Hukum yang mengatur kekerasan seksual - Bagian 4
Read in English
Saat ini, pengaturan mengenai kekerasan seksual tersebar di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang memfokuskan pada masing-masing bentuk perbuatan yang dilakukan.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Secara umum, kekerasan seksual diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam sistem hukum Indonesia, KUHP berkedudukan sebagai hukum yang bersifat umum (lex generalis). KUHP belum mengenal istilah kekerasan seksual, melainkan perbuatan cabul.
R. Soesilo menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan atau perbuatan lain yang keji dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya. Perbuatan cabul diatur dalam Pasal 281-Pasal 303 KUHP. Secara umum, tindak pidana kesusilaan dalam KUHP meliputi:
Merusak kesusilaan di depan umum (Pasal 281,283, 283 Bis);
Perzinaan (Pasal 284);
Perkosaan (Pasal 285,Pasal 286, dan Pasal 287); dan
Pencabulan (Pasal 289, 290,292, 293 (1), 294, 295 (1).
Terkait dengan false accusations atau persangkaan palsu dalam kaitannya dengan tindak kekerasan seksual yang dituduhkan kepada seseorang, kita dapat berpedoman pada Pasal 318 KUHP. Adapun unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam pasal ini adalah:
Seseorang harus menyebabkan orang lain dituduh melakukan suatu tindak pidana; dan
Tuduhan tersebut harus ditujukan kepada individu tertentu.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) fokus dalam perlindungan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
UU PKDRT bertujuan untuk menghapus segala bentuk segala bentuk kekerasan dalam ruang lingkup keluarga, termasuk di dalamnya kekerasan seksual. Tidak hanya istri dan anak, UU PKDRT juga memberi perlindungan kepada suami dan siapa pun yang tinggal di dalam rumah tersebut, baik memiliki hubungan darah atau tidak.
Istilah kekerasan seksual pertama kali dikenal dalam UU PKDRT. Dalam UU ini, kekerasan seksual diartikan sebagai:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut; dan
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS)
Penting untuk kita ingat bahwa RUU PKS merupakan ius constituendum atau hukum yang dicita-citakan. Jadi, UU tersebut baru memiliki kekuatan hukum setelah disahkan.
Dalam RUU PKS, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi.
Kata kunci yang penting untuk kita ingat dalam mempelajari kekerasan seksual adalah perbuatan tersebut dilakukan secara paksa dan bertentangan dengan kehendak seseorang. Hal inilah yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas yang disebabkan oleh ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender.
Kekerasan seksual berakibat pada atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik terhadap korbannya.
RUU PKS membagi kekerasan seksual menjadi 9 bentuk:
pelecehan seksual;
eksploitasi seksual;
pemaksaan kontrasepsi;
pemaksaan aborsi;
perkosaan;
pemaksaan perkawinan;
pemaksaan pelacuran;
perbudakan seksual; dan/atau
penyiksaan seksual.
Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan seksual. Pelecehan seksual dijelaskan sebagai kekerasan seksual yang dilakukan dalam bentuk tindakan fisik atau non-fisik kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait hasrat seksual, sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina, direndahkan, atau dipermalukan
Dalam penjelasan RUU ini, ”tindakan fisik” dijelaskan sebagai sentuhan, colekan, serangan, atau cara-cara lain yang mengenai alat kelamin, atau anggota tubuh yang berhubungan dengan seksual dan seksualitas seseorang termasuk dada, payudara, pantat, dan rambut.
Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan non-fisik meliputi namun tidak terbatas pada:
siulan, kedipan mata;
gerakan atau isyarat atau bahasa tubuh yang memperlihatkan atau menyentuh atau mempermainkan alat kelamin;
ucapan atau komentar yang bernuansa sensual atau ajakan atau yang mengarah pada ajakan melakukan hubungan seksual;
mempertunjukkan materi-materi pornografi; dan
memfoto secara diam-diam dan atau mengintip seseorang. Bentuk ancaman dapat dilakukan secara verbal dan non-verbal, secara langsung atau tidak langsung, atau melalui isyarat tertentu.
Undang-Undang Pornografi
Salah satu bentuk pelecehan seksual di dunia maya adalah mengirimkan gambar alat kelamin tanpa persetujuan dari penerimanya. Mengirimkan gambar alat kelamin termasuk dalam muatan yang mengandung pornografi.
Pengertian ponografi sendiri diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi (UU Pornografi) yang dimaknai sebagai gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
Dalam Pasal 4 UU Pornografi, disebutkan dengan jelas bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
kekerasan seksual;
masturbasi atau onani;
ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
alat kelamin; atau
pornografi anak.
Pasal 29 UU Pornografi menyebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan ini dapat dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
UU ITE pada dasarnya dibuat oleh pemerintah untuk memberikan rasa aman dan kepastian hukum bagi masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi. Cakupan dari UU ITE sendiri sangat luas, termasuk kejahatan pornografi sebagai salah satu bagian dari tindak pidana siber.
Pengaturan terkait kejahatan pornografi di dunia siber diatur dalam Pasal 27 ayat (1) UU ITE: Seseorang yang mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, secara sengaja dan tanpa hak dikategorikan telah melakukan perbuatan pidana dan kepadanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana menurut hukum pidana.
Namun, dalam hal mengirim gambar alat kelamin, pelaku dijerat dengan UU Pornografi karena UU Pornografi merupakan pengaturan yang bersifat lebih khusus.