Budaya meniru - Bagian 4. Inspirasi dan orisinalitas: Sebuah permasalahan abadi
Read in English
Dalam artikel yang terbagi ke dalam empat bagian, TFR mengobservasi dan melakukan analisis penyebab budaya meniru di Indonesia. Tujuan seri ini adalah untuk edukasi, informasi, serta memberikan masukan.
Pada tahun 2019, Nike melayangkan gugatan hukum kepada kompetitornya, Skechers, dengan tuduhan bahwa Skechers telah menjiplak dua dari produk sepatu olahraga Nike yang paling istimewa, yaitu VaporMax dan Air Max 270. Gugatan ini bukan gugatan pertama yang diterima Skechers; Nike sendiri memiliki dua perkara hukum lain yang sedang berjalan terkait kompetitornya tersebut.
Dalam gugatan ini, Nike memperjuangkan inovasi desainnya dan mencegah Skechers untuk mengambil untung secara cuma-cuma dari investasi Nike di sumber daya manusia dan sumber daya lainnya. Sementara itu, Skechers berpendapat bahwa perusahaannya hanya mengambil inspirasi dari produk-produk kompetitor melalui proses yang mereka sebut dengan ‘Skecherizing.’
Kasus ini menimbulkan beberapa pertanyaan: Mengapa ada adaptasi desain yang dianggap menjiplak, sementara kreasi lain dianggap sebagai karya orisinal yang terinspirasi dari sumber eksternal? Apa yang membedakan keduanya?
Ahimsa Hindarto, mahasiswa University for the Creative Arts di Epsom, Inggris, memberi contoh sebagai berikut, “Ketika kita menjiplak desain sampul buku karya orang lain dengan tata letak dan bentuk yang sama, namun mungkin dengan warna yang berbeda, itu adalah sebuah karya jiplakan. Namun, kalau kita mengambil esensi dari desain sampul tersebut dan mengadaptasikannya untuk membuat desain sampul kita sendiri, maka itu bukan menjiplak. Itu adalah keorisinalan.”
Karina Ondang, perancang busana untuk label mode Krinou (@krinouofficial), menyampaikan pendapat berikut mengenai inspirasi: “Bagi saya, inspirasi hanyalah tahap awal dan harus mengalami proses evolusi dan perombakan berulang-ulang dengan memasukkan perspektif dari diri sendiri, yang sejalan dengan label saya. Dengan adaptasi yang berulang-ulang tersebut, inspirasi ini akan bertransformasi menjadi suatu karya yang benar-benar berbeda dan sepenuhnya milik kita.”
Proses menciptakan sebuah karya tidak singkat, dan mencari referensi hanyalah sebuah tahap awal dari proses tersebut. Untuk format karya seni tertentu, proses ini dimulai dari inspirasi, diikuti riset, referensi, brainstorming, moodboarding, pengembangan sketsa, masukan, pengembangan sketsa atau digital lebih lanjut, dan evaluasi. Fase pengembangan sketsa dapat dilakukan berulang-ulang tergantung masukan yang didapat.
Teddy Aang dan Jan Darmadi, duo di balik label pakaian Polonian, tidak melihat keaslian dan inspirasi sebagai dua hal yang terpisah, “Keorisinalan dan inspirasi itu bak Yin dan Yang, tidak akan ada tanpa satu sama lain. Kami tidak pernah melihat adanya separasi di antara keduanya. Yang kami lakukan dengan Polonian terasa sangat alami dan sederhana karena inspirasinya datang dari pengalaman orisinal kami sendiri.”
Polonian mengambil inspirasi dari pengalaman dan masa tumbuh kembang para pendirinya yang melekat erat dengan budaya Hokkien, yang kemudian digabungkan dengan fenomena sosial dan referensi desain masa kini.
Karena itu, terinspirasi dari kreasi seniman lain bukan berarti kita tidak memiliki keorisinalan. Keorisinalan dapat bersifat subjektif; keorisinalan dalam hal tertentu dapat diartikan sebagai individualitas – ketika sebuah elemen tidak mengacu pada apapun di sekitarnya.
Tetapi, ada pula yang berargumen bahwa keorisinalan datang dari elemen atau ide yang sudah ada sebelumnya, dan kemampuan mereproduksi hal tersebut dengan cara kita sendiri dan menjadikannya unik juga merupakan keorisinalan. Kita kini hidup di dunia yang mengizinkan keorisinalan dan inspirasi untuk berjalan bersama, selama kita memahami batasan antara inspirasi dan imitasi.
