Placemaking, mendefinisikan ulang sebuah ruang
Ditulis oleh Hani Fauzia Ramadhani | Read in English
Dalam satu dekade terakhir, istilah “placemaking” makin banyak dikenal di Indonesia. Istilah ini mengacu pada penataan kembali ruang publik agar lebih tersinergi dengan komunitas di sekitarnya. Gagasan placemaking sebenarnya sudah ada jauh sebelum popularitasnya memuncak belakangan ini. Sebagai salah satu konsep arsitektur dan tata ruang, placemaking sudah dibahas sejak 1960-an oleh para peneliti dan aktivis tata kota seperti Jane Jacobs dan William H. Whyte yang menggaungkan wacana pembangunan kota untuk manusia, bukan kendaraan dan pusat perbelanjaan.
Di berbagai kota, prinsip placemaking banyak digunakan dalam pembangunan taman, revitalisasi sebuah area, hingga pembenahan pasar tradisional demi meningkatkan kualitas hidup manusia yang menjadi penghuni dan penggerak ruang-ruang tersebut. Namun, tentu tidak ada satu rumus sukses yang bisa diaplikasikan ke semua proyek placemaking, karena karakteristik dan kebutuhan tiap tempat dan komunitas tidak sama.
Menciptakan ruang inklusif
TFR menelisik sudut pandang mereka yang memang doyan menyambangi tempat-tempat berkonsep placemaking. Salah satunya adalah Byantara Mandala, seorang pemuda asal Palembang yang dua tahun terakhir melakukan perjalan keliling Indonesia dan mendokumentasikan cerita-cerita menarik lewat konten Instagramnya. Lelaki yang akrab disapa Byan ini selalu menyempatkan diri mampir ke tempat-tempat nongkrong asyik di berbagai kota. Ia mengaku, placemaking memang menciptakan daya tarik tersendiri untuk sebuah tempat. “Karena nongkrong bukan cuma tentang kita yang kenal sebuah tempat, tapi juga mengenal dan dikenal orang-orang yang ada di tempat tersebut. Placemaking bagi saya adalah ruang yang inklusif tempat bertemunya berbagai kelompok,” ujarnya.
Bagi Byan, tempat-tempat berkonsep placemaking punya karakter masing-masing yang sulit untuk dibandingkan. Bisa diperhatikan misalnya dari The Hallway Space dan Gudang Selatan yang kental identitas “barudak Bandung”-nya, menyuguhkan vibe yang berbeda dengan M Bloc Space atau pasar Santa, misalnya. “Ada juga pasar Papringan di Temanggung, karakternya sangat unik. Mereka berkonsep open air, memanfaatkan lahan di alam terbuka dan yang jual full wong ndeso,” tuturnya.
Ketika ditanya favoritnya, Byan memilih pasar Cihapit di kota Bandung. “Saya lebih suka konsepnya, yang walaupun tanpa satu lembaga resmi yang menaungi, tapi hidup. Paduan antara pasar tradisional dengan bisnis artisan anak muda dan skena kreatifnya melebur tanpa sekat. Anak-anak muda yang berjualan ini beli bahan baku dari pasar, suasananya pun nggak intimidatif bagi warga pasar buat datang. Ini membuka ruang buat bisa saling belajar,” jelas Byan.
Potensi besar memenuhi kebutuhan pasar
Melihat trennya, placemaking bisa diprediksi akan terus berkembang. Agaknya kehadiran tempat-tempat nongkrong yang mengadaptasi prinsip placemaking menjadi jawaban untuk anak-anak muda masa kini yang sudah semakin “woke” alias melek akan isu-isu sosial. Kelompok ini cenderung memilih tempat-tempat nongkrong yang menghadirkan bisnis-bisnis lokal, yang mengedepankan nilai-nilai berkelanjutan, dan yang punya prinsip pemberdayaan.
Tak bisa dimungkiri, selama ini usaha placemaking juga banyak digagas oleh pemerintah di berbagai daerah. Namun, tak semuanya berhasil karena ada missing link antara konsep yang ditawarkan dengan kebutuhan publik. Terbukti dari banyak taman-taman kota dan ruang publik lainnya yang dipercantik sedemikian rupa tapi tetap tidak menggugah warga lokal untuk menempatinya. Sepertinya, selain pelibatan komunitas lokal dalam proyek-proyek revitalisasi pemerintah agar lebih tepat guna, perlu juga pemberdayaan dan dukungan bagi komunitas yang ingin menggarap proyeknya secara mandiri.
Hal ini diamini oleh Faizal Budiman, yang akrab dipanggil Bob, salah satu pendiri The Hallway Space. “Idealnya pemerintah memberi full support bagi para placemaker muda buat menggarap ruang-ruang yang terbengkalai supaya lebih bermanfaat bagi banyak orang. Atau setidaknya mempermudah birokrasi bagi mereka yang punya ide dan siap untuk membangun ruang-ruang tersebut,” ujarnya.
