Accessorise for nature: Gebrakan aksesori trendi ramah lingkungan
Ditulis oleh Aghnia Hilya | Read in English
Belum lama ini jenama fesyen mewah Italia, Prada, menjadi perbincangan netizen di dunia maya setelah sederet aktor dan idol kawakan Korea Selatan mengunggah foto mereka dengan koleksi perhiasaan terbaru Prada dalam kampanye Prada Fine Jewelry. Menariknya, selain dikenakan Jaehyun NCT, Lee Jae Wook, hingga Sana TWICE, bahan yang digunakan pun bukan sekadar emas biasa.
Mengusung judul “Eternal Gold”, Prada menghadirkan koleksi perhiasan berkelanjutan pertama dari merek mewah dunia yang disajikan menggunakan 100% emas daur ulang bersertifikat. Koleksi ini bak contoh bagaimana praktik sustainable fashion dalam ranah aksesori diterapkan pada abad sekarang.
Namun, jenama mewah tersebut bukan satu-satunya yang melangkah menuju aksesori fesyen berkelanjutan. Sebut saja jenama kacamata Sunski yang mengolah plastik untuk dijadikan bingkai, Tiny Wood Studio yang membuat perhiasan dari logam daur ulang, hingga merek jam tangan Solois yang setiap talinya terbuat dari kulit vegan berkelanjutan dan bahan berkelanjutan lain.
Desainer aksesori Tanah Air pun telah melakukan hal tersebut, bahkan sejak penggunaan kata “sustainable” belum menjadi tren seperti belakangan ini. Setidaknya, begitu yang dikatakan Rinaldy Yunardi kepada TFR saat ditemui usai menjadi juri di Jakarta Fashion Week 2023.
“Dari dulu, untuk aksesori juga sudah memilih bahan yang pantas. Aksesori kan menempel ke kulit orang dan bisa bikin iritasi, apalagi anting yang masuk ke dalam kuping. Makanya, dari dulu kita udah pilih bahan yang sustainable, nggak merusak lingkungan dan tanpa bahan kimia,” ujar Rinaldy.
Bukan tanpa alasan desainer yang karyanya sudah dipakai tokoh papan atas seperti Beyonce, Madonna, hingga Katy Perry berkata demikian. Ia telah aware dengan isu ini dan menerapkan kesadaran ini pada tiap karyanya, misalnya dengan menggunakan plastik atau kertas daur ulang.
Selain bahan yang digunakan, keberlanjutan bisa juga diupayakan melalui proses yang lebih ramah lingkungan. Salah satunya seperti yang diterapkan Sunski. Secara material, Sunski menggunakan SuperLight, plastik daur ulang dari sisa post-industrial yang kerap sampai di pembuangan sampah akhir.
Lalu, tekstil dalam aksesori dan produknya terbuat dari solution-dyed recycled polyester (RPET), yang pada prosesnya, warna ditambahkan di awal pembuatan dengan mewarnai benang sebelum dipintal menjadi kain. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari ancaman bahan kimia berbahaya dan mengurangi limbah air.
Tak dimungkiri, belakangan konsep keberlanjutan semakin menjadi perhatian konsumen, terlebih usai pandemi COVID-19. Alasannya diungkapkan sebuah survei yang menemukan bahwa pandemi membuat responden makin sadar bahwa aktivitas manusia dapat mengancam iklim dan menyebabkan degradasi lingkungan, dan pada gilirannya mengancam manusia. Bahkan, mereka berpikir bahwa masalah lingkungan tidak kalah memprihatinkannya dibandingkan dengan masalah kesehatan.
Survei McKinsey pada 2021 mengungkap hal senada. Tidak hanya itu, konsumen pun mulai rela berupaya untuk membeli barang bekas dan mencari pakaian hingga aksesori yang terbuat dari bahan ramah lingkungan. Bahkan, riset yang sama menunjukkan bahwa para responden tersebut juga bersedia membayar 15% lebih banyak untuk opsi berkelanjutan.
Pasalnya, survei McKinsey pada 2020 juga sudah menunjukkan bahwa dalam praktiknya, konsumen sudah mulai mengubah perilakunya, salah satunya dalam belanja produk fesyen. Betapa tidak, 67% responden menganggap penggunaan bahan berkelanjutan sebagai faktor pembelian yang penting.
Melansir jurnal “Development of Sustainable Accessory Design Using Convertible Techniques” (2021), ditemukan fakta bahwa secara global pasar aksesori tumbuh sebesar 6,18% (CAGR) antara 2004 dan 2018, dengan valuasi pasar mencapai $356,4 miliar.