Salah satu desain orisinal yang terinspirasi kreasi seniman lain adalah desain “I Love New York” karya Milton Glaser. Logo tersebut terdiri dari huruf kapital ‘I,’ diikuti simbol hati warna merah (❤), dengan huruf ‘N’ dan ‘Y’ di bawahnya, dengan jenis huruf rounded slab serif American Typewriter. Desain ini terinspirasi dari kreasi seniman lain – patung LOVE karya Robert Indiana yang awalnya diciptakan untuk kartu Natal pesanan The Museum of Modern Arts pada tahun 1965.
“LOVE adalah karya yang transgresif, mengaburkan perbedaan antara desain grafis dan seni tinggi. Banyak yang terjadi di era 1960-an yang juga merupakan pengaburan dari dua hal itu. Sedikit banyak, LOVE dan ‘I ❤ NY’ bermula dari sensibilitas yang sama. Menurut saya, kreasi LOVE memiliki efek ke bawah sadar saya dalam hal apa yang diizinkan. Atmosfernya sarat dengan hal itu,” tutur Glaser.
Walau mirip, masing-masing karya seni dalam kasus ini tetaplah unik dan orisinal. Glaser mengambil esensi dari desain Indiana – atmosfer dan sensibilitasnya – lalu menciptakan desain yang orisinal dan segar.
Berbicara tentang efek bawah sadar yang disebut oleh Glaser, situasi bisa menjadi lebih rumit ketika seorang seniman tidak menyadari bahwa dirinya telah terinspirasi dari karya seniman lain, yang dapat mengakibatkan seniman tersebut tidak memberikan kredit yang seharusnya atau melakukan adaptasi dari inspirasi yang didapat. Hal ini dapat terjadi bahkan kepada seniman-seniman yang sudah berpengalaman.
Gitaris grup musik The Beatles, George Harrison, merilis sebuah lagu solo yang berhasil menduduki peringkat satu di berbagai tangga lagu pada tahun 1970, yaitu ‘My Sweet Lord.’ Sayangnya, tidak lama setelah lagu tersebut dirilis, sebuah gugatan plagiarisme diajukan oleh Bright Tunes, penerbit lagu ‘He’s So Fine’ dari The Chiffons yang dirilis tahun 1963, terhadap lagu ‘My Sweet Lord’. Perusahaan tersebut meminta bagian dari pendapatan yang dihasilkan lagu ‘My Sweet Lord.’
Pada tahun 1976, setelah perjuangan hukum yang panjang, Harrison divonis telah melakukan “plagiarisme bawah sadar,” yang terjadi ketika seseorang mengaku memiliki sebuah pemikiran orisinal (atau dalam kasus musik bisa berbentuk lagu, melodi, atau ketukan), padahal sebetulnya ia pernah menjumpai ide atau musik yang dimaksud di masa lampau dan kemudian melupakannya.
“Saya tidak menyadari kemiripan antara ‘He’s So Fine’ dan ‘My Sweet Lord’ ketika saya menulisnya, karena prosesnya lebih merupakan improvisasi dan tidak pasti. Namun, ketika lagu versi saya dirilis dan mulai banyak diputar, masyarakat mulai membicarakan kemiripannya, dan ketika itulah saya berpikir, “Kenapa saya tidak menyadarinya?”,” tulis Harrison dalam autobiografinya.
Dalam situasi di mana kita ingin melakukan sampling atau memasukkan karya orang lain dalam kreasi kita secara sah, kita harus memberi kredit pada seniman aslinya dengan cara yang tepat. Hal ini penting, terlebih ketika menggunakan materi berhak cipta untuk mendapatkan keuntungan, karena kegagalan dalam melakukannya dapat menjadi dasar untuk tuntutan hukum atas pelanggaran hak cipta.
Dalam aplikasinya, pertama kita harus mengidentifikasi pemegang hak cipta. Kemudian, tentukan apa tujuan dari penggunaan materi tersebut; secara umum – walau harus ditinjau aplikasinya untuk tiap kasus – penggunaan materi berhak cipta dengan jumlah sedikit dan untuk tujuan penjelasan, kritik, atau parodi termasuk sebagai penggunaan wajar, sementara memakai materi berhak cipta secara utuh atau dengan jumlah besar tanpa izin merupakan pelanggaran hak cipta.
Jika tidak terhitung sebagai penggunaan wajar, maka kita harus menghubungi pemegang hak cipta untuk mendapatkan izin yang sesuai. Terakhir, cantumkan pemberitahuan hak cipta di materi berhak cipta yang digunakan.
Sebuah contoh pemberian kredit yang baik ada pada lagu ‘Feel it Still’ milik grup musik Portugal. The Man, yang memenangkan penghargaan Grammy untuk kategori penampilan duo/band terbaik pada tahun 2018. Para personil grup ini, yang menulis lagu tersebut bersama para produser mereka, menyatakan bahwa melodi di bait utama lagu tersebut, “Ooh, woo, I’m a rebel just for kicks, now,” diambil dari lagu ‘Please Mr Postman’ yang awalnya dibawakan oleh The Marvelettes. Untuk memakainya secara sah, Portugal.
The Man menghubungi dan membayar royalti kepada penulis aslinya dan mencantumkan nama mereka sebagai salah satu penulis ‘Feel it Still.’ “Tim legal kami memberi tahu bahwa kalau kami ubah dua nada saja, lagu ini akan menjadi milik kami seutuhnya, tapi kami tidak menyukai lagu ini tanpa melodi dari The Marvelettes,” ucap Zach Carothers, bassis Portugal. The Man.
Dari semua bentuk seni yang kami amati, mode merupakan kasus yang menarik. Salah satunya adalah karena adanya celah perundang-undangan yang dibahas di Bagian 1, perancang busana seolah menjadi satu-satunya pekerja kreatif yang diresahkan oleh budaya menjiplak yang semakin marak di dunia mode; para penjiplak dan konsumen seperti melihat fenomena ini sebagai hal yang wajar atau setidaknya umum.
Seakan barang-barang mode jiplakan bisa diterima oleh masyarakat, tidak seperti plagiarisme dalam bentuk kreasi seni lain, seperti tulisan, musik, atau desain grafis.
Karina percaya bahwa keinginan untuk selalu memakai pakaian baru berkontribusi pada hal ini, karena keinginan ini lalu memicu cepatnya pergantian barang mode. “Untuk memenuhi keinginan itu, jauh lebih mudah untuk menjiplak dan menjual dengan cepat. Industri mode bisa dibilang sebebas hutan yang tidak memiliki peraturan. Pada akhirnya, semua tergantung pada pertimbangan etis para perancangnya sendiri, apakah mereka ingin menyampaikan suara mereka melalui rancangan mode atau menjual barang dengan cepat demi mendapat keuntungan,” tambahnya.
Amot Syamsuri Muda, perancang mode dari label AMOTSYAMSURIMUDA, berpendapat bahwa keadaan ini disebabkan oleh budaya kita sendiri: “Banyak sekali orang di sekeliling kita yang menjiplak desain orang lain, dan lama-lama hal ini mulai terasa normal. Adapun kenapa mode berbeda dari bentuk seni lain, saya percaya aksesibilitas adalah sebuah faktor. Misalnya, Anda menginginkan sebuah barang yang hanya dijual di New York. Sangat jauh, dan akumulasi biaya untuk mendapatkannya sangat mahal. Sehingga, Anda tidak punya pillihan lain selain membeli atau membuat barang jiplakan,” tutur Amot.
Amot sendiri pernah mengalami kejadian di mana karyanya dijiplak orang lain. Sebuah kemeja rancangannya pernah dipinjam oleh seorang penata mode untuk waktu yang cukup lama, dan ternyata kemeja tersebut dipakai sebagai contoh untuk membuat kemeja replika yang sama persis. “Saya langsung memblokirnya,” Amot menambahkan.
Apapun tujuannya, ini merupakan contoh kurangnya pemahaman dan pertanggungjawaban etis terkait menjiplak, bahkan di antara individu yang berkecimpung di dunia mode.
Masih panjang perjalanan Indonesia dan konsumennya untuk sepenuhnya memahami dampak dari permasalahan ini. Dalam mengembangkan seri ini, kami tidak hanya belajar bahwa ada banyak alasan mengapa seseorang menjiplak karya orang lain, tetapi juga bahwa banyak yang masih belum teredukasi tentang etika melakukannya.
Tidak ada yang sepenuhnya baru di muka bumi, oleh karena itu menjadi orisinal artinya menjadi kreatif karena setiap individu dilahirkan berbeda satu sama lain. Tidak ada seorang pun yang memiliki tiruan yang sama persis.
Seri ini dibuat untuk menyoroti fenomena budaya menjiplak, mempelajari penyebabnya, dan mengedukasi masyarakat tentang bagaimana cara mendorong keorisinalan, membuka diri menerima inspirasi, dan menghormati perjuangan kreatif orang lain. Semoga kami telah membantu menggiring narasi isu plagiarisme ke arah yang tepat.