Pembuat konten di start-up rentan kena PHK, benar atau tidak?
Ditulis Tentry Yudvi | Read in English
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus terjadi di perusahaan rintisan di Indonesia sejak Mei. Zenius Education, LinkAja, TaniHub, SiCepat, Line, JD.id, dan Pahamify adalah beberapa dari setidaknya 10 perusahaan rintisan di Indonesia yang melakukan PHK sejak Juni.
Banyak perusahaan di dunia juga melakukan hal serupa. Menurut Yuswohady, pakar bisnis dari Inventure, fenomena ini menunjukkan bahwa perusahaan rintisan sudah memasuki startup winter di mana banyak investor menarik dananya. Krisis yang terjadi secara global menjadi penyebabnya.
“Start-up ini kan memang hidupnya dari investor, krisis global membuat investor juga jadi menarik dananya. Karena start-up termasuk investasi high risk untuk sekarang dan 3 tahun ke depan,” ujarnya kepada TFR, Senin (25 Juli).
Lalu, apa yang menyebabkan krisis ini begitu menggebu-gebu menyerang perusahaan?
Menurut Yuswohady, ada dua faktor penyebab runtuhnya perusahaan rintisan. Pertama, pandemi COVID-19. Kedua, perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan inflasi secara global. Kedua negara ini terkenal sebagai pemasok energi dan pangan ke dunia. Tingginya permintaan membuat pasokan menjadi terbatas dan harga tukar dolar Amerika Serikat (AS) melambung.
“Kalau pandemi ini pemulihannya cepat, diperkirakan akhir tahun juga sudah membaik. Tapi soal perang Rusia dan Ukraina, ini yang belum tahu kapan akan berakhir. Nah, bisa saja beberapa tahun ke depan, ada lagi yang membuat adanya inflasi. Jadi memang tidak menentu situasi dan kondisinya,” imbuh Yuswohady.
Tentunya, inflasi tak dapat terhindari. Menurut DataBoks Katadata, rata-rata negara di Eropa mengalami inflasi sebesar 8.8%, sementara inflasi di AS sudah sebesar 8,6%, tertinggi dalam sejarah negara itu. Bagaimana dengan Indonesia?
Meski masih rendah, inflasi di Indonesia mencapai 4,39% karena Indonesia masih butuh energi dan pangan dari negara-negara lain. Menurut CNN Indonesia, Bank Indonesia memprediksi Indonesia akan mengalami inflasi di kisaran 4,5%-4,6% pada akhir 2022.
Resesi pun tidak akan bisa terhindari. Daya beli masyarakat menjadi rendah, dan akhirnya PHK tidak bisa terhindari, terutama di perusahaan rintisan.
Kata Yuswohady, ”Sekarang venture capital atau investor selektif menanamkan modalnya ke perusahaan. Tadinya investasi bisa jangka panjang, tapi bisa saja pemodal menarik seketika. Karena venture capital bukan perorangan, dia gabungan dari banyak investor yang berasal dari mana-mana.”
Kesulitan ekonomi ini tak hanya dirasakan oleh perusahaan rintisan saja, tetapi juga perusahaan terbuka yang sudah menjalani bisnis selama puluhan tahun, seperti Mayora dan Indofood. Namun, bisnis mereka lebih stabil karena tidak mengandalkan investor, melainkan penjualan produk.
Pembuat konten rentan terkena PHK
Startup winter ini membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, terutama para pembuat konten. Menurut daftar talenta milik Ecommerce & Tech Meme Factory, Ecommurz, sudah ada sekitar 1.989 karyawan yang terkena PHK. Lebih dari 200 di antaranya adalah pembuat konten, seperti penulis, ilustrator, dan animator.
Mengapa pembuat konten rentan terkena PHK?
“Sebenarnya begini, content creator ini kebutuhannya pasti banyak dalam perusahaan, berbeda untuk posisi strategis seperti marketing communication. Perusahaan nggak butuh banyak karyawan, tapi kalau kreatif itu pasti banyak,” ujar Yuswohady.
Untuk membuat konten bagus secara konsisten, dibutuhkan banyak pihak yang terlibat. Tentunya, hal tersebut membuat biaya produksi semakin tinggi. Apalagi, konten tidak menghasilkan pemasukan secara langsung, tidak seperti bagian penjualan. Efek dari konten bagus tidak datang secara instan. Efeknya baru akan terlihat setelah beberapa saat. Inilah yang membuat mereka rentan terkena PHK.
Ketika suatu perusahaan sedang dalam kesulitan finansial, penjualan akan diprioritaskan, sedangkan pengeluaran untuk biaya pemasaran akan disesuaikan. Konten biasanya di bawah divisi pemasaran.
“Start-up, terutama yang baru, butuh awareness, tapi sekarang pasti banyak yang butuh penjualan. Sementara content creator ini memang tidak menghasilkan, karena bukan tugas mereka. Ini kan marketing ya. Sehingga biaya produksi yang banyak dikurangi itu tadi, kemungkinan dari sana,” ujar Yuswohady.
Namun, tidak semua perusahaan mengurangi jumlah pembuat konten. Ada perusahaan yang malah butuh banyak pembuat konten. Di TikTok, misalnya, posisi ini masih aman.
Oleh sebab itu, Yuswohady menyarankan perusahaan rintisan untuk lebih mendalami industri kreatif itu sendiri, serta mengevaluasi kebutuhan mereka. Sebab, para pembuat konten memang bertugas untuk meningkatkan brand awareness, bukan meningkatkan penjualan.