Ke mana perginya para lulusan sekolah film Indonesia?
Ditulis oleh Elma Adisya & Aghnia Hilya | Read in English
Tak pernah terpikir dalam benak Anggun (27) bahwa usai lulus sebagai sarjana dan bekerja menjadi buruh korporat, dirinya akan putar haluan dan berujung mengejar mimpinya dengan sekolah film. Mimpi yang sempat terlupakan karena kekhawatiran orang tuanya soal masa depan anak bontot mereka jika masuk dan berkarier di industri film.
Tak dapat dimungkiri, selama beberapa tahun terakhir industri film Indonesia tengah meningkat pesat. Menurut data Badan Perfilman Indonesia (BPI), pada 2018 jumlah produksi film nasional mencapai 132 judul dengan 51,2 juta penonton. Jumlah ini sedikit turun menjadi 129 judul pada 2019.
Ketika pandemi COVID-19 melanda, walau sedikit terseok di awal pada periode 2020-2021, industri film Tanah Air terbukti dapat bertahan. Pada 2020, jumlah film berada di angka 289 judul, lalu pada 2021 tercatat sebanyak 36 judul dan pada 2022 ada 47 judul dengan lebih dari 24 juta penonton.
Namun, perkembangan ini tidak didukung dengan ketersediaan kru film yang mumpuni, sementara kru yang ada mengalami karut-marut soal kesejahteraan mereka. Hasilnya, segelintir lulusan sekolah film memutuskan untuk bye, meski ada juga orang-orang seperti Anggun yang tetap mencoba mengadu nasib di industri ini.
Anggun meraih gelar S1 dalam bidang komunikasi di sebuah kampus swasta di Tangerang, makanya ia makin selektif dalam memilih institusi pendidikan untuk kedua kalinya. Anggun mencari sekolah yang durasi kelulusannya tidak terlalu lama dan terjangkau secara biaya.
“Nggak apa-apa deh nggak ada gelarnya juga, gue nggak ngincer itu, toh gue udah S1. Yang penting, ilmu yang bakal gue pakai di industri film itu yang gue cari. Untuk kuliah yang sekarang ini, gue beneran excited karena akhirnya gue nerusin mimpi gue,” tutur Anggun.
Akhirnya pada 2021, Anggun resmi kembali menjadi mahasiswa. Bedanya, kali ini ia mencari ilmu dengan tujuan yang jelas dan atas dasar cinta pada apa yang dipelajari. Ya, Anggun menyukai segala hal tentang film dan salah satu mimpinya adalah menuangkan dan mewujudkan cerita yang ia buat menjadi film dengan deretan aktor impiannya.
Nah, ketika hati sudah mantap berlabuh di perfilman, pendidikan film yang hanya akan ia jalani selama dua tahun ternyata beratnya bukan main. Untuk Anggun yang memang basic-nya menulis dan pernah merasakan praktik jurnalistik siar di lapangan, belajar film ternyata lebih sulit dari saat menempuh pendidikan jurnalistik
“Dari skala 1-10, susahnya itu 100 buat gue. Pas awal-awal masuk ekspektasi gue tinggi di sini, cuma kenyataannya susah. Untuk gue yang suka film aja, susah banget. Contoh, di satu proyek lo lupa bawa satu barang keperluan syuting, udah deh ambyar itu produksi. Dosen gue semua bilang, inti dari bikin film itu lo mesti pintar problem solving,” ujarnya.
Tak cuma itu, Anggun juga mengeluhkan betapa kompleksnya kerja tim dalam tiap tugas proyek filmnya, seperti ada pro dan kontra dalam setiap situasi.
“Ternyata di film itu sangat bergantung banget satu sama lain. Kru kedikitan pusing, kebanyakan juga pusing handle-nya. Krunya pun cocok-cocokan, tapi itu rare sih.”
Baru permulaan saja sudah terasa melelahkan, namun Anggun tetap tak patah arang karena menurutnya, ini baru permulaan. Hanya saja, ia tetap realistis dengan keadaan.
“Gue penasaran kalau udah nyemplung di industri ini gue bisa sampai mana, sih. Pengen nyoba aja dulu. Bisa nggak ya ide-ide absurd gue terwujud? Gue masih ada keinginan, meski itu mungkin terwujudnya bisa 10 tahun lagi,” pungkasnya.
Kabar dari sang lulusan perfilman yang ‘stuck’
Anggun masih punya asa dengan kecintaannya terhadap film, tetapi bagi Andita (25) si lulusan perfilman, asa itu sudah lama padam bahkan sebelum ia benar-benar lulus kuliah. Berangkat dari hobi fotografi, Andita memutuskan untuk masuk ke dunia perfilman yang akhirnya mengenalkannya dengan posisi director of photography (DOP).
