TFR

View Original

Pameran satu dekade karya, Mella Jaarsma mempertanyakan objek

Perupa senior Mella Jaarsma belum lama ini membuka pameran tunggal berisi karya terbarunya selama satu dekade yang bertajuk “Performing Artifacts: Objects in Question.” hingga 20 November mendatang.

Pasalnya, pameran “Performing Artifacts: Objects in Question.” menampilkan karya Jaarsma dari rentang 2010 hingga 2022. Sesuai judulnya, 'mempertanyakan objek', karya-karya Jaarsma mempertanyakan latar sosial-politik dibalik artefak (obyek) yang lekat dengan tradisi dan sejarah Indonesia.

Salah satu karya yang dipamerkan di ROH Projects, Jakarta ini adalah ruangan dengan cat warna cerah yang menampilkan lukisan dan karya kertas, dengan bahasan soal perburuan ikan gergaji.

Rupanya, berdasarkan catatan kuratorial pameran oleh Alia Swastika, Jaarsma menggunakan metode riset terkait isu sejarah, kolonialisme, antropologi, dan narasi-narasi pasca-antroposen, dalam menciptakan karyanya. Hal tersebut bisa dilihat dari berbagai karya lain yang ditampilkannya.

“Perburuan ikan gergaji dimulai pada era kolonial dan aktivitas berburu menjadikannya sebagai artefak, barang koleksi yang bisa kita temukan di beberapa museum etnografi di seluruh dunia,” tutur Mella.

Tidak hanya itu, Jaarsma juga menampilkan karya lainnya seperti “Lubang Buaya” (2014) yang berkaitan dengan peristiwa 30 September 1965 dan “Pertama ada Hitam” (2021) yang membahas perdagangan kulit kayu sebagai cinderamata di Papua sebagai pengaruh masa penjajahan.

Melalui berbagai karyanya yang ditampilkan, Jaarsma dengan teliti Jaarsma membedah ulang politik artefak Indonesia yang berkaitan erat dengan dampak kolonialisme.

Dalam catatannya, Alia pun menekankan bahwa proyek seni Mella Jaarsma kerap mengundang pertanyaan tentang etis atau tidaknya seorang diaspora Belanda membahas isu sejarah Indonesia.

“Apakah penggunaan artefak dan objek sejarah pada karya-karya Mella menjadi perpanjangan cara pandang kolonial terutama karena identitas Mella sebagai orang Eropa?” tulis Alia. 

Selanjutnya Alia menjelaskan, bagaimana Mella Jaarsma sadar betul akan sejarah kelam kolonialisme yang kerap mengubah pandangan terhadap nilai, moralitas dan cara hidup masyarakat tradisional. 

"Kesadaran ini penting untuk memahami bahwa Mella menerima kenyataan atas tindakan Eropa yang tidak etis dan tidak menghormati kekayaan tradisi lokal," lanjut Alisa. 

Bahkan, Alia menjelaskan, pameran "Performing Artifacts: Objects in Question." menawarkan perluasan makna dari artefak benda tradisi dengan memperluas bahasan dan membingkainya dalam kompleksitas sosial politik hari ini.

Sekadar informasi, seniman kelahiran Belanda ini telah menetap di Indonesia sejak memulai studinya di Institut Kesenian Jakarta pada 1984 silam. Lalu, Jaarsma melanjutkan kuliahnya di Institut Seni Indonesia di Yogyakarta pada 1985 dan menetap di kota yang sama hingga hari ini.

Pada 1988, Jaarsma bersama Nindityo Adipurnomo menjadi penggagas ruang seni kontemporer pertama di Indonesia, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta, yang berperan penting dalam dunia kesenian hingga kini.

Seperti apa yang ditampilkan pada pamerannya, pendiri Cemeti itu dikenal lewat karya khasnya yang menggunakan kostum sebagai bahasa visual utamanya. Selain itu, Jaarsma juga kerap bekerja dengan medium lain mulai dari instalasi, drawing, lukisan, dan tentunya performance.