Spotlight on MORAL: Bercerita melalui fesyen
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
“Kalau buat Moral, akan selalu ada setiap cerita di baliknya” adalah sentimen yang terus-menerus didengungkan oleh direktur kreatif Moral, Andandika Surasetja, dalam wawancara dengan TFR.
Melalui jenama fesyen kontemporer tanpa gendernya, Moral, Andandika mengartikulasikan kisah pribadinya dan menerjemahkan pandangan hidupnya ke dalam desain konseptual dan berani.
Proses bercerita merupakan inti dari Moral, karena fesyen adalah cara berkomunikasi yang disukai oleh Andandika. “Aku itu sangat introvert, tapi aku selalu ada dorongan untuk mengekspresikan perasaan aku, dan fesyen itu menjadi medium yang sempurna bagi aku untuk melakukan itu,” jelasnya.
Cara pendekatan Andandika ke fesyen layaknya seseorang menulis jurnal, terus-menerus menjalani proses introspeksi diri yang katarsis untuk mencari inspirasi. Itulah sebabnya cerita yang dituturkannya seringkali penuh dengan rasa sentimental. Misalnya, pada koleksi Moral musim gugur/dingin 2020-2021 di mana ia bercerita tentang kompleksitas hubungan manusia. Proses jatuh cinta yang melelahkan, namun membuat ketagihan, diterjemahkan ke dalam potongan lipit romantis dengan warna-warna yang merona.
Apabila proses bercerita menginspirasi konsepnya, pendekatan Andandika dalam mendesain busana dipenuhi dengan rasa pemberontakan. Dia menyamakan proses desainnya dengan musik alternatif di mana ia terus-menerus mencoba untuk menantang norma. “Kita itu men-challenge bahwa fesyen itu bukan selalu tentang beauty, tapi juga tentang bagaimana kamu men-challenge stigma dan gagasan yang sudah ada,” jelasnya.
Hal ini terlihat dari desain-desain Moral yang penuh dengan siluet yang non-konformis, memainkan warna dan tekstur yang berani, serta penjahitan yang progresif.
Walaupun begitu, istilah anti-mainstream juga tidak benar untuk digunakan dalam mendeskripsikan Moral, karena sifat dari cerita-cerita yang disampaikan di dalam karya Andandika sangat mendalam sehingga memberikan setiap kreasinya rasa kedewasaan yang mengubah identitasnya menjadi lebih dari sekadar perancang busana, tapi juga seorang visioner.
Kecerdikannya dalam menerjemahkan visinya ke dalam desainnya membuat Andandika mendapatkan undangan untuk menampilkan koleksi di pekan mode Harbin pada 2019 serta penghargaan lainnya, termasuk runner-up pertama di Asia Newgen Fashion Award regional pada 2018 dan the most innovative local brand di Jakarta Fashion Week 2017.
Namun bagi Andandika, penghargaan tersebut lebih dari sekadar bukti dari karyanya, tetapi juga sebagai caranya untuk meyakinkan dirinya dalam melawan rasa ketidakpercayaan diri karena tidak pernah menempuh studi fesyen. “Aku dulu itu takut menyebut diri aku seorang perancang busana, jadi aku merasa aku harus ikut kompetisi karena aku tidak pernah mendapat formal education di fesyen.”
Andandika memiliki latar belakang komunikasi dan kuliah di Universitas Padjadjaran. Dia berfokus pada fotografi, di mana ia mengingat bahwa dulu sering bertemu banyak mahasiswa fesyen yang hasil kreasinya sering ia foto. Dari sana, Andandika mulai belajar membuat pola dan memanipulasi kain.
Pada 2013, satu tahun setelah lulus kuliah, Andandika mendirikan Moral. Selama fase-fase awal, dia ingat mulai dengan desain sederhana seperti t-shirt, hoodies, dan sweatshirt. Keahlian desainnya secara bersamaan tumbuh selama ia membangun Moral, di mana kemudian ia bereksperimen untuk mendesain jaket dan blazer. Andandika juga mengatribusikan masa-masa ia bekerja sebagai editor dan stylist di majalah fesyen, Nylon, sebagai pengalaman yang berdampak besar dalam pengembangan keterampilan mendesainnya.
