TFR

View Original

Mengenal sosok Avip Priatna, konduktor di balik beragam kelompok musik klasik Indonesia

Setelah penampilan memukau saat memandu Jakarta Concert Orchestra (JCO) dan Batavia Madrigal Singers (BMS) di Singapura 21 September lalu, awal bulan ini konduktor Avip Priatna kembali membius penonton dengan penampilan BMS di atas Synchronize Fest 2022 pada 8 Oktober kemarin.

Lantunan merdu dan koreografi dari personel kelompok paduan suara BMS menuju malam minggu kemarin berhasil membangun harmoni yang memanjakan telinga pendengarnya. 

Selain tampil dalam “Vibes of Nusantara” bulan lalu, kelompok itu baru saja cetak prestasi dengan meraih kemenangan dalam ajang bergengsi internasional “2022 European Grand Prix for Choral Singing”.

Di balik keapikan harmoni JCO dan BMS di atas panggung, ada sosok konduktor Avip Priatna yang terus konsisten membimbing dan mengembangkan beragam praktik musikal keduanya. 

Avip juga merupakan pendiri dari JCO, BMS, The Resonanz Children's Choir, dan The Resonanz Music Studio. Sejumlah penyanyi mulai dari Sherina hingga Isyana Sarasvati juga berguru padanya.

Lantas, siapakah sebenarnya sosok Avip Priatna? Bagaimana perjalanannya hingga meraih titel maestro klasik dunia?

Kenal orkestra lewat siaran TV nasional

Lewat wawancara eksklusif bersama TFR, Avip Priatna membagikan kisah perjalanannya yang ternyata diawali dari candu menyaksikan Orchestra Symphony NHK Jepang yang rutin disiarkan di TVRI. 

“Saya selalu nonton, waktu kakak orang tua saya udah tidur, saya menunggu konser NHK itu disiarkan,” ujar Avip sembari mengenang masa awal Sekolah Dasarnya di Kota Bogor.

Avip pun mengaku, sejak kecil ia berkeinginan belajar instrumen piano. Dengan segala keterbatasan, Ia mulai mencoba memainkan piano di rumah teman-temannya dan belajar secara otodidak.

Hingga akhirnya, pada usia 10 tahun, dirinya mulai mengambil les musik. Merasa tak puas dengan materi les, sejak SMP Ia kembali belajar tanpa bimbingan guru. Dengan berbekal buku musik, Avip mempelajari karya maestro kesukaannya, mulai dari Frédéric Chopin hingga Wolfgang Amadeus Mozart.

Kuliah jurusan teknik arsitektur, perdana jadi konduktor

Ketika harus memutuskan jurusan kuliah, Avip saat itu memilih teknik arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) sebagai tempat studinya. Di sana lah Avip bertemu dengan rekan karibnya, pianis dan konduktor Iswargia Sudarno yang mendorong semangatnya mendalami musik klasik.

Keduanya saling membakar semangat satu sama lain, hingga akhirnya pada tahun kedua, Avip mulai belajar piano secara serius bersama Prof. Urip Santoso. 

Pada waktu yang sama, Avip juga mulai terjun dalam kelompok Paduan Suara Mahasiswa (PSM) UNPAR sebagai pianis, bahkan konduktor kelompok paduan suara itu untuk pertama kalinya pada 1988. 

“Dari situ lah mulai terbesit, nah temen saya Iswargia itu, yang memotivasi saya untuk sekolah menjadi konduktor. Kamu kelihatannya suka, dan ada prospeknya juga," tutur Avip mengingat tekad awalnya.

Setelah lulus dari bangku kuliah, Avip membulatkan niatnya untuk lanjut sekolah musik di Austria. Avip akhirnya mendapat beasiswa untuk belajar di University of Music and Performing Arts di Wina (1992). 

Selama bersekolah, tiap musim panas Avip kembali ke Indonesia dan tetap memandu PSM UNPAR. 

Bahkan, sambil bernostalgia Avip mengatakan, “Sejak sekolah tahun ‘92, selalu pulang ke Indonesia tiap summer. Setelah lulus, ya emang ada keinginan untuk tinggal disana, mencari kesempatan. Tapi saya sadar kalau saya mendua, UNPAR nggak akan maju. Pulanglah saya ke Indonesia.”

Sekembalinya ke Indonesia, dirinya terus menjalankan komitmen sebagai pengajar. Hingga pada 1995, Avip berhasil membawa PSM UNPAR ke kompetisi di Belanda, atas dukungan Erasmus Huis. Bahkan, penampilan perdana di panggung internasional itu berhasil membawa pulang piala pemenang. 

Gapai cita-cita membangun kelompok musik profesional

Sekolah musik di Austria memberi kesempatan bagi Avip untuk mengamati para musisi klasik Eropa. “Saya melihat musisi profesional. Kayaknya kalau aku punya sebuah grup yang real profesional, kayaknya asik juga,” ujar Avip mengingat cita-citanya membangun kelompok musik Indonesia. 

Berbekal jejaring alumni kampus lamanya yang memiliki kecintaan yang sama bagi musik klasik, Avip pun membangun Batavia Madrigal Singers (BMS) mulai 1998. 

“Pada 1999, kami bikin konser yang diiringi orkestra. Saya kasih nama Parahyangan Chamber Orchestra. Makanya saya bikin Jakarta Chamber Orchestra (2002) bersama Toeti Heraty Huseno. Waktu itu belum ada konser orkes yang rutin. Akhirnya karena repertoarnya besar, nggak cuman klasik," lanjut Avip. 

Sejak itu hingga hari ini, Avip mendedikasikan diri membimbing beragam kelompok musik, sebagai pengajar, konduktor, dan komposer musik. Namun, Avip memiliki satu tujuan dan impian utama. 

Kepada TFR, dirinya mengungkapkan, “Mungkin karena kita ini musikal, saya harapkan lebih banyak orang yang mendalami musik klasik dengan sekolah. Saya dan teman-teman berjuang karena suka, musik klasik semoga bisa lebih diterima oleh publik luas di luar segmen musik klasik. Bukan lagi milik agama tertentu, melebur menjadi salah satu musik yang akrab di masyarakat.”