TFR

View Original

Meski tak terdampak langsung, mengapa perlu awasi Permenkominfo atas PSE lingkup privat?

Sejumlah platform telah bertransformasi menjadi wadah aspirasi dan percakapan masyarakat terkait isu-isu signifikan. Seperti lewat Twitter dan Instagram, dalam hitungan detik suatu informasi dapat diberikan dan diterima oleh masyarakat itu sendiri. Satu cuitan bisa menghasilkan diskusi dan platform digital ini telah berperan sebagai tempat bertukar informasi bagi masyarakat.

Sehingga lewat kebijakan PSE lingkup privat yang telah disusun dan dijalankan Kominfo terhadap Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) asing maupun domestik, mengancam terblokirnya sejumlah platform digital jika tak mendaftar. Sabtu (30/7) lalu, delapan PSE asing telah resmi diblokir Kominfo.

Namun, tak dimungkiri, tidak semua masyarakat Indonesia terdampak dengan diblokirnya Paypal hingga Steam. Jika tidak bermain game online, tidak merasakan pusingnya. Jika tidak mengandalkan aplikasi Paypal untuk gajian, maka kehidupan tetap berjalan semestinya. Akan tetapi, bukan berarti jika tidak berdampak langsung saat ini, dampak dari kehadiran Permenkominfo tidak akan terasa di masa depan.

Saat dihubungi TFR, Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFEnet Nenden Sekar Arum menjelaskan kemungkinan bahaya Permenkominfo 5/20 yang membiarkan pihak berwenang melakukan moderasi konten, penghapusan konten, dan pemutusan akses dengan klaim bagian dari pembatasan informasi.

Pasalnya, beberapa waktu belakangan ini, SAFEnet telah mendokumentasikan peningkatan pelarangan terkait kebebasan berekspresi di ranah dalam jaringan (daring) atau online, termasuk penggunaan pasal pencemaran nama baik yang disalahgunakan untuk memidanakan ekspresi dan pendapat. 

Begitu juga penyalahgunaan Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 yang digunakan untuk memidana komentar, pendapat, berita yang viral di media sosial dengan alasan menimbulkan keonaran publik. Sehingga, kekhawatiran terhadap butir-butir peraturan Permenkominfo 5/20 dinilai sebagai hal yang valid. 

"Ini menjadi alasan kami berpendapat, dimulainya registrasi mengawali penerapan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 10 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 (Permenkominfo 5/2020) tentang PSE Lingkup Privat dapat menimbulkan interpretasi ganda yang dapat disalahgunakan aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik yang disampaikan secara damai yang ditujukan terhadap penguasa," tulis SAFEnet dalam rilisnya. 

“Pasal Karet” dari Permenkominfo 5/20

Menurut SAFEnet, dinyatakan dalam siaran persnya (6), sejak awal belum cukup dilakukan keterlibatan publik dalam pengembangan kebijakan atau pembentukan hukum peraturan perundang-undangan terkait, meskipun produk hukum Permenkominfo ini adalah bagian dari wewenang pilar eksklusif.

Lembaga advokasi hak-hak digital di kawasan Asia Tenggara SAFEnet turut menjelaskan butir-butir yang tertera dalam Permenkominfo sebagai turunan dari UU ITE dan berpotensi melanggar HAM masyarakat.

Kita dapat mulai dengan melihat Pasal 9 ayat 3 dan 4, di mana pemilik platform tidak diperbolehkan untuk mencantumkan informasi yang sifatnya "dilarang", maupun memfasilitasi peraturan data-data yang sifatnya "dilarang", adalah data yang digolongkan dapat meresahkan dan mengganggu ketertiban umum.

Adapun tentang apa yang "meresahkan" dan "mengganggu ketertiban umum" tidak dijelaskan dengan lebih lanjut dan detail. Alhasil, hal ini dapat melahirkan interpretasi ganda yang dapat digunakan oleh aparatur keamanan negara untuk mematikan kritik masyarakat terhadap pihak berwenang.

Selanjutnya, Pasal 14 Permenkominfo memberikan kewenangan bagi Kementerian maupun Lembaga Aparat Penegak Hukum, juga lembaga peradilan untuk melakukan pemutusan akses terkait informasi elektronik bahkan dokumen elektronik yang dilarang.

Serupa dengan pasal yang sebelumnya kita bahas, pemberlakuan pelarangan untuk data yang bersifat “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum” dengan interpretasi yang luas dapat disalahgunakan oleh pihak berwenang untuk menghapus konten yang merupakan aspirasi masyarakat.