Saat Andandika bekerja sebagai stylist, dia bertemu dengan Radhitio Anindhito, saat itu rekan sesama stylist, yang sekarang bersama-sama menjalankan Moral sebagai brand director. Dia menggambarkan hubungannya dengan Radhitio sebagai sebuah kekerabatan di mana mereka terus mendorong satu sama lain untuk menjadi lebih baik. Ia mengenang saat ajang Asia Newgen Fashion Award regional tahun 2018. Andandika menyebut periode tersebut sebagai salah satu waktu dalam hidupnya di mana ia hampir menyerah. Saat itu, Radhitio-lah yang menyemangatinya untuk terus maju hingga akhirnya mendapat posisi runner-up.
Melihat balik ke masa itu, Andandika melihat pengalaman itu sebagai titik balik dalam karirnya di mana dia merasa telah berhasil sebagai perancang busana. “Di situ aku sadar yang dibutuhkan untuk menjadi seorang desainer lebih dari sekadar edukasi, tapi juga komitmen kita dan bagaimana kita mau berkembang melalui proses yang tidak bisa di-bypass.”
Baru-baru ini, setelah hampir 10 tahun sejak Moral didirikan, Andandika dan Radhitio menemukan jenama mereka dalam keadaan ekspansi. Pada Agustus lalu ketika seluruh negeri merayakan hari kemerdekaan Indonesia, Moral mengadakan presentasi mode yang ambisius yang diadakan selama dua hari di mana mereka tidak hanya memamerkan koleksi terbaru mereka, tetapi juga mengumumkan perluasan jenama Moral menjadi tiga lini yang berdiri sendiri, yaitu Moral, Studio Moral, dan Studio Moral di Futura.
Mereka menjelaskan bahwa keputusan tersebut dibuat untuk mendorong Moral agar bisa menjadi lebih komersil namun tetap menjaga integritas artistik dalam desain di Moral. “Kita melihat bahwa untuk bertahan kita harus mengimbangi idealisme kita dalam desain dan aspek komersial fesyen. Kita juga melihat bahwa desain yang konseptual memang merupakan siapa kita yang sebenarnya dan inti dari Moral, tapi dari sisi bisnis, kita bertahan melalui Studio Moral in Futura dan Studio Moral.”
Meski diarahkan untuk lebih komersial, desain di Studio Moral in Futura dan Studio Moral sangat jauh dari kata aman. Dengan Studio Moral in Futura, Andandika ingin merayakan sikap ekspresif dan riang anak muda. Hal itu diterjemahkan melalui serangkaian t-shirt grafis, sweatshirt, dan hoodies kontemporer yang dipasangkan dengan celana pendek dan rok berpijar yang bersinar dalam gelap yang memberikan energi yang menggetarkan jantung seperti pesta rave tahun 90-an.
Jika Studio Moral di Futura memancarkan energi remaja, Studio Moral ditujukan untuk audiens yang lebih dewasa. Dalam koleksi “Collection:01”, Andandika dan rekan desainernya, Karina Nasywa, mempresentasikan gagasan penggabungan antara masa lalu dan masa depan melalui penggambaran ulang pakaian kerja.
Ide pakaian kerja dipilih karena Andandika membayangkan lini ini untuk melayani kaum milenial yang mencari pakaian sehari-hari tetapi tetap memiliki twist. “Di sini bajunya itu praktis dan fungsional, namun aku tetap ingin mendobrak semua batasan,” jelasnya.
Blazer pria dipangkas hingga sepanjang pinggang dan diberi hemline bolero berbentuk huruf U yang radikal. Kemudian, dalam celana yang mereka sebut “low x pants”, siluet celana berpinggang tinggi biasa diberi pembaruan dengan ditambahkan flare di atas garis pinggang, memberikan celana tersebut suatu bentuk yang mirip dengan gelombang sinus.
