“Bernafas dalam lumpur”: di balik tirai film soft porn Indonesia era 70-80-an
Ditulis oleh Elma Adisya | Read in English
Supinah: Ke mana?
Budiman: Ke mana baiknya?
Supinah: Terserah situ, sewa kamar ada yang Rp1.000 ada yang Rp2.000
Budiman: Haha, kau suka yang mana?
Supinah: Terserah situ, buat saya sama saja, pakainya cuma sebentar
Mungkin sebagian besar masyarakat tidak familiar dengan percakapan di atas, yang adalah potongan dialog dari film “Bernafas dalam Lumpur” karya sutradara Turino Djunaedy yang juga dikenal dengan filmnya “Si Manis Djembatan Ancol”.
Film yang digarap pada 1971 ini melegenda di kalangan komunitas film, sebab digadang sebagai pelopor film Indonesia yang menonjolkan adegan seks tanpa sensor. Berdurasi satu jam lebih, film ini bercerita tentang perjuangan Supinah (Suzzanna) yang meninggalkan anaknya di kampung demi mencari tahu keberadaan suaminya di kota. Ketika sang suami ditemukan, Supinah mendapatinya sudah menikah lagi dan malah mengusir Supinah. Supinah yang sebatang kara di kota menjadi terlunta-lunta dan berakhir terjebak menjadi pekerja seks.
Meski dilabeli sebagai film dengan tonjolan adegan seks, adegan-adegan tersebut dikemas secara elegan. Misalnya, dengan menampilkan Suzzanna dengan pakaian dalam atau adegan menanggalkan celana dalam sebagai “penanda” aktivitas seks yang dilakukan karakter-karakternya. Tidak hanya adegan seks saja, film ini juga tersohor sebagai film pertama yang menggunakan dialog-dialog kasar dan keras seperti yang diucapkan oleh Supinah berikut:
“Pernah aku mau berhenti jadi pelacur tapi mereka tetap tertawa. Lalu kapan mereka tidak lagi menertawakan perempuan-perempuan seperti aku? Sungguh munafik, orang-orang yang mencela maksiat tapi sembunyi-sembunyi makan taik di luar rumah.”
Para penonton film ini mungkin lebih ingat piawainya akting Suzzanna yang dalam film ini kerap kali hanya berbalut pakaian dalam. Bahkan, dalam selebaran pamflet promosi fim ini, terpampang foto Suzzanna setengah telanjang dengan tulisan “Kepolosan dan keberanian Suzzanna membuat setiap orang panas dingin dan menahan nafas”, sebuah promosi yang ambigu dan tentunya membuat orang jadi berpikir yang “iya-iya”.
Padahal, jika dilihat dari segi plot, film ini mengangkat beragam isu sosial, termasuk eksploitasi perempuan, yang dikemas dengan apik. Meski dibalut beberapa adegan seks, demi menghindari gunting sensor, Turino lihai mengemasnya dengan adegan-adegan yang sarat simbolisasi. Dari film inilah beberapa sutradara pada saat itu melihat sebuah formula baru untuk bersaing dengan film-film luar negeri yang saat itu mulai digemari dan menarik perhatian konsumen lokal.
Keragaman latar belakang film panas di tiap dekade
Di balik kreativitas sineas Tanah Air kala itu, perkembangan industri film Indonesia periode 70-an memang erat kaitannya dengan pergantian rezim antara Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Soekarno menjadi rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto.
Dalam wawancaranya dengan TFR, Rizki Lazuardi, Program Advisor untuk Berlinale Forum, menggarisbawahi pentingnya melihat film-film panas yang diproduksi dalam tiap periode secara lebih mendalam, sebab tiap periode punya motivasi dan latar belakang yang berbeda. Dalam periode 70-an, misalnya, “Bernafas Dalam Lumpur” menjadi patokan awal karena ia hadir dengan mengeksplorasi secara artistik dari gagasan seksualitas.
Dalam film tersebut seksualitas menjadi bagian dari masalah sosial yang secara lengkap dibahas dengan lugas. Visualisasi adegan seks-nya juga hadir dengan kesadaran sebagai penjelajahan artistik.
