Separah apa seksisme terhadap perempuan di industri musik?
“Damn, are women really that sensitive?” (“Apa wanita benar-benar sesensitif ini?”)
“Are all women like this?” (“Apa semua wanita seperti ini?”)
Kalimat di atas hanya dua dari pesan Instagram yang diterima oleh penyayi Indonesia Khole (@nichole_abygail) setelah meluncurkan lagu pertamanya ‘Blurry’ yang bersifat pribadi dan rentan.
Bagaikan pil pahit, seksisme masih berakar di tengah industri yang terbuka. Perempuan terlalu dramatis dan sensitif, perempuan terlalu membawa perasaan, adalah beberapa narasi klise berbasis kelamin yang dilanggengkan oleh masyarakat.
Musisi perempuan lainnya, Clara Ayu Sheila (@claraayusheila), kerap mendapat komentar mengenai pilihan karirnya. Komentar yang sering muncul adalah, “Anak cewek jangan di musik gak bener, malam-malam manggung di kafe kaya cewek gak bener.”
Sebuah jurnal dari UNAIR menggunakan lagu Jamrud sebagai contoh seksisme dalam lirik lagu.
Rokmu berayun
Naik turun
Hei salahkah aku
Yang jadi mau
Karena melihat isi dalam rokmu
Hei kenapa kau pun mau
Lirik di atas menyalahkan rok perempuan sebagai alasan mengapa pria ingin meniduri perempuan. Perempuan sering disalahkan dalam kasus pemerkosaan. Dengan kata lain, menyalahkan korban atau victim-blaming.
Komentar mengenai penampilan musisi perempuan Indonesia banyak ditemui di media sosial mereka. Satu komentar di akun Niki Zefanya berkata, “Payudaranya bagus (nice tits).”
Dengan misogini yang sudah berakar di budaya musik seperti contoh di atas, seiring dengan perkembangan masyarakat, akan semakin sulit untuk menghapus jejaknya. Kombinasi antara stigma masyarakat dan budaya berkontribusi besar terhadap peran berbasis jenis kelamin bagi perempuan Indonesia. Gambaran untuk peran perempuan Indonesia masih berkutat dengan peranan tradisional, seperti menjadi ibu atau pengurus rumah tangga.
Berdasarkan jurnal UNAIR, pemikiran ini berbuah menjadi ketidakadilan berbasis jenis kelamin di dunia kerja. Hal ini terlihat di lirik lagu yang merendahkan perempuan.
Contoh paling terkenal adalah lagu Kanye West berjudul ‘Famous’ yang menyatakan bahwa perempuan hanya terkenal karena seks. Berikut beberapa bait liriknya:
For all my Southside niggas that know me best
I feel like me and Taylor might still have sex
Why? I made that bitch famous (God damn)
I made that bitch famous
For all the girls that got dick from Kanye West
If you see 'em in the streets give 'em Kanye's best
Why? They mad they ain't famous (God damn)
They mad they're still nameless (talk that talk, man)
Lagu tersebut menduduki posisi dua di tangga lagu Billboard Hot 100 ketika diluncurkan pada tahun 2016. Meskipun lirik lagu tersebut, yang bersifat melecehkan dan misogini, menuai kecaman dan kritikan dari Taylor Swift, hal itu tidak berpengaruh terhadap posisi lagu di tangga lagu Billboard.
Seolah kritik berbasis jenis kelamin tidak cukup, keputusan Khole untuk berkecimpung di jalur independen sering dipertanyakan. Banyak yang berasumsi bahwa keputusannya adalah karena ia perempuan dan perempuan tidak memiliki pilihan lain dan kemampuan untuk mandiri.
Selain itu, Khole juga sering menemukan orang meremehkan kemampuannya sebagai penulis dan produser lagu. Berkaca dari Grammy, pernyataan Khole memiliki makna yang dalam. Belum ada perempuan yang menang dalam kategori ‘Producer of the Year (non-classical),’ dan hanya ada enam perempuan yang pernah dinominasikan di kategori itu dalam sejarah Grammy.
Mengingat industri musik masih didominasi oleh laki-laki, butuh waktu yang tidak sebentar untuk memutarbalikkan nasib. Mengubah stigma artinya mengoreksi budaya misogini yang hidup saat ini.
Bagi Clara, mengabaikan kritik adalah jawabannya, karena banyak yang tidak memahami prosesnya dalam bermusik. Dia tetap akan berkreasi tanpa henti.
Khole menyampaikan jawaban yang hampir serupa. Tujuannya di balik menciptakan musik adalah untuk menolong orang-orang yang mengalami kejadiaan yang pernah dia alami dan sebagai pengingat bahwa mereka tidak sendiri.