Garis tipis inovasi dan duplikasi: Menelusuri kasus Fuguku dan Bunzaburo
Ditulis oleh Kinan Kawuryan, interpretasi Bahasa Jepang oleh Bernhard Dwi Rendragraha | Read in English
“There is nothing new under the sun” atau tidak ada hal yang benar-benar baru di dunia ini, adalah kalimat yang sering digunakan sebagai pembelaan ketika seseorang dituduh melakukan plagiarisme. Namun, jika kesamaanya terlalu kentara, masihkah pembelaan itu berlaku?
Fuguku, brand cult-favorite asal Indonesia yang dikenal dengan desain berani dan tekstur tajam ikonik, telah meraih tempat khusus di hati para penggemar fashion. Namun baru-baru ini, Fuguku terlibat dalam kontroversi setelah karya-karyanya dianggap mirip dengan Bunzaburo, brand Jepang dengan sejarah lebih dari seratus tahun. Berawal sebagai produsen kimono, kini Bunzaburo dikenal sebagai pengrajin seni pakaian dengan teknik shibori.
Untuk menggali lebih dalam kontroversi tersebut, peneliti desain Kinan Kawuryan membagikan hasil investigasinya dalam artikel ini kepada TFR. Selanjutnya, investigasi ini juga menelusuri pertanyaan: apa sebenarnya batas antara inspirasi dan imitasi?
Investigasi dimulai dengan wawancara dengan perwakilan dari Bunzaburo untuk menggali pandangan mereka terkait isu plagiarisme yang beredar serta pentingnya melindungi kerajinan tradisional di era globalisasi. Selain itu, perwakilan Fuguku juga dimintai keterangan terkait tuduhan yang beredar.
Mengenal lebih dekat Fuguku dan Bunzaburo
Pada November 2024, influencer Indonesia @dariwulan menjelaskan kepada lebih dari 30 ribu pengikutnya di Instagram bahwa tas dan aksesori bertekstur tajam yang ia kenakan bukan berasal dari brand lokal Fuguku, melainkan dari merek Jepang bernama Bunzaburo. Klarifikasi tersebut, diikuti dengan penyelidikan netizen, memunculkan tuduhan plagiarisme terhadap Fuguku.
Saat dimintai keterangan terkait tuduhan tersebut, desainer dari Fuguku, Savira Lavinia, menyatakan, “Fuguku secara terbuka menanggapi tuduhan plagiarisme. Kami mengapresiasi Bunzaburo dan brand lain sebagai inspirasi, namun menekankan pendekatan unik dan komitmen terhadap originalitas.”
Fuguku’s Fugu Bag Midi in Holy Red (image courtesy of fuguku.com)
Bunzabaro’s Mini-Mini Bag in solid red (image courtesy of shop.bunzabaro.com)
Dalam situs webnya, Fuguku menyatakan bahwa mereka mengambil inspirasi dari bai shibori Jepang dan jumputan Indonesia. Savira mengungkapkan lebih lanjut:
“Teknik shibori spike, atau yang di Indonesia dikenal dengan jumputan, menjadi pilihan karena keunikannya dan potensinya untuk dikembangkan. Namun, metode tradisional Jepang yang rumit dan membutuhkan alat khusus mendorong saya untuk berinovasi. Melalui riset selama satu tahun, saya mengembangkan teknik jumputan yang lebih praktis dan efisien. Hasilnya adalah ‘kuncup’ yang lebih runcing dibandingkan teknik Jepang, menjadi ciri khas Fuguku.”
Untuk memberikan gambaran terkait kesamaan atau perbedaan antara shibori spike dan jumputan, Asyifa Jiniputri, dosen Program Studi Kriya di Institut Teknologi Bandung, menjelaskan, “Secara prinsip, kedua teknik ini sama, tapi secara metodologi berbeda.”
Dari sudut pandang budaya, jumputan dan bai shibori merupakan teknik yang berbeda. Jumputan melibatkan penambahan objek seperti beras atau batu kecil pada kain sebelum diikat, sementara bai shibori hanya berfokus pada teknik pengikatan kain, sehingga menciptakan tekstur tajam ketika ikatan tersebut dilepas.
Asyifa menggarisbawahi bahwa dalam dunia fashion, warisan budaya seringkali dimodernisasi, diciptakan ulang, dan pada akhirnya dikomersialisasi. Salah satu akibatnya, hasil eksplorasi teknik tekstil tradisional sering kali tidak mengikuti prinsip aslinya, sehingga menyebabkan hilangnya ciri khas dari teknik tersebut. Hal ini terlihat dalam penggunaan jumputan oleh Fuguku, yang tidak sepenuhnya menyiratkan ciri khas jumputan dalam desainnya. Meskipun diperkenalkan sebagai inovasi dan adaptasi baru, hal tersebut mengindikasikan bahwa produk Fuguku mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan esensi dari teknik jumputan.