Ide berpakaian tanpa gender sangat ditekankan dalam lini ini, sebagaimana model pria dan wanita mengenakan rok lipit asimetris yang serasi, sementara korset, simbol feminitas, dipasangkan dengan kemeja putih dan dasi hitam yang maskulin.
Skema warna dalam koleksi ini juga memberikan sentuhan baru pada pakaian kerja, karena palet warna netral dikontraskan dengan syal dan kaos kaki hijau neon, ungu, tosca, dan hot pink yang terasa seperti sisa-sisa pesta rave yang terjadi di koleksi sebelumnya.
Terlepas dari keputusan bisnis untuk memperluas jenama Moral, bagi Andandika keputusan itu juga dibuat untuk menghormati proses perkembangan organik yang ia lalui sebagai perancang busana pada saat membangun Moral. “Ketika aku lihat desain Studio Mora in Futura, itu yang aku desain 10 tahun lalu yang terus berkembang menjadi outerwear, jaket, dan blazer hingga sekarang desainnya lebih konseptual. Dari situ kita mulai melihat bahwa setiap proses itu jadi punya wujudnya sendiri-sendiri,” jelasnya.
Di satu sisi, penciptaan lini baru ini memungkinkan Andandika untuk menggunakan Moral sebagai taman bermainnya di mana ia bebas dari tantangan untuk menyeimbangkan desain dan bisnis; suatu tempat di mana ia bisa mendorong fesyen hingga batas yang paling jauh. Hal itu terlihat dalam koleksi Moral musim gugur/dingin 2022-2023 bertajuk “Home”, yang terinspirasi dari rumah masa kecilnya di Bandung.
Beskap tradisional dikontekstualisasikan ulang menjadi outerwear kontemporer yang kemudian dipasangkan dengan celana denim yang dihiasi dengan hiasan bulu halus di setiap sisinya. Disusul dengan rangkaian kemeja safari jacquard bermotif tribal Indonesia yang hadir dalam dua warna yang kontras. Karya khas Moral, cropped blazer, juga muncul, dibuat dari kain beludru biru yang didekorasi dengan applique yang mewah.
Namun, yang membuat koleksi ini terasa sentimental adalah cerita yang ada di balik setiap potongannya. Setiap bagian dari koleksi ini dipikirkan dengan baik dan dipenuhi dengan niat untuk memancarkan kenangan manis yang dialami Andandika di rumahnya.
Hal ini ditunjukkan pada mantel panjang berwarna kuning dengan hiasan fringe dan motif bunga merah muda yang dibuat dari selimut rajutan yang dulunya adalah hadiah pernikahan orang tuanya. Lukisan abstrak yang berisi letusan corak biru, kuning, dan hijau yang terpajang di dinding rumahnya juga menjadi sumber inspirasi. Andandika mengubah lukisan itu menjadi motif dan kemudian dibentuk menjadi atasan asimetris yang ultramodern dan atasan berleher tinggi.
Dia menggambarkan koleksi ini sebagai koleksinya yang paling jujur dan tulus, yang menjadikan koleksi ini sebagai favoritnya. “Di koleksi ini aku tidak ada intention apa pun untuk membuat orang terkagum-kagum. Aku cuma mau cerita dan aku rasa banyak orang bisa relate jadi aku merasa dimengerti. Dan as a designer dan as a person, satu-satunya hal yang aku mau itu adalah untuk dimengerti.”
Kini, Andandika dan tim Moral sedang mengerjakan kelanjutan dari koleksi “Home”, yang akan menceritakan kenangan buruk di rumah, serta koleksi untuk merayakan ulang tahun Moral yang ke-10.
Andandika juga berencana untuk terus mengembangkan Moral untuk lebih besar lagi dengan meningkatkan eksposurnya secara lokal dan internasional, khususnya di industri fesyen Indonesia saat ini yang menurutnya lebih terbuka, yang memungkinkan Moral untuk terus berkembang.
Namun, yang lebih penting lagi bagi Andandika, inti dari perkembangan itu melampaui keuntungan materialistis. "Yang penting itu berkembang, untuk mendapat pelajaran baru dan bisa terpapar dengan hal-hal baru.”