Bagaimana Public Culture berkembang dari label independen menjadi perusahaan
Read in English
Banyak orang bisa merancang dan membuat pakaian, namun hanya sedikit dari mereka yang tahu bagaimana merubah suatu produk menjadi sebuah merek. Pendiri Public Culture Michael Kurniawan adalah salah satunya.
“Desain mereka unik dan orisinil,” ucap Aaron, seorang pelajar berusia 18 tahun, saat ditanya mengenai pendapatnya tentang Public Culture (PC).
Justin, pelajar berusia 18 tahun lainnya, menghadiri suatu acara hanya demi mendapatkan barang PC. Ia berujar, “Saya belum pernah melihat merek yang seperti PC sebelumnya. Produk mereka mencolok mata dan cerah. Kebanyakan merek yang saya temui hanya menggunakan warna-warna netral, seperti hitam, putih, atau navy.”
Pada tahun 2015, busana jalanan adalah sebuah segmen yang tengah berkembang, dan pertumbuhannya semakin pesat dengan hadirnya Yeezy. 2015 juga merupakan tahun PC didirikan. Menariknya, PC berawal dari proyek sampingan setelah sebelumnya usaha Michael untuk meluncurkan lini pakaian gagal.
PC dengan cepat mendapatkan perhatian di kalangan penggemar busana jalanan. Koleksi tahun 2016-nya dimuat di Hypebeast, yang membawa merek start-up itu menjadi merek terkemuka.
PC bukan merek busana jalanan pertama di Indonesia. Namun, banyak konsumen yang TFR wawancarai percaya bahwa PC merupakan merek busana jalanan lokal pertama yang menggunakan warna cerah dan desain yang mencolok.
Meskipun bukan yang pertama di Indonesia, DNA PC telah tertanam dalam benak konsumen. “Banyak orang yang bilang ‘ini kayak PC’ saat mereka melihat desain yang mencolok dan berwarna-warni. Saya yakin kita bukan yang pertama.”
Bagaimana cara PC melakukannya?
Memiliki rancangan yang bagus pastinya tidak cukup. “Konsisten dalam semua aspek,” ucap Michael. “Jangan setengah-setengah saat mengerjakan sesuatu. Banyak orang yang saya tanya berkata bahwa mendirikan sebuah merek hanya berkisar pada rancangan, produksi, dan penjualan. Tidak salah. Setiap orang memiliki caranya masing-masing, tapi berapa lama Anda ingin bertahan dalam lautan merek ini?”
Yang paling penting, struktur perusahaan, proyeksi bisnis, visi, kreativitas, dan strategi pemasaran dibutuhkan untuk membangun merek yang mampu bertahan lama.
Setahun setelah PC diluncurkan, Michael mengambil langkah berani dan memanfaatkan kesempatan yang ada. Dia kembali menyuntikkan modal untuk memperluas operasi bisnis meski PC sudah mencatat keuntungan. Pada tahun 2018, dia membangun fasilitas manufaktur di luar Jakarta untuk mendorong produksi.
Pada akhir tahun itu, Michael mengakuisisi merek busana jalanan Paradise Youth Club (PYC). Target konsumen PYC lebih dewasa dibandingkan PC. PYC juga memiliki jangkauan lebih luas dibandingkan PC, yang mencapai Jepang, Inggris dan Amerika Serikat serta beberapa negara lainnya.
Michael and Vincentius Aditya (Adit), pendiri PYC, mendirikan Kultur Muda Indonesia (KMI) sebagai perusahaan induk PC dan PYC. Adit didapuk sebagai creative director yang bertanggung jawab atas divisi kreatif, termasuk tim pemasaran, sementara Michael menduduki posisi managing director yang memimpin tim operasional yang mengurus berbagai aspek, mulai dari merchandising, produksi, penjualan, dan administrasi hingga akuntansi.
Bisnis kreatif sama saja dengan bisnis lainnya. Pendirinya harus membuat proyeksi bisnis tahunan. Peluncuran koleksi dan acara harus direncanakan terlebih dahulu. Jika ada yang tidak berjalan dengan semestinya, mereka bisa merujuk ke proyeksi awal yang telah mereka buat.
Sebagai contoh, saat COVID-19 menyebar, kanal wholesale luar negeri membatalkan pesanan atas PYC. Sementara itu, PC harus menutup toko-tokonya di Jakarta dan Bandung untuk sementara. “Awalnya kami stres, tapi memiliki proyeksi membantu saya dalam menentukan apa yang harus dilakukan,” ucap Michael.