Kekhawatiran lain terletak pada Pasal 36 Permenkominfo No. 5/2020 yang memberi aparat kewenangan menegakkan hukum terhadap konten komunikasi dan data pribadi. Hal ini dapat berdampak terutama bagi kerja-kerja pelindung hak asasi manusia yang berkenaan dengan isu-isu sensitif seperti isu perempuan, LGBTIQ, masyarakat adat, dan Papua.

Terkait hal tersebut, Nenden menjelaskan, data personal tersebut dinyatakan mencakup dua jenis data; data pribadi dan data pribadi spesifik. Melalui peraturan tersebut, data pribadi seperti informasi general tentang seseorang dapat diminta aparat kepada PSE tanpa surat pengadilan. Sedangkan, data pribadi spesifik yang bahkan mencakup isu-isu sensitif, seperti orientasi seksual seseorang yang seharusnya dilindungi platform digital, juga dapat diminta aparat dengan menggunakan surat pengadilan.

Meski, menurut penjelasan Kominfo, kebijakan ini hadir untuk menegakkan keadilan, demi mengusut sebuah kasus. Nenden mengatakan, pasal tidak menjelaskan bagaimana pemerintah kemudian akan menjamin penjagaan dan perlindungan data pribadi pengguna. Terlebih, hal yang ditakutkan adalah adanya diskriminasi bagi kelompok minoritas bila data pribadi spesifik masyarakat dapat diakses. 

Meninjau pembatasan akses dan moderasi konten yang telah terjadi

Jauh sebelum gembar-gembor pendaftaran PSE, sejak 2015 kita telah kehilangan akses Reddit. Wadah berjaring Reddit menjadi wadah diskusi serupa dengan Kaskus. Banyak yang menggunakan Reddit sebagai sumber informasi terkait isu signifikan, seperti keilmuan hingga ketenagakerjaan.

Sehingga, di masa perkembangan teknologi yang telah pesat yang seharusnya memperluas kemungkinan berjejaring antar ruang dan waktu, kita malah terjebak dalam pembatasan ruang aspirasi dan diskusi. Alhasil, kemungkinan untuk memperkaya informasi dan ilmu antar masyarakat di luar pemberitaan media pun menjadi tertutup. 

Pasalnya, menurut Nenden, PSE lingkup privat yang menjadi bagian dari keseharian banyak masyarakat tak hanya menjadi wadah berjejaring dalam skala personal. Ruang-ruang tersebut telah menjadi wadah bagi masyarakat dalam merawat dan menjaga hak demokratisnya.

Nenden pun menekankan kewaspadaannya terhadap moderasi konten oleh pihak berwenang, yang mungkin menutup dan menurunkan konten berisi ekspresi dan aspirasi rakyat terhadap pemerintah. Salah satu contoh adalah ketika unggahan sejumlah aktivis dan pegiat hak-hak warga Wadas atas penggusuran lahan yang terjadi beberapa waktu silam, tiba-tiba hilang dari percakapan di sosial media. 

Tidak hanya itu, kabar terbaru, sejak gencarnya gerakan dengan tagar #BlokirKominfo karena aksinya memblokir PSE yang juga hasilkan diskusi dalam Twitter Space, Teguh Aprianto melalui cuitannya mengklaim bahwa telah tercatat sebanyak sepuluh orang menjadi korban serangan digital dan juga teror melalui WhatsApp. Bahkan diantara korban teror tersebut adalah anak-anak dibawah umur (14 tahun). 

Para korban berasal dari latar belakang beragam, seperti insinyur perangkat lunak, stand up comedian, illustrator, dan kreator konten. Bentuk serangan lewat WhatsApp ini berasal dari nomor tak dikenal dan berisi ancaman bagi personal dan orang-orang di sekitar korban, akibat korban menyuarakan aspirasi terkait kebijakan PSE Kominfo.

Meski aspirasi PSE Kominfo sebagai penyebab teror terhadap korban masih bersifat praduga, beberapa warganet mengkhawatirkan bahwa ini adalah produk dari kebocoran data yang ditakutkan sejak awal. 

"Kita mungkin akan kembali ke masa di mana media dibatasi. Mungkin banget kita akan sampai ke situ," tambah Nenden. Tidak hanya itu, Nenden pun mengenalkan salah satu istilah yang kerap digunakan oleh SAFEnet, yakni digital authoritarian, yang mungkin akan kita hadapi suatu hari nanti.