“Awalnya ada keinginan jadi DOP, tapi udah muncul desas-desus jenjang kariernya keras. Jadi, aku sadar industri ini susah banget dan lumayan menantang buat aku,” kata Andita.
Kepada TFR, Andita menceritakan bahwa walau saat itu tidak ada kewajiban untuk mahasiswa untuk terjun ke lapangan, ia tetap berusaha mencari pengalaman di industri film. Salah satunya dengan bergabung dalam berbagai proyek film skala kecil.
“Pas aku mulai coba jadi crew cabutan untuk proyek-proyek freelance, aku kaget banget karena habit kerja dan alur kerjanya bikin syok. Ditambah lagi, aku bagian terkecil dari kru yang kadang nggak punya power,” ujarnya.
Realita semakin ia rasakan ketika ia mulai memantapkan diri untuk menggali lebih dalam film-film eksperimental dan editorial film. Namun, setelah terjun menjadi kru untuk beberapa proyek, Andita menyadari bahwa kalau harus terus-terusan bermodal proyek ke proyek, bergelut di industri ini sungguh tidak menjamin kesejahteraan.
“Aku tipe orang yang, kalau bayarannya kecil, setidaknya aku bisa berkarya. Tapi di lapangan yang aku lihat, karya aja aku nggak dapet, uang nggak dapet, jadi buat apa aku di sini?” katanya.
Pentingnya pekerja profesional film dengan latar belakang perfilman
Dua cerita itu hanya segelintir curahan hati calon dan mantan buruh perfilman di tengah masifnya perkembangan industri film tanah air. Sayangnya, di tengah perkembangannya, industri ini masih sulit mendapatkan kru yang kompeten. Saat dihubungi TFR, Kepala Prodi Fakultas Perfilman Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Kus Sudarsono, menegaskan bahwa lulusan perfilman menjadi bagian penting dalam perkembangan industri film Indonesia, jika ingin industrinya scale up.
“Memang beberapa keahlian dasar di industri film bisa dipelajari secara on the job training. Hanya saja sistem ini perkembangannya lambat, butuh waktu 3-4 tahun. Sedangkan yang lulusan pendidikan tinggi, mungkin hanya dengan magang selama enam bulan sampai setahun kemudian bisa menjadi line produser,” tambahnya.
Saat ini, institusi pendidikan film di Indonesia sudah lebih lengkap dari sebelumnya. Namun, menurut sutradara Ifa Isfansyah, meski kemudian dibuka banyak sekolah film, ini juga tidak menyelesaikan masalah, sebab yang paling penting adalah mencari tenaga pengajar mumpuni yang punya irisan industri dan juga pendidikan film.
“Memang PR-nya, selain kualitas dan kurikulum, pengajar itu sendiri. Nah di sini, saya pikir itu sudah permasalahan berikutnya, bagaimana mendapatkan SDM yang pas dengan apa yang dibutuhkan industri ini,” ujar Ifa yang juga pendiri Jogja Film Academy (JFA) ini.
Menciptakan ekosistem baru perfilman yang utuh
Walau mengalami kemajuan pesat dari segi jumlah produksi film dan penonton domestik, masih banyak sekali pekerjaan rumah yang perlu dibenahi bersama untuk menciptakan ekosistem perfilman yang menyejahterakan untuk para pekerjanya. Bukan hanya di lapangan, tetapi juga dimulai dari pendidikan.
“Film tak hanya soal produksi di lapangan. Ekosistemnya dimulai dari edukasi, eksibisi, distribusi, kajian, dan sebagainya. Semua akan saling berkaitan. Untuk menghasilkan film yang baik, juga dibutuhkan kritik yang baik. Kita juga butuh kajian film dan vokasional yang bagus,” ujar sutradara serial Netflix “Gadis Kretek” ini.
Demi menciptakan ekosistem yang utuh itu, Ifa memulai dengan mendirikan Jogja-NETPAC Asian Film Festival pada 2006. Namun, ia sadar bahwa itu saja belum cukup. Ia pun lalu mendirikan JFA, karena baginya, jika tidak ada ruang yang konsisten, sangat mungkin bakat dan pengalaman dari generasi pertama hilang begitu saja.
“Saat saya tumbuh sebagai pembuat film di daerah yang sebelumnya belum ada ekosistem film, menjadi pembuat film saja tidak cukup. Dari JFA ini kami berproses dan terus melakukan penyesuaian tiap tahun, baik kecil atau struktural untuk merespons kompetensi apa dan lulusan-lulusan seperti apa yang ingin kita hasilkan,” tutupnya.