TFR

View Original

Inflasi berpotensi hadirkan kekerasan ekonomi berbasis gender, kebijakan perlu ditegakkan

Peringati rangkaian 16 Hari Anti Kekerasan Berbasis Gender, OXFAM di Indonesia gelar diskusi “16 Days of Activism Campaign 2022: Assault of Austerity” bersama Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK), dan Kalyanamitra pada Kamis (1/12) pagi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat.

Kampanye yang mendasar pada laporan “The Assault of Austerity” (Serangan oleh Penghematan) keluaran organisasi nirlaba dari Inggris, OXFAM, tersebut rupanya sekaligus memperingati Hari Internasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan yang jatuh pada 25 November tiap tahun. 

Penelitian OXFAM itu berangkat dari kesadaran atas kekerasan berbasis gender yang tak melulu soal kekerasan fisik dan seksual, tetapi juga dalam bentuk apa pun termasuk kekerasan ekonomi yang terjadi akibat ‘penghematan’ (austerity) oleh pemangku kebijakan, dalam cakupan negara atau dunia kerja.

Penghematan ekonomi itu dapat mengancam penegakan hak-hak perempuan dalam lingkup kerja. 

Pasalnya, menurut Head of Program Management OXFAM di Indonesia Siti Khoirun Ni’mah, perempuan dan kelompok marginal lain, seperti LGBTQ+ dan penyandang disabilitas, tidak dijadikan prioritas.

Lebih lanjut, Ni’mah menjelaskan bahwa kini ‘penghematan’ sedang gencar dilakukan sebagai dampak dari gejolak ekonomi pasca pandemi COVID-19.

Selain itu juga efek dari perubahan iklim, hingga ancaman krisis pasokan energi dan pangan akibat konflik perang yang terjadi di Eropa yang memengaruhi seluruh belahan dunia, inflasi.

Salah satu contoh yang dijabarkan Ni’mah adalah tentang ketidaksetaraan upah bagi kelompok rentan. Hal itu terlihat dari data OXFAM yang menunjukkan bahwa selama 2022, ada 1,7 miliar perempuan dan anak perempuan hidup dengan pendapatan kurang dari $5,50 (sekitar Rp85 ribu) perhari. 

Lebih lanjut, dari 39,4% perempuan pekerja yang terdata pada 2019, mirisnya “hanya 21%” yang mendapat bayaran, “artinya jauh sekali dari partisipasi laki-laki di kerja berbayar.”

Terlebih, selama pandemi, banyak sekolah tutup membuat beban akademik anak dilimpahkan kepada perempuan. Ni’mah lanjut menjabarkan, “Ada 512 miliar tambahan jam kerja, kerja pengasuhan anak yang tidak berbayar, yang menjadi pekerjaan perempuan, artinya bertambah tanggung jawabnya.”

Di luar itu, diskusi juga menyoroti kenyataan ketidakadilan bagi perempuan dan kelompok marginal lain dalam lingkup perkantoran. Seperti kesenjangan upah kerja bagi laki-laki dan perempuan, minimnya partisipasi ‘bermakna’ kelompok rentan, hingga diskriminasi dan kekerasan seksual yang kerap didapati. 

Sehingga, ketika ‘penghematan’ dilakukan pemangku kebijakan dalam menghadapi krisis ekonomi tidak mempertimbangkan gender, menurutnya, “Akan memperparah fakta yang telah dijabarkan (OXFAM).” 

Direktur Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil Mikro (ASPPUK) Emmy Astuti menambahkan, kenyataan itu didukung oleh pandangan masyarakat dan pemangku kebijakan yang melihat perempuan hanya sebagai warga negara kelas kedua. 

Selaras dengan itu, Staf Knowledge Management Yayasan Kalyanamitra Ika Agustina menambahkan bahwa hal tersebut terjadi akibat pemikiran yang, “sangat sistemik, diciptakan, dilanggengkan.”

Lantas, Emmy menegaskan segala kebijakan yang melindungi kelompok rentan perlu segera disahkan, agar, hak-hak nya sebagai pekerja bisa terjamin. Upah yang layak, waktu istirahat, dan jam kerja.

Salah satu contoh kasus yang disorotinya adalah bagaimana Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT), yang telah diajukan sejak awal 2000-an, tak juga disegerakan dan belum disahkan hingga hari ini.

Di luar soal kebijakan, menurut Emmy, dalam mengatasi kenyataan pahit itu, hal paling mendasar yang dapat dilakukan adalah dengan membangun ruang aman lewat membangun empati dalam interaksi keseharian antar pekerja, “budaya keseharian yang harus kita ciptakan, menghargai, tau batas.”