The Hallway Space, sebuah pusat kegiatan kreatif bagi anak-anak muda di kota Bandung, adalah salah satu proyek yang lahir dari prinsip placemaking. Ruang yang sebelumnya merupakan area kosong di atas pasar tradisional ini berhasil disulap menjadi destinasi paket lengkap bagi muda-mudi yang mencari tempat nongkrong, makan, belanja, hingga berseni. Berkat lokasi yang strategis dan sudah familiar di kalangan warga Bandung, ditambah desain tempat yang nyaman dan kumpulan tenant yang terkurasi dengan apik, The Hallway Space otomatis menarik perhatian massa.
Perlu ide kreatif dan usaha kolektif
Bob juga bercerita tentang awal mula didirikannya The Hallway Space yang ternyata cukup banyak suka-dukanya. “Dimulai di 2018 ketika partner saya, Robby, membutuhkan ruang untuk bisnisnya dan kebetulan saya juga perlu gudang penyimpanan stok produk topi saya yang bernama Wearbobe. Akhirnya kami menyewa satu toko di pasar Kosambi,” tutur Bob.
Ternyata Bob dan Robby kemudian melihat potensi besar dari bangunan ini. Pasalnya, di pasar Kosambi pada saat itu hanya lantai satu yang beroperasi penuh, sementara lantai dua hingga enam telah kosong selama 15 tahun. “Kami mulai tertarik dan berpikir bisa melakukan sesuatu di lantai dua, kemudian memutuskan untuk patungan dan menggarap The Hallway Space pada 2019. Kami juga mengajak dua orang teman lain untuk membangun tujuh toko pertama. Tapi tiga bulan setelah itu, pasar Kosambi kebakaran dan kami cukup terdampak juga. Kami pun harus tunggu beberapa bulan untuk memastikan gedungnya masih layak,” sambung lelaki yang juga dikenal lewat akun TikTok-nya sebagai tukang spill hidden gem di Bandung.
Pada November 2019, ketika sudah dipastikan bahwa pembangunan The Hallway Space bisa dilanjutkan, modal Bob dan kawan-kawan telah menipis karena ada produk dan bagian pasar yang telah mereka bangun yang ikut terbakar. Mereka pun menggaet dua orang lainnya untuk mendanai pelebaran dari tujuh menjadi 20 toko. “Kemudian di Februari 2020, ketika sudah dimulai pembangunan kembali, kami terdampak pandemi. Akhirnya baru bisa soft launching di Oktober 2020,” jelas Bob lagi.
Kreativitas memang jadi kunci utama dalam mewujudkan visi Bob dkk untuk The Hallway Space; mulai dari membangun konsep hingga mengembangkan bisnis. Tapi usaha kolektif juga punya peran besar di sini. Kalau bukan karena sesama pelaku bisnis, seniman, dan anak-anak muda Bandung pada umumnya, tentunya mustahil tempat ini bisa berkembang pesat seperti sekarang. Berawal dari tujuh, kini ada 140-an gerai di The Hallway Space dan beragam kegiatan silih berganti dilangsungkan, mulai dari pertunjukan musik hingga pameran. Dari segi bisnis pun perkembangan The Hallway Space cukup signifikan. Bob menambahkan, “Dulu pendapatan hanya dari sewa-menyewa tempat, sekarang ada juga dari event organising, branding, dan lain-lain. Kami sekarang punya tim dengan berbagai divisi yang fokus mengurus hal spesifik. Selain itu kami juga mulai membenahi fasilitas umum mulai dari jalan, toilet, sampai tempat-tempat duduk.”
Ruang yang baik, seperti apa sih?
Dari sekian banyak tempat berkonsep placemaking, tidak semuanya menaruh perhatian pada hal-hal yang tepat. Di tengah era viral marketing seperti sekarang ini, estetika memang punya peran besar dalam membentuk karakter sebuah tempat. Tak heran, banyak tempat didandani dan dipoles sedemikian rupa agar orang mau datang, membuat konten, dan menggoda lebih banyak lagi orang untuk mampir dan melakukan hal serupa – begitu terus hingga viral. Hal ini sah-sah saja, namun sayangnya, estetika tidak menentukan keberhasilan penerapan placemaking yang seharusnya meningkatkan kualitas sebuah ruang.
Project for Public Spaces (PPS), sebuah organisasi non-profit beranggotakan pegiat ruang publik dengan berbagai latar belakang disiplin, menguraikan dalam publikasinya bahwa ada empat hal yang bisa dipakai untuk menilai kualitas satu ruang. Pertama, access and linkage, yaitu tingkat kemudahan akses dan keterhubungan sebuah tempat. Kalau susah dijangkau dengan moda transportasi publik dan tidak ramah disabilitas, sudah pasti di poin ini skornya rendah.
Kedua, comfort and image, yaitu citra baik dan tingkat kenyamanan sebuah tempat untuk dipakai beraktivitas. Elemen ini bukan hanya tanggung jawab pendiri dan pengelola tempat, tapi juga penggunanya. Ketiga, uses and activities;tentunya sebuah tempat harus punya fungsi yang jelas dan bisa dipakai dengan semestinya, bukan hanya tentang penampilannya saja. Yang terakhir dan yang krusial namun kerap luput dari perhatian, sociability. Sebuah ruang yang baik harus mampu mendorong interaksi antar-penggunanya