Social (media) distancing: Kebutuhan yang terabaikan?
Pada bulan Februari 2020, dengan makin meluasnya wabah COVID-19 di berbagai belahan dunia, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan peringatan bagi negara-negara anggotanya akan ancaman global lain yang harus diwaspadai: Infodemi COVID-19.
Infodemi dapat diartikan sebagai “melimpahnya informasi – sebagian akurat dan sebagian tidak – yang menyebabkan masyarakat kesulitan untuk menemukan sumber informasi dan panduan yang dapat dipercaya dan diandalkan ketika mereka membutuhkannya.” Infodemi yang saat ini kita hadapi tercipta dari meningkatnya kebutuhan masyarakat akan informasi yang relevan dan dapat dipercaya seputar COVID-19.
Selama wabah COVID-19, media sosial seakan menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, tidak ada media informasi lain yang lebih tepat waktu, terkurasi, dan mudah diakses ketimbang media sosial. Kita senantiasa dikabari tentang berbagai perkembangan penting di dunia dengan cara yang tak mungkin dilakukan oleh media tradisional seperti media cetak atau televisi.
Sayangnya, kemudahan tersebut membawa masalah-masalah tersendiri: informasi palsu, informasi yang menyesatkan, dan kelelahan akibat media sosial merupakan beberapa di antaranya. Berbagai masalah tersebut semakin terasa dampaknya karena masyarakat lebih banyak menggunakan media sosial di saat pandemi.
Sebuah riset yang melibatkan 25.000 individu di 30 pasar yang berbeda menunjukkan bahwa engagement media sosial meningkat 61% selama masa pandemi. Sementara, layanan mengirim pesan di aplikasi Facebook, Instagram, dan WhatsApp meningkat 50% di negara-negara yang paling terdampak COVID-19, terutama di kelompok usia 18-34 tahun.
Twitter mencatat kenaikan pengguna per hari sebesar 23% dibandingkan tahun sebelumnya. Namun, patut dicatat bahwa media sosial hanya dianggap sebagai sumber berita terpercaya oleh 11% responden, dibandingkan dengan kanal berita tradisional yang dianggap terpercaya oleh 52% responden.
Jadi, apa dampaknya terhadap kesehatan kita? Bahkan sebelum infodemi ini terjadi, penggunaan media sosial yang tak terkontrol terbukti membawa dampak negatif terhadap kebahagiaan. Sebuah riset yang dilakukan pada tahun 2015 menemukan bahwa tingginya pemakaian media sosial pribadi dapat menyebabkan kenaikan level technostress – stres yang disebabkan pemakaian teknologi yang berkepanjangan – dan rendahnya tolok ukur kebahagiaan.
Pada masa di mana penggunaan media sosial melonjak seperti sekarang dan masyarakat di seluruh dunia senantiasa mencari informasi baru, dampak penggunaan media sosial pun menjadi berlipat ganda.
Sebagian dari kita sudah menerapkan social distancing, namun apakah kita pun harus mulai menerapkan social media distancing?
Emerra (31) mulai melakukan social media distancing ketika wabah COVID-19 mulai merambah Indonesia secara masif. Sebelumnya, ia adalah seorang pengguna pasif yang menggunakan media sosial setiap hari untuk melihat berita dan konten dari teman dan keluarga, walaupun ia sendiri jarang mengunggah konten.
Belakangan ini, ia mulai mengurangi konsumsi media sosialnya, bahkan menghindari membaca komentar teman-temannya seputar COVID-19, karena dapat mengakibatkan kecemasan. Emerra mengaku bahwa tujuannya melakukan social media distancing adalah untuk “mengurangi stress yang disebabkan oleh pikiran tentang pandemi dan masa depan setelah terdampak efek pandemi ini.” Menurutnya, social media distancing telah berhasil mengurangi kecenderungannya untuk berpikir terlalu jauh.