“Film-film panas era 70-an itu berbeda dengan yang muncul di 90-an. Bisa dibilang saat pertama kali muncul, film-film ini mengeksplorasi seksualitas secara artistik. Karena waktu itu referensi terhadap erotisme dalam sinema baru masuk ke Indonesia saat impor film luar terbuka di masa Orde Baru. Nah, referensi terkait seksualitas ini memang banyak digunakan di film luar,” ujar Rizki.
Meskipun kemunculan formula seks ini dilatarbelakangi eksplorasi artistik, ternyata hal ini punya efek domino. Dari sana, sutradara dan produser mengetahui bahwa penonton punya ketertarikan besar terhadap seksualitas, yang termanifestasi dalam pembelian tiket yang tinggi. Jadi, formula seks tersebut mulai populer digunakan dengan menjadi bagian dari plot cerita, bukan sebagai esensi utama dari film.
Era 80-an: ketika seks dan kekerasan berpadu
Pada era 80-an, elemen seks berkembang dan kemudian dipadukan dengan beragam formula lain. Perpaduan yang paling banyak ditemui adalah dengan elemen kekerasan dan mistis, menjadikan era ini akrab disebut era eksploitasi film Indonesia dan kejayaan B-movies.
Kok bisa lolos sensor? Tentu ada alasan tersendiri. Sebetulnya, kemasan film yang kental dengan kekerasan, seks, dan mistis ini berkaitan erat dengan situasi politik Orde Baru yang sangat ketat mengawasi materi-materi yang membahas politik atau kritik sosial. Karena fokus sensor berat ke isu politik dan kritik sosial, pemerintah lebih melonggarkan materi-materi film seperti yang dijabarkan di atas.
Dikutip dalam video VICE berjudul “Blood, Guts, and Bad Acting: Inside the Indonesia B Movies of the 1980s”, sineas Tanah Air kala itu merespon sensor ketat pemerintah dengan membuat film dengan jalan cerita dan esensi di luar akal sehat, bahkan di luar selera masyarakat kala itu, dengan mencampurkan elemen kekerasan, mistis, erotis, dan berbagai elemen lainnya sebagai bentuk perlawanan.
Dalam percakapan TFR bersama Rizki, tersebutlah salah satu film eksploitasi yang juga menjadi puncak film eksploitasi era 80-an, yaitu “Lady Terminator: Pembalasan Ratu Pantai Selatan” (1989) besutan sutradara Tjut Djalil.
Ceritanya begitu liar dengan paduan ala franchise “The Terminator” garapan Hollywood. Bedanya, tokoh utamanya (Lady Terminator) bukannya digerakan oleh kecerdasan buatan jahat bernama Skynet, namun oleh Nyi Roro Kidul!
“Biasanya adegan seks itu dicampur dengan kekerasan, dan menurutku film ini menjadi puncaknya, dia memasukkan kekerasan ala Terminator dan klenik Jawa, terus seks. Tetapi kalau dibilang era ini masa peralihan ke era 90-an yang murni ‘seksploitatif”, nggak juga. Menurutku ini turunan artistik dari ‘Bernafas dalam Lumpur’,” ujar Rizki.
Pada intinya, ternyata karya-karya yang sering kita anggap tidak masuk akal punya alasan dan pesan tersendiri yang ingin disampaikan - walau kadang dengan cara yang tidak ortodoks. Tulisan ini mencoba memberikan sedikit gambaran di balik proses kreatifnya. Lalu, bagaimana dengan era 90-an dan selanjutnya? Apalagi, banyak yang berpendapat bahwa dekade 90-an merupakan puncak kebobrokan perfilman Tanah Air.
Jangan khawatir, karena artikel ini merupakan bagian pertama dari dua seri artikel yang membahas perjalanan film panas di Indonesia, sehingga jejak yang dibuat pada dekade-dekade berikutnya pun akan TFR kupas lebih dalam. Jadi, nantikan artikel ke-2 seri ini pada Desember 2022 mendatang, ya!