TFR

View Original

Bagaimana tata kelola bisnis museum?

Ditulis oleh Haiza Putti | Read in English

Pernahkah kalian merasa penasaran bagaimana sebuah museum bekerja, sampai-sampai bisa mendatangkan karya seniman-seniman penting dari seluruh dunia? Ternyata, sebagai lembaga seni dan budaya nirlaba, museum mendapat koleksi dan dananya dari berbagai sumber. Mari kita telusuri bagaimana sebuah museum bekerja dan seperti apa model bisnisnya lewat Museum MACAN!

Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (Museum Seni Rupa Modern dan Kontemporer Nusantara) atau Museum MACAN berdiri sejak 2017. Berbeda dengan galeri seni, menurut Direktur Museum MACAN Aaron Seeto, tujuan museum adalah untuk menjadi ruang edukasi dan apresiasi bagi publik luas.

Aaron  menjelaskan bahwa museum sama sekali tidak melakukan transaksi jual-beli karya seniman layaknya sebuah galeri seni. Museum memiliki peran sipil yang lebih jauh lagi, yakni menjaga keberlangsungan edukasi seni dan budaya bagi generasi sekarang hingga masa depan.

Museum memiliki koleksi tetap serta koleksi yang merupakan hasil kolaborasi dengan lembaga lainnya. Koleksi tetap Museum MACAN terdiri dari 600 karya yang berasal dari pengalaman Haryanto Adikoesoemo selama 30 tahun sebagai kolektor seni. Koleksinya terdiri dari berbagai bentuk karya dan berasal dari berbagai seniman dari seluruh penjuru dunia.

Terkadang, sebuah museum turut melengkapi koleksi karya yang dipamerkan dengan berkolaborasi dengan lembaga-lembaga lain. Salah satunya lewat kerjasama dengan museum lain yang kerap dilakukan demi mengembangkan riset narasi kesejarahan fenomena seni dan budaya, serta untuk melengkapi karya-karya yang akan ditampilkan ke publik.

Contohnya, Museum MACAN bersama Museum Seni Rupa dan Keramik Jakarta bekerjasama dalam proses riset dan turut menyumbangkan karya penting pelukis Sudjojono untuk melengkapi narasi sejarah Indonesia di pameran “POSE”.

Museum MACAN juga bekerjasama dengan para kolektor karya Agus Suwage untuk melengkapi rekam jejak perjalanannya dalam pameran “The Theater of Me”.

Mengenal sumber dan pengelolaan dana museum

Walau kita baru membahas satu dari banyak kebutuhan tata kelolanya, terlihat jelas betapa kompleks kerja sebuah museum. Lantas, dari mana museum mendapatkan dana ketika fokusnya adalah mendistribusikan pengetahuan kesenian, bersifat nirlaba, dan sama sekali tidak melakukan transaksi karya?

“Kami adalah organisasi non-profit, kami tidak bekerja untuk menciptakan keuntungan. Kami perlu memiliki program yang berkelanjutan, dan ya, juga perlu pendapatan,” ungkap Aaron.

“Kami memiliki penjualan tiket, ada juga filantropi lewat patron dan program keanggotaan, dan juga dukungan yang kita dapat dari yayasan. Tapi, kami juga memiliki toko. Walau itu tidak menjadi bagian dari yayasan dan merupakan entitas yang berbeda, toko memainkan peran penting bagi model keberlanjutan kami,” jelas Aaron ketika ditanya tentang sumber dana Museum MACAN.

Dengan mengunjungi dan membeli tiket ke Museum MACAN, kita tak hanya menikmati berbagai macam karya dan program yang telah diraciknya, tapi juga turut mendukung keberlanjutan museum tersebut, termasuk proyek edukasinya yang terus dikembangkan dan didistribusikan kepada khalayak luas, lembaga, hingga komunitas terkait.

Gerai suvenir museum juga menjadi sumber pemasukan lainnya. Tak hanya menjual produk konsinyasi, toko Museum MACAN menyediakan berbagai macam produk orisinalnya, termasuk suvenir kolaborasi dengan seniman.

