan musik sebagai naskah atau fonogram; atau naskah yang dapat dilindungi dalam kelompok karya tulis.

Akan tetapi, selain hak cipta, pembuat TV Format sekarang mulai menggunakan hak merek sebagai payung hukumnya. Hal ini tercermin melalui praktik franchise TV Format yang marak di seluruh dunia, seperti Idol series, X Factor series, atau Got Talent series.

Dengan melindungi TV Format melalui merek, pencetus ide dari TV Format dapat mendaftarkan judul acara, logo, hingga slogan/jingle sebagai bagian dari merek dagang ke dalam berbagai kelas merek (baik nasional maupun internasional) dan di berbagai negara. Tujuanya adalah agar konsumen dapat membedakan acara-acara TV dengan format ide serupa dengan menggunakan tanda dengan daya pembeda yang dapat dilindungi oleh hak merek.

Contoh kasus TV Format

Salah satu contoh adalah Banner Universal Motion Pictures Limited (BUMP) yang mengklaim telah mengembangkan format Minute Winner pada 2003. Kemudian pada 2005, pihaknya bertemu dengan TV Friday untuk membahas produksi program TV tersebut. 

Pihak BUMP telah mencantumkan perjanjian kerahasiaan saat mempresentasikan format tersebut. Namun sayang, TV Friday kemudian memproduksi program TV bernama “Minute to Win It” yang formatnya berhasil dijual ke berbagai negara.

Ketika mengajukan gugatan ke pengadilan Inggris, pengadilan menilai bahwa format yang diajukan BUMP masih berupa ide inti yang sederhana dan tidak menarik perlindungan apa pun.

Jadi, apakah kemiripan dalam film merupakan pelanggaran hak cipta?

Kesamaan ide dalam sebuah film tidak dapat serta merta dikatakan sebagai sebuah pelanggaran hak cipta. Pasalnya, hak cipta tidak melindungi ide. Lagipula, meskipun ide yang digunakan sama, output yang dihasilkan pasti akan berbeda.

Sebagai contoh, misalnya dua orang sama-sama mengambil foto di Monumen Nasional (Monas). Meskipun idenya sama, yakni foto dengan latar Monas, hasil dari lensa mereka akan berbeda.

Meskipun sinetron “Dari Jendela SMP” mengambil ide yang sama, yakni memainkan permainan misterius untuk mendapatkan uang, akan tetapi kostum, setting lokasi, dan permainan yang dimainkan berbeda. Hal ini menghasilkan dua cerita yang berbeda, yakni milik “Squid Game” dan satu lagi milik “Dari Jendela SMP”.

Akan menjadi pembahasan lain apabila “Squid Game” sudah berhasil memperoleh perlindungan hukum melalui hak cipta/hak merek. Jika demikian, maka pihak “Squid Game” dapat mengajukan gugatan atas kemiripan dalam sinetron tersebut.

Analogi lain, ada banyak film dengan genre death-game, “Alice in Borderland” misalnya. Meskipun sama-sama mengangkat ide yang “memaksa pesertanya memainkan permainan tertentu untuk bertahan hidup”, keduanya menghasilkan ekspresi sinematografi yang berbeda.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita terkini

See this gallery in the original post