Implikasi nama merek terkenal - Bagian 2
Read in English
Celah dalam regulasi
Raksasa mebel asal Swedia, IKEA, kehilangan hak untuk menggunakan merek dagangnya di Indonesia setelah sebuah pengadilan niaga di Jakarta pada tahun 2015 memberikan hak pengunaan merek dagang tersebut kepada sebuah perusahaan asal Surabaya yang telah lebih dulu mengajukan permohonan penggunaan merek dagang IKEA. Hal serupa terjadi kepada Superman milik DC dan Onitsuka Tiger milik ASICS.
Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis menetapkan bahwa “Permohonan ditolak jika Merek tersebut mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan: a. Merek terdaftar milik pihak lain atau dimohonkan lebih dahulu oleh pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis;”
Di Amerika Serikat, hak penggunaan merek dagang diberikan dengan sistem pengguna pertama. Jika sebuah merek dapat membuktikan bahwa mereka adalah pihak yang pertama kali menggunakan nama tersebut dalam perdagangan, maka mereka dapat mengajukan permohonan penggunaan merek dagang meskipun merek lain sudah lebih dulu mendaftarkan merek dagang tersebut.
Sistem pendaftar pertama terbukti cacat karena membuka kesempatan bagi pihak lain untuk mencuri merek dagang terkenal. Isu serupa terjadi di Cina, di mana merek seperti Michael Jordan dan Yeezy didaftarkan oleh masyarakat lokal.
Setelah perseteruan hukum selama delapan tahun, Michael Jordan memenangkan gugatan melawan perusahaan asal Cina, Qiaodan Sports Co., atas penggunaan merek dagang Qiaodan. Qiaodan adalah terjemahan fonetik dari Jordan. Masyarakat biasanya menyebut Michael Jordan sebagai Qiaodan.
Penyelidikan yang dilakukan oleh penasihat Jordan di Cina menemukan bahwa “90% masyarakat yang diwawancara yang telah membeli produk Qiaodan Sports mengungkapkan bahwa mereka percaya produk Qiaodan Sports ada hubunganya dengan Michael Jordan.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis juga mencakup hak prioritas (dalam Pasal 9 dan 10) untuk merek luar negeri “yang merupakan anggota Konvensi Paris tentang Perlindungan Kekayaan Industri (Paris Convention for the Protection of Industrial Property) atau anggota Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing the World Trade Organisation).”
Ini berarti bahwa jika sebuah merek mengajukan permohonan hak penggunaan merek dagang di negara asalnya pada 20 Agustus 2020, tanggal pengajuan permohonan penggunaan merek dagangnya di Indonesia juga akan tercatat pada 20 Agustus 2020 selama permohonan tersebut diajukan dalam waktu enam bulan.
Ketentuan ini menimbulkan pertanyaan: Apakah pendiri merek berencana untuk mengembangkan merek mereka ke luar negeri sesegera itu? Jangka waktu satu tahun saja bisa dibilang terlalu cepat untuk merencanakan ekspansi global, apalagi enam bulan.
Pada Oktober 2017, Indonesia menjadi anggota ke-100 Sistem Madrid. Di bawah Protokol Madrid, pendiri merek dapat mendapatkan perlindungan mereknya di seluruh negara anggota Sistem Madrid hanya dengan mengajukan satu permohonan. Protokol ini diimplementasikan sepenuhnya pada 2018. Kekurangan dari Protokol Madrid adalah mahalnya biaya yang harus dibayarkan oleh pendiri merek, terutama jika merek tersebut didaftarkan di banyak kelas.
Registrasi merek dagang dibagi menurut tipe atau kelas barang atau layanan. Ada 45 kelas yang mencakup berbagai sektor. Jika sebuah merek didaftarkan di Kelas 25 (pakaian, alas kaki, penutup kepala), merek lain dengan nama serupa bisa didaftarkan di kategori lain.
Kebijakan ini bisa menjadi pedang bermata dua bagi merek. Ketika aplikasi pemesanan transportasi online Uber Technologies muncul pada tahun 2011, agensi desain asal New York bernama Über Inc menerima ratusan telepon dan email setiap harinya karena orang-orang salah mengira agensi desain tersebut sebagai aplikasi pemesanan kendaraan. Agensi desain tersebut sudah menggunakan nama Uber sejak 1999.
Sekilas, solusi untuk masalah ini tampaknya sederhana: merek dapat mengajukan permohonan penggunaan merek dagang di berbagai kelas. Masalahnya, di Indonesia, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis menetapkan bahwa pihak ketiga yang berkepentingan dapat mengajukan penghapusan merek terdaftar dengan alasan merek tersebut tidak digunakan selama tiga tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir.
Ketika merek dagang hilang kekuatannya
Menciptakan nama yang menarik dan mudah diingat adalah cita-cita setiap pendiri merek, termasuk para pendiri Zipper, Thermos, Escalator, Yo-Yo, Hoover, Jacuzzi, Aspirin, dan Heroin. Namun, hal tersebut bisa berujung pada generifikasi, yaitu “sebuah proses ketika sebuah nama merek kehilangan identitas uniknya karena digunakan untuk merujuk pada produk atau layanan apa pun yang sejenis.”
Sebelum menjadi istilah generik di Amerika Serikat, hak penggunaan merek dagang Aspirin dan Heroin dimiliki oleh perusahaan farmasi asal Jerman, Bayer. Aspirin adalah nama merek untuk acetylsalicylic acid (ASA), obat yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit, menurunkan demam, atau meredakan peradangan.
”Saya harus minum Aspirin,” lebih mudah diucapkan dibandingkan, “Saya harus minum acetylsalicylic acid.” Jacuzzi menjadi kata benda generik karena mengucapkan ‘Jacuzzi’ lebih mudah daripada ‘mandi pusaran air.’
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek Dagang dan Indikasi Geografis menyatakan bahwa “terhadap Merek terdaftar yang kemudian menjadi nama generik, setiap Orang dapat mengajukan Permohonan Merek dengan menggunakan nama generik dimaksud dengan tambahan kata lain sepanjang ada unsur pembeda.“
Generifikasi adalah masalah yang tidak dapat diduga sebelumnya. Google, contonya, bisa saja kehilangan merek dagangnya karena semakin banyak orang menggunakan nama tersebut sebagai kata kerja. Contohnya, “Informasinya ada di web, Google aja!” Google telah menjadi sinonim dengan ‘menggunakan mesin pencarian untuk mencari informasi.’