PC memutar strateginya ke kanal daring. Berkah dari menutup sementara toko fisik adalah hal tersebut membuat Michael menyadari bahwa ada banyak aspek dari kanal daring yang masih belum dijelajahinya. Platform perdagangan elektronik seperti Tokopedia, contohnya, adalah sumber pendapatan yang besar.
“Terjebak di rumah membuat saya memikirkan kembali cara saya berbisnis. Kanal daring memiliki potensi untuk menjangkau konsumen di seluruh dunia. Toko fisik, di sisi lain, memiliki pengeluaran bulanan tetap, seperti sewa, tenaga kerja, dan biaya listrik. Toko fisik tidak buruk, tapi toko daring memiliki jangkauan lebih luas.”
Meski di tengah pandemi, manajemen membuat keputusan berani untuk mewujudkan rencana awal mereka. Pada bulan April, saat kebanyakan merek busana menunda peluncuran koleksi atau menghentikan sementara produksi mereka, KMI meluncurkan lini pakaian baru, yaitu Prime Apparel. Ternyata, pendirian Prime Apparel merupakan langkah strategis mereka untuk memanfaatkan aset perusahaan.
“Kami sedang membangun ekosistem. Kalau Anda melihat apa yang kami ciptakan, semuanya saling terhubung, tapi dalam pasar yang berbeda. Prime [Apparel] merupakan pakaian basic dan bisa diaplikasikan pada PC dan PYC. Di saat yang bersamaan, Prime memiliki model bisnisnya sendiri dan bisa berjalan secara mandiri.”
Singkatnya, pakaian dari Prime Apparel bisa dijual sendiri atau diubah menjadi produk PC dan PYC. Bukan hanya itu. Prime memiliki bagian grosir bagi konsumen yang ingin membeli dalam jumlah besar. Perusahan juga memproduksi dan merancang pernak-pernik. Konser Head in The Clouds dan Boy Pablo adalah klien mereka.
Ekosistem tersebut termasuk inovasi dalam operasi internal, kampanye, dan konsep acara. Serikat pekerja adalah salah satunya, yang diprakarsai oleh Ramiz Alamsyah, kepala pemasaran KMI.
“Saat ini ada 20 orang dalam tim kami. Saya mengerti bahwa ada beberapa dari mereka yang tidak nyaman berbicara langsung dengan saya. Saya rasa serikat pekerja bisa membawa hal positif,” ucap Michael.
Serikat pekerja itu, sebut Ramiz, bertujuan untuk menyelesaikan masalah di antara karyawan secara kolektif. “Serikat pekerja adalah alternatif untuk departemen HR karena kami belum punya itu.”
Pendekatan kolaboratif tentunya berhasil bagi KMI. Meskipun tiap orang memiliki pekerjaannya sendiri, semua anggota tim dilibatkan dalam sesi tukar pikiran untuk konsep acara dan kampanye.
Hasilnya, merek-merek di bawah naungan KMI selalu memiliki ide baru. “Ada yang datang ke suatu acara hanya untuk mengunjungi stan kami, karena mereka tahu presentasi kami selalu berbeda. Kami tidak pernah mengulang desain stan,” kata Michael.
Pada acara Brightspot di tahun 2019, PC mengadakan acara spesial dalam stan, yaitu acara dalam acara. Satu bulan setelah Brightspot, PC mengadakan live painting di acara Urban Sneakers Society yang hasilnya kemudian dilelang secara online.
“Bagaimana caranya untuk menonjol di antara kerumunan. Bukan hanya berusaha dalam kreativitas, tapi juga secara keuangan. Banyak merek yang berpartisipasi dalam suatu acara dengan dekorasi yang sama. Saat orang mengunjungi suatu acara, mereka tahu bagaimana suatu merek akan ditampilkan. Kami ingin membangun rasa penasaran pasar.”
Karena tidak ada acara offline selama pandemi, merek-merek KMI meningkatkan aktivasi daring mereka. Prime Apparel, contohnya, meluncurkan kampanye ‘True Color’ untuk merayakan Pride Month. Kampanye tersebut menampilkan enam orang dengan beragam identitas. Konsepnya sejalan dengan esensi busana basic: Terlepas dari jenis kelamin atau umur, setiap orang perlu pakaian basic.
Tentu saja, kampanye tersebut meningkatkan engagement rate di media sosial. Merek pakaian yang memiliki kisahnya sendiri sulit ditemui sekarang ini. Cerita adalah cara KMI membedakan dirinya dengan yang lain dan tidak perlu khawatir mengenai saingannya.
“Kalau Anda terus-menerus khawatir tentang saingan Anda, Anda sudah kalah,” ucap Michael.