Karena Fuguku tidak menyampaikan penjelasan lebih lanjut mengenai bagaimana bai shibori dapat diadaptasi menjadi jumputan, kami kemudian mengajukan pertanyaan kepada Katayama Kazuya, pemilik generasi keempat Bunzaburo, untuk menjelaskan asal-usul tekstur 3D dari bai shibori.
Katayama menjelaskan bahwa teknik bai shibori telah ada sejak berabad-abad lalu dan awalnya dikembangkan untuk membuat kimono. Ayahnya, Katayama Kazuo, mengeksplorasi tekstur tajam yang muncul pada teknik bai shibori saat ikatan kain dilepas, dan tekstur ini kemudian diterapkan pada produk-produk modern seperti gorden dan syal. Katayama juga mengungkapkan bahwa meskipun Bunzaburo bukan yang pertama mengadaptasi bai shibori ke dalam desain kontemporer, mereka diakui sebagai brand yang mempopulerkan produk bai shibori modern di Jepang.
Teknik yang telah dikenal luas tidak bisa menjadi milik satu pihak
Dupes, merupakan singkatan dari duplicates atau tiruan, adalah produk alternatif yang lebih terjangkau dibandingkan merek asli yang biasanya lebih mahal, tanpa tujuan untuk menipu konsumen agar mengira itu produk asli. Secara hukum, dupes dianggap sah karena tidak melanggar perlindungan merek dagang. Celah hukum ini memungkinkan perusahaan untuk memproduksi dupes dan menghindari sanksi plagiarisme, terutama karena hukum yang kompleks dan semakin rumit jika melibatkan banyak negara.
Dalam kasus Fuguku dan Bunzaburo, teknik-teknik yang sudah umum seperti shibori atau jumputan tidak dapat diklaim secara eksklusif oleh satu brand. Sebagai contoh, brand Pleats Mama dari Korea Selatan dikenal karena menggunakan teknik lipatan (pleats) dalam memproduksi tote bag. Banyak brand di seluruh dunia yang juga memproduksi tote bag serupa, namun bentuk universal dari tas tersebut membuat mereka terhindar dari sengketa plagiarisme.
Namun, menggunakan teknik yang sudah umum bukan berarti sebuah brand tidak dapat melindungi desainnya sendiri. Meskipun teknik tersebut tetap berada dalam domain publik, siluet khas dan identitas produk tetap dapat dilindungi melalui hak kekayaan intelektual, seperti perlindungan desain industri di Indonesia. Salah satu contohnya adalah ketika Issey Miyake memenangkan gugatan sebesar JPY71.068.000 terhadap Largu Co., yang telah meniru desain segitiga khas tas Bao Bao untuk brand Avancer. Meskipun ada perubahan kecil pada bentuk segitiga tersebut, pengadilan Tokyo memutuskan bahwa desain Avancer cukup mirip dengan tas Bao Bao sehingga dapat menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen.
Secara keseluruhan, Bunzaburo memiliki hak untuk melindungi produk bai shibori mereka, terutama produk yang memiliki siluet khas seperti tas ikonik berdurinya. Tas tersebut pertama kali diperkenalkan ke pasar internasional ketika ditampilkan di MoMA Design Store di Amerika Serikat pada 2005. Sejak saat itu, popularitas Bunzaburo memunculkan banyak produk tiruan serupa, bahkan ada beberapa yang beroperasi di kota mereka sendiri.
Katayama menyatakan, "Awalnya, saya bertanya-tanya, mengapa orang harus meniru? Dan, ya, ada rasa marah. Namun seperti yang saya perlihatkan, Bunzaburo telah mengeksplorasi berbagai macam bentuk dan produk [dari dekorasi rumah hingga pakaian dan lainnya] dan kami sepenuhnya berkomitmen pada karya kami. Sementara itu, brand lain mungkin hanya meniru satu tas atau mungkin hanya syal. Jujur saja, meskipun ada rasa frustasi, saya sekarang lebih fokus pada apa yang sedang saya ciptakan. Pada titik ini, saya tidak terlalu peduli lagi."
Integritas Bunzaburo sebagai pengrajin
Saat ditanya tentang langkah-langkah yang telah mereka ambil untuk melindungi kekayaan intelektual mereka, Katayama menjelaskan bahwa Bunzaburo hanya mendaftarkan merek dan logo mereka. Ketika ditanya mengapa mereka tidak pernah mematenkan desain mereka, Katayama menyatakan dua alasan.
Pertama, proses paten memakan waktu lama, seringkali lebih dari setahun. Begitu hak paten diberikan, “Ide-ide saya mungkin telah banyak disalin, dan saya tidak bisa berbuat banyak terhadap mereka yang telah menyalin karya saya,” jelasnya.
"Kedua, dulu semua orang memakai kimono. Namun sekarang, dengan pakaian modern yang telah menjadi norma, kimono tidak lagi laku seperti dulu. Akibatnya, para pengrajin kesulitan mencari nafkah. Dulu, seluruh industri kimono bekerja sama untuk melindungi para pengrajin ini, tetapi itu sudah tidak mungkin lagi.
Jika produk kami dapat menjadi contoh untuk disalin, maka biarlah. Jika kami mematenkan produk kami, pengrajin yang tidak terafiliasi dengan kami tidak akan bisa menerima pesanan untuk barang serupa, menyebabkan mereka terancam lenyap tanpa jejak. Itulah salah satu alasan kami memilih untuk tidak mematenkan."
Di tengah dunia yang sangat menjunjung tinggi perlindungan hak kekayaan intelektual, keputusan Bunzaburo patut dikagumi atas kerendahan hatinya. Keyakinan mereka untuk tidak mematenkan produk menunjukkan kontribusi mereka dalam melindungi mata pencarian sesama pengrajin kimono, meskipun dengan risiko desain mereka disalin. Meskipun hal tersebut tidak dapat membenarkan pencurian desain, Bunzaburo menonjolkan integritas mereka dalam melestarikan tradisi kerajinan kimono di tengah industri yang berubah dengan cepat.
Misi pencarian orisinalitas belum berakhir
Ketika Katayama mengetahui bahwa brand Savlavin—yang juga dimiliki oleh desainer Fuguku—meluncurkan produk yang dianggap serupa dengan koleksi tas pom-pom Bunzaburo, ia hanya tertawa. Meski begitu, Katayama menambahkan, “Akan lebih baik jika mereka memfokuskan upaya mereka untuk menciptakan sesuatu yang orisinal.”
Savlavin’s Bolla Bag (image courtesy of @savlavin on Instagram)
Bunzabaro’s Pom-pom bag satin (image courtesy of shop.bunzabaro.com)
Ketika diminta klarifikasinya, Savira menjawab, “Terkait tuduhan kemiripan Bolla Bag dari Savlavin dengan produk Bunzaburo, perlu ditegaskan bahwa inspirasi tekstur bulat tersebut berasal dari berbagai referensi yang tersebar secara online maupun offline. Saat mengembangkan Bolla Bag, fokus saya adalah menciptakan lapangan kerja dan produk unik.”
“Sayangnya, isu [tuduhan plagiarisme] ini berdampak pada penghentian proyek Bolla Bag, termasuk bagi seorang pengrajin korban KDRT yang menggantungkan harapan pada proyek tersebut. Kejadian ini justru memperkuat tekad saya untuk terus berinovasi dan memberdayakan pengrajin, khususnya para perempuan yang rentan.”
Pedoman etis dalam mengadaptasi budaya menurut Bunzaburo
Di era globalisasi yang semakin terintegrasi, desain, teknik, dan tradisi seringkali melintasi batas antarnegara dan berevolusi seiring waktu. Kasus Fuguku dan Bunzaburo adalah contoh dari fenomena ini, yang memunculkan pertanyaan tentang bagaimana pertukaran budaya dapat dilakukan secara etis. Terkait hal ini, Katayama membagikan perspektifnya tentang bagaimana desainer dapat mengadopsi budaya asing sembari menghormati nilai-nilai budaya tersebut.
"Dalam dunia saat ini, saya rasa tidak ada lagi yang 100% orisinal. Sebagai gambaran, meniru dan mengambil inspirasi adalah dua hal yang sangat berbeda. Maka dari itu, sangat penting bagi seseorang untuk bepergian, melihat dunia, dan merasakan berbagai budaya, karena hal itu dapat memicu inspirasi sejati. Namun, meniru berarti Anda tidak menggunakan pemikiran Anda sendiri sama sekali. Orisinalitas berasal dari berpikir secara kritis dan terus berkembang. Pelajari sebanyak mungkin, jelajahi berbagai hal, dan kemudian refleksikan serta berpikirlah untuk diri sendiri.”