Lalu, apa sesungguhnya yang dimaksud dengan social media distancing? Kami mendefinisikannya sebagai upaya menjaga jarak dan membatasi interaksi dengan informasi tak tersaring yang dibawa oleh media sosial. Dalam social distancing, kita menggunakan masker untuk menyaring virus dan bakteri, disinfektan untuk menghilangkan virus dan bakteri, dan menjaga jarak dari orang lain sebagai upaya melindungi diri sendiri dan masyarakat.
Dalam social media distancing, kita menyaring informasi – bukan virus –, menghilangkan akun-akun yang menyebabkan stress – bukan bakteri –, dan menjaga jarak waktu – bukan fisik – dari penggunaan media sosial. Perjuangan melawan pandemi dan infodemi harus dijalankan secara bersamaan.
Bahkan, penerapan social media distancing dapat tetap bermanfaat setelah pandemi ini berakhir. Valesca (29) sudah menerapkan social media distancing sejak sebelum pandemi. Sebelumnya, ia merupakan pengguna media sosial yang sangat aktif, hingga akhirnya menerapkan social media sabbatical atau bentuk lebih ekstrem dari social media distancing sekitar dua tahun yang lalu, di mana dirinya melakukan puasa media sosial total selama periode tertentu.
Di samping tidak mengakses akun-akun media sosialnya, ia juga berhenti mengikuti akun-akun drama, selebriti, dan kenalan lama yang sudah lama tidak dikontak. Sekarang ia mengecek media sosial hanya 2-3 kali per minggu, dan menyatakan bahwa dirinya masih merasakan kegunaan media sosial yang positif, terutama untuk mencari inspirasi dan peluang.
“Yang saya coba hindari adalah menggunakan media sosial ketika saya sedang tidak ada kegiatan, karena pada saat itu saya tidak dalam posisi yang mampu membentengi diri atau menyaring informasi yang diterima,” tuturnya.
Menurut Valesca, detoks media sosial yang dilakukannya sangat berguna, karena telah membuatnya lebih tenang dan memiliki waktu untuk mengerjakan hal-hal produktif lain. Dirinya pun merekomendasikan orang lain untuk mencobanya, “Anda bisa melakukan detoks media sosial yang singkat saja, tidak perlu waktu yang lama. Misalnya coba untuk tidak mengakses media sosial selama satu minggu, nanti kita akan melihat internet dengan perspektif yang berbeda. Kemudian coba diterapkan setiap beberapa bulan sekali.”
Ketika banyak orang memilih menerapkan social media distancing untuk memperbaiki gaya hidup secara umum, ada pula yang melakukannya untuk tujuan yang lebih spesifik. Thaza (31) sudah melaksanakan social media sabbatical selama bulan suci Ramadhan dalam tiga tahun belakangan ini. “Saya memilih Ramadan sebagai bulan untuk disconnect karena saya ingin mempelajari agama saya lebih jauh, dan Ramadan adalah waktu yang tepat untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,” tuturnya. Dirinya pun merekomendasikan penerapan social media distancing, “Bukan berarti kita harus sepenuhnya menghindari media sosial, tapi kita harus paham bahwa kita mengontrol konten seperti apa yang ingin kita konsumsi. Selalu berhati-hati.”
Berbagai riset dan penelitian juga telah menemukan berbagai efek positif dari penerapan social media distancing. Misalnya, rasa iri atau dengki dapat diperparah oleh penggunaan media sosial dan kemudian berpotensi memperburuk gejala depresi.
Karena itu, membatasi penggunaan media sosial dapat mengeliminasi sumber rasa dengki yang besar. Bagi penyintas Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), mengeliminasi media sosial yang merupakan sumber distraksi yang signifikan dapat bermanfaat secara langsung.
Pada akhirnya, media sosial adalah perangkat yang dapat membawa manfaat atau kerugian bagi hidup kita, tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Sebisa mungkin, kita ambil hal-hal yang baik dan saring bagian yang buruk, sambil membatasi waktu dan perhatian yang kita berikan dalam menggunakan media sosial. Dan apabila formula penggunaannya membutuhkan perombakan yang besar di situasi luar biasa ini, maka biarkanlah. Karena kita akan tumbuh bersama perubahan ini.