Apa itu Omnibus Law dan mengapa pekerja kreatif harus memahaminya?
Read in English
Omnibus law mungkin telah menjadi bagian dari kosakata sehari-hari kita sejak awal 2020, setidaknya sampai pandemi COVID-19 terjadi. Pandemi ini bisa jadi telah mencuri perhatian kita dari banyak hal, namun tampaknya tidak bagi beberapa pihak di pemerintahan.
Omnibus law adalah undang-undang yang mencakup berbagai topik atau topik-topik yang tidak ada hubungannya satu sama lain untuk menyederhanakan undang-undang yang berlaku. Kata “omnibus” berasal dari bahasa Latin yang berarti “untuk segalanya,” itulah mengapa kita menyebutnya RUU Sapu Jagat dalam bahasa Indonesia.
Ada empat set Omnibus Law untuk meningkatkan investasi asing yang diusulkan oleh Presiden Joko Widodo di awal tahun 2020, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, RUU Kefarmasian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Di saat yang sangat tidak tepat ini, pemerintah bergerak secepat kilat untuk mengesahkan RUU Cipta Lapangan Kerja, yang dikenal luas sebagai RUU CIlaka.
Apa itu RUU Cipta Lapangan Kerja?
RUU Cilaka sendiri adalah permainan kata dari RUU Cipta Lapangan Kerja yang disingkat menjadi cilaka. Singkatan ini tampak pas karena penyederhanaan beragam aturan di dalam RUU ini dianggap berpotensi merugikan banyak sektor.
RUU Cilaka mencakup 11 sektor, yaitu Penyederhanaan Perizinan; Persyaratan Investasi; Ketenagakerjaan; Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM serta Perkoperasian; Kemudahan Berusaha; Dukungan Riset dan Inovasi; Administrasi Pemerintahan; Pengenaan Sanksi; Pengadaan Lahan; Investasi dan Proyek Pemerintah; dan Kawasan Ekonomi.
Ini berarti peraturan-peraturan dan prosedur administrasi yang dibutuhkan dalam sektor-sektor ini akan menjadi lebih mudah untuk diikuti.
Di permukaan, pengesahan RUU ini menjadi undang-undang terlihat membawa banyak manfaat. Contohnya, RUU Cipta Lapangan Kerja bertujuan untuk membuka lebih banyak kesempatan bagi investor, baik investor asing maupun domestik, untuk memulai usaha mereka di Indonesia dengan menyederhanakan sejumlah persyaratan administratif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa birokrasi serta rumitnya peraturan dan proses perizinan seringkali membuat investor enggan untuk membuka usaha mereka di Indonesia.
Peraturan-peraturan di negara ini memang rumit dan tidak praktis. Akibatnya, Indonesia kehilangan banyak peluang investasi. Beberapa pihak juga meyakini bahwa kondisi inilah yang menyebabkan rendahnya tingkat penyerapan tenaga kerja di Indonesia — kita memiliki surplus dua juta pencari kerja setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik melaporkan bahwa sektor informal masih mendominasi penyerapan tenaga kerja nasional dengan kontribusi sebesar 57,26%, sementara sektor formal hanya menyerap sekitar 42,74% tenaga kerja. Untuk memperbaiki situasi ini, akankah RUU Cilaka menjadi solusinya? Mari kita cermati RUU ini.
Kenapa kita harus peduli?
RUU Cilaka atau RUU Cipta Lapangan Kerja meyederhanakan peraturan-peraturan di berbagai area yang sebelumnya diatur secara khusus.
Sekilas, sepertinya tidak ada yang perlu kita, pekerja kreatif, khawatirkan. Kita terbiasa dengan kondisi pekerjaan yang parah dan sangat menuntut; kita terbiasa dengan kenyataan bahwa banyak yang tidak menghargai pekerjaan kita walaupun mereka menikmati hasil kreasi kita.
Situasi ini mendorong pekerja kreatif untuk beradaptasi dan terus berjuang, sehingga beberapa memilih menjadi pekerja lepas. Seberapa parahkah RUU ini memengaruhi kita nantinya?
Jika RUU ini disahkan menjadi undang-undang, para pekerja lepas terancam dipekerjakan untuk mengerjakan tugas-tugas pekerja penuh waktu. RUU ini merevisi Pasal 56 di Undang-Undang No.13/2013 tentang Ketenagakerjaan serta mencabut Pasal 59 di undang-undang yang sama. Kedua pasal itu mengatur, antara lain, perjanjian kerja serta perpