TFR

View Original

Pergerakan membangun festival musik masa depan

Ditulis oleh Rahma Yulita | Read in English

Prambanan Jazz, Synchronize Festival, Soundrenaline, Pestapora, Joyland; nama-nama itu tentu sudah tidak asing untuk penikmat festival musik di Indonesia, bukan?

Melansir Whiteboard Journal, creator of Archipelago Festival dan co-founder Sounds From the Corner, Teguh Wicaksono, mengatakan bahwa saat ini, bentuk festival lebih banyak dan bervariasi, dengan konten dan musik yang juga berbeda-beda.

Pernyataan itu didukung oleh catatan Asosiasi Promotor Musik Indonesia yang menyatakan bahwa ada lebih dari 100 festival musik berskala nasional atau regional yang diselenggarakan pada 2022. Angka tersebut meningkat pada tahun ini.

Peningkatan ini mendorong lebih banyak promotor untuk menyelenggarakan festival musik yang semakin beragam, sehingga penonton pun memiliki lebih banyak pilihan festival yang cocok untuk mereka.

Eksistensi dan perkembangan festival musik secara global

Melansir The Music Studio, festival musik dipercaya pertama kali diadakan pada 582 SM dengan Pythian Games. Acara yang berlangsung selama enam hingga delapan malam ini menampilkan acara musik seperti nyanyian rohani yang ditujukan kepada Apollo, dewa seni dan musik.

Meski Pythian Games disebut sebagai festival musik pertama yang dicatat oleh sejarah, namun diyakini bahwa acara semacam ini sudah ada jauh sebelumnya, hanya saja dalam bentuk yang berbeda.

Berbagai festival musik pun terus bermunculan seiring perkembangan zaman, mulai dari festival musik klasik pada abad ke-17, Woodstock pada 1967,  hingga berbagai festival lainnya pada masa kini.

Salah satu festival musik yang paling mendunia adalah Coachella Valley Music and Arts Festival yang diadakan tahunan di California. Pada festival yang pertama diselenggarakan pada 1999 ini, tak hanya penikmat musik saja yang datang, tetapi juga para selebriti, sehingga menarik semakin banyak audiens.

Tahun ini, Coachella berhasil menarik lebih dari 500 ribu pengunjung selama dua minggu. Angka ini meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun lalu. Melansir InEvent, Coachella 2023 diperkirakan menghasilkan lebih dari $1,5 miliar (sekitar Rp23 triliun).

Pasca-pandemi bak “surga” festival musik di Indonesia

Melansir Kompas.id, CEO Prambanan Jazz Anas Alimi mengatakan bahwa peningkatan festival musik datang dari skala antusiasme penontonnya, di mana pada 2022, tiket baru habis terjual dua minggu sebelum acara.

Sementara, tiket Prambanan Jazz pada Juli 2023 habis hanya dalam waktu satu hari dengan kapasitas penonton yang lebih banyak.

Meski begitu, Program/Music Director Joyland Festival Ferry Dermawan memaparkan tantangan tersendiri untuk penyelenggara festival musik pada era pasca-pandemi ini.

Banyaknya festival yang muncul seakan menutup mata penonton untuk mencari tahu orang di balik festival tersebut. Sehingga, ketika ada kegagalan, maka promotor festival musik lainnya juga terkena dampaknya.

Apalagi mengingat bahwa belum lama ini, festival musik Greenlane Festival yang dijadwalkan berlangsung di Laswi Heritage, Bandung, pada 5 November 2023 batal diselenggarakan akibat anggaran senilai Rp1,5 miliar dipakai untuk keperluan pribadi oknum panitia.

Menurut Ferry, setelah pandemi, banyak festival yang kembali established dengan penuh semangat. Tak hanya itu, jumlah festival yang baru muncul juga tak kalah banyaknya demi memenuhi permintaan yang semakin tinggi.

“Makin ke sini, mungkin penonton juga coba datang ke beberapa festival yang pada akhirnya mereka punya banyak opsi dan bisa memilih festival mana yang paling sesuai karakter performance-nya dengan dia,” ungkapnya.

Meski pemilihan line-up penting, namun festival harus bisa meyakinkan penonton bahwa mereka menawarkan lebih dari sekadar line-up, yaitu experience.

Inklusi dan keberlanjutan, kunci festival masa depan?

Menyajikan lingkungan festival yang inklusif pun merupakan tantangan tersendiri bagi promotor.

Apalagi, isu ini telah menjadi sorotan di luar negeri. Melansir insight dari Irwin Mitchell, laporan “State of Access Report” menunjukan bahwa hanya sekitar 44% venue yang menyediakan akses bebas hambatan atau pintu masuk fungsional yang ramah disabilitas.