Sebagai gambaran, jumlah emas yang digunakan dalam satu cincin emas menghasilkan sekitar 25-50 ton mineral limbah selama penambangan, dengan produksi emas Tiongkok saja mencapai 401.119 ton pada 2018. Makanya, jika bicara mengenai keberlanjutan pada industri fesyen, bukan hanya bahan pakaian yang perlu diperhatikan, tetapi juga aksesorisnya. Hal ini pulalah yang jadi perhatian Jakarta Fashion Week (JFW).
Salah satu sorotan JFW akan aksesori adalah dengan mengadakan Lomba Perancang Aksesori (LPA) tiap dua tahun sekali, seperti pada JFW 2023 yang diselenggarakan akhir Oktober lalu. LPA kali ini mengangkat tema “Re:Shape”, di mana setiap peserta diharuskan membuat aksesori menggunakan materi yang dapat ditemukan di sekitarnya.
Dari limbah jadi nilai tambah
Mengutamakan aspek keberlanjutan, tahun ini perlombaan tersebut dimenangkan oleh Dyandra yang membuat berbagai aksesori, mulai dari masker, kalung, hingga anting multifungsi. Menurut Dyandra, limbah fesyen terus meningkat karena tingginya konsumerisme masyarakat.
“Setiap aksesorinya, fungsinya nggak cuma satu. Misal, masker bisa jadi kalung, anting bisa jadi belt. Itu untuk menjawab permasalahan kenapa banyak sampah fashion. Seengaknya itu bisa meminimalisir dengan memberikan mereka lebih dari satu opsi untuk memakai. Untuk mengasah kreativitas setiap penggunanya juga,” ungkap perempuan berusia 27 tahun itu dengan antusias saat ditemui TFR usai JFW 2023.
Dyandra yang juga berprofesi sebagai arsitek ini mengubah nilai sampah kayu konstruksi bangunan menjadi aksesori. Kegelisahan akan banyaknya sampah kayu sisa bangunan yang bentuknya masih bagus tapi dibiarkan begitu saja atau malah dibakar mendorong kreativitasnya untuk membuat aksesori, bahkan sejak di bangku kuliah.
“Aku jurusannya arsitek, terus tiap bikin maket, kok banyak banget sampahnya. Aku kumpulin sampahnya terus aku daur ulang jadi hal-hal kecil yang gampang kita pakai dulu, kayak aksesori. Karena kan kita mau bikin rumah yang nyaman buat kita, tapi kok kita malah merusak habitatnya,” ujarnya.
Kreasi luar biasa dari busa
Bukan hanya limbah kayu yang bentuknya masih bagus yang bisa jadi aksesori cantik, limbah busa bekas sepatu juga bisa menciptakan nilai jual lebih. Hal itulah yang mendorong Ratih, salah satu pemenang LPA JFW 2023, untuk berkreasi mengolah material dari lingkungan sekitarnya.
Saat ditemui, perempuan berusia 26 tahun ini memilih bahan busa ati atau spons eva untuk membuat shoulder necklace dan kalung dalam perlombaan itu. Rupanya, hal tersebut didasari keresahan Ratih atas banyaknya alas sepatu dari industri skala mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang selama ini dibuang dan dibiarkan menumpuk, padahal masih berpotensi untuk diolah.
“Material ini potensinya besar sekali untuk di-eksplor karena sifatnya fleksibel, jadi bisa dijadikan dan dibentuk apa saja. Jadi saya mengolah dengan metode pemanasan, cetak, dan mengeksplor nilainya agar punya nilai jual lebih tinggi,” ujar Ratih yang mengklaim belum ada produk aksesori dari busa ati.
Apa yang dilakukan Ratih dan Dyandra bukanlah hal baru. Beragam jenama aksesori fesyen di luar negeri dan lokal sudah mulai mempraktikkan dan menggalakkan isu keberlanjutan.
Lagipula, siapa yang dengan sengaja ingin memaksimalkan penampilan tapi membuat bumi tak nyaman? Namun, pertanyaan itu bukan butuh jawaban, melainkan tindakan nyata. Salah satunya adalah dengan memilih apa yang kita gunakan dengan bijak, mulai dari alat transportasi hingga pakaian dan juga aksesori. Kabar baiknya, kesadaran ini sudah sampai ke para penggiat fesyen di sekitar kita, sehingga memilih opsi berkelanjutan semakin mudah!