Kolaborasi Museum MACAN dengan seniman kerap dilakukan ketika sebuah pameran berlangsung. Tak hanya berlaku sebagai buah tangan bagi pengunjung, tapi juga sebagai bentuk dukungan kepada ekosistem seni rupa. Aaron mengingatkan bahwa dalam kolaborasi, hak cipta sang seniman atas karyanya menjadi hal fundamental. Museum memastikan bahwa seniman tetap mendapatkan bagiannya.

“Sebagai kurator, saya ingin melihat seniman memiliki sustainability juga. Jadi, salah satu hal yang kami lakukan ketika membuat merchandise adalah menjalin hubungan baik dengan seniman, untuk memastikan bahwa hal-hal itu dikelola dengan baik. Sesuatu yang kami harap dilakukan oleh orang lain juga adalah untuk menyadari bahwa seniman memiliki hak berkelanjutan atas pekerjaan mereka,” jelas Aaron.

Payung yayasan yang membawahi Museum MACAN juga menjadi moda penggerak utamanya. Dukungan pendanaan lain didapat Museum MACAN dari para patron dan anggota program keanggotaanya yang berisi para pecinta seni. 

Lantas, apa itu patron? Apakah mereka berperan seperti investor? Ternyata tidak. Aaron menjelaskan bahwa patron adalah seorang pecinta seni yang memberikan dukungan dana kepada museum, sepenuhnya didasari oleh keinginan untuk mendukung proses edukasi seni dan budaya terhadap seluruh lapisan publik.

“Pastinya mereka bukan investor, dan kami tidak memperlakukan mereka seperti investor. Kami menganggap mereka sebagai pecinta seni dan rekan dalam dunia seni. Mereka yang suka berkelana dan mendukung dengan banyak bentuk lainnya, sebagai filantropi,” tutur Aaron.

Museum bekerja, edukasi tersebar, dukungan terus mengalir

Bisnis museum mengedepankan penyebarluasan pengetahuan seni dan budaya kepada publik, sehingga yang menentukan seberapa baik performa sebuah museum adalah seberapa jauh programnya dapat mengedukasi dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat.

Letak pertukaran keuntungan bagi para penyokong dana pun terletak di sana. “Tak harus bernilai ekonomi ketika kita membicarakan tentang bisnis, melainkan tentang kepentingan nilai budayanya,” ujar Aaron.

Museum tidak mencari keuntungan dari pendapatan, juga tak melakukan transaksi karya. Aaron menjelaskan, anggaran museum dikembangkan untuk kebutuhan penelitian dan pendistribusian informasi kepada publik, dan mengutamakan pengalaman kesenian. 

“Hal ini dilakukan melalui komunikasi, edukasi, dan paling pentingnya adalah lewat cara museum menampilkan karya-karyanya,” jelasnya. 

Head of Communication Museum MACAN Margaretha Untoro menjelaskan bahwa museum juga terus berupaya untuk menggunakan wadah-wadah yang relevan bagi audiens lintas-generasi. Sebuah museum tak hanya meneliti bahasa keseniannya, tapi juga tren dan gaya dari masing-masing generasi yang ditujunya.

“Karena gagasan dari seniman, museum, dan kurator mungkin agak terlalu berat untuk dicerna masyarakat umum, masyarakat yang bukan pelaku seni atau masyarakat yang bergerak di industri seni. Jadi, mereka (gagasan) perlu disederhanakan dan dibuat lebih ringan bahasanya supaya mereka tertarik dan mau datang melihat pameran tersebut,” ungkap Margaretha, yang kerap dipanggil Margie. 

Menurut Aaron, kesadaran paling dasar yang paling dibutuhkan dalam menjalankan sebuah museum ialah imajinasi seluas-luasnya. 

“Kami selalu terbuka untuk berbagi informasi dan berbagi proses karena kami belajar banyak lewat kolaborasi. Tapi, saya akan mengatakan bahwa Anda perlu memiliki imajinasi dan rasa ingin tahu dan tetap bertujuan untuk kebaikan sosial,” tutupnya.


Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita terkini

See this gallery in the original post