Tak hanya itu, 95% responden mengaku kesulitan untuk memesan tiket secara daring, karena biasanya harus memesan melalui telepon pada jam-jam tertentu.

Di Inggris, hanya sekitar dua dari 10 acara musik yang mengizinkan penyandang disabilitas untuk memesan tiket secara daring. Hal ini mendorong munculnya kampanye FestivalsWithoutBarriers yang merupakan upaya untuk meningkatkan akses bagi penonton, artis, karyawan, dan relawan penyandang disabilitas.

Meski tampaknya belum menjadi perhatian utama di Indonesia, namun harapan untuk memiliki festival yang inklusif - baik untuk penonton disabilitas atau untuk penonton segala usia - telah menjadi mimpi yang ingin diwujudkan promotor di Indonesia.

Dari penuturan Ferry, ia dan tim Joyland terus berusaha membuat festival environment yang lebih inklusif, meskipun hal ini cukup sulit dilakukan. Contoh mudahnya, mayoritas sponsor di Indonesia masih perusahaan rokok.

Menurutnya, akan butuh waktu beberapa tahun untuk memberi contoh yang lebih fair agar festival musik memiliki aturan bahwa rokok hanya bisa dinikmati di area tertentu saja.

“Ini sudah banyak contohnya di festival-festival besar di dunia, alkohol dibatasi hanya boleh beli dan minum di area tertentu dan tidak bisa keluar di area itu. Kita coba terapkan di Joyland, rokok dan alkohol di tempat tertentu saja,” jelasnya.

Ia menambahkan, sponsor rokok untuk Joyland Bali dapat menyesuaikan hal itu karena mereka sudah tahu pasar Joyland seperti apa. “Mereka rasanya juga tidak mau merusak environment yang sudah kita set. Pada akhirnya, sekarang bukan hal yang mustahil di beberapa festival posisi rokok sudah bisa seperti itu.”

Tak hanya itu, untuk menciptakan festival yang lebih inklusif dan cocok untuk dinikmati oleh keluarga, Joyland pun membuat acara yang memang dikhususkan untuk anak-anak. 

“Selain memperbaiki juga program yang sudah kita lakukan, sekarang di White Peacock juga kita mau bikin parade buat anak-anak,” jelas Managing Director Joyland Lintang Sunarta.

Lintang Sunarta & Ferry Dermawan | Sumber: Joyland

Selain dari sisi program, menampilkan line-up yang beragam juga mampu mendorong inklusivitas. Hal ini tak hanya penting untuk keberlanjutan festival musik, tetapi juga untuk memperluas exposure pemusik lokal.

“Makanya di Joyland kita mencoba untuk consciously memilih artis yang juga ada di luar Jawa, supaya mereka lebih banyak exposure juga. Karena kita melihat memang banyak gagasan-gagasan menarik yang ada di seluruh Indonesia, tapi belum ada platformnya saja,” ungkap Creative Director Joyland Gisela Ruslim.

Selain inklusi, isu yang juga kerap diangkat dalam berbagai festival musik adalah isu keberlanjutan. Coachella, misalnya, sudah menggunakan 100% energi terbarukan untuk keseluruhan festivalnya, mulai dari menerapkan program daur ulang hingga tempat untuk air isi ulang.

Live Nation, perusahaan live entertainment terkemuka di dunia, bahkan telah mengakhiri penjualan plastik sekali pakai di semua tempat acaranya sejak 2021 sebagai upaya mengurangi jejak karbon penonton.

Bagaimana masa depan festival musik di Indonesia?

Lintang menuturkan harapan agar setiap festival musik memiliki DNA yang kuat. Seperti halnya DNA Joyland, yaitu ada di taman, bersifat santai, dan penonton tidak terburu-buru mengikuti kegiatan yang disediakan.

Hal ini penting agar terus mampu bersaing dengan semakin banyaknya festival yang lahir. “Jadi ciri khasnya beraneka ragam dan tidak seperti ‘ngikut’ saja. Penonton juga jadi punya banyak pilihan jenis festival,” ujarnya.

Experience-nya lebih diperhatikan, karena kalau kita fokus ke line-up saja, festival isinya bakal jadi itu-itu saja,” tambah Gisela.

Masa depan festival musik di Indonesia tentu memiliki prospek yang cerah jika masing-masing pemilik atau promotor mampu menawarkan dan mewadahi gagasan-gagasan seru yang menjadi highlight dari festival itu.

“Jumlah festival dari 2022 ke 2023 naik semua dan mayoritas ada di luar kota besar. Mungkin mereka melihat tren yang terjadi di Jakarta, jadi kalau yang di Jakarta tidak menawarkan atau menampilkan sesuatu yang fresh, saya pikir pengikutnya juga jadi boring,” tutup Ferry.







Artikel terkait

See this gallery in the original post

Berita terkini

See this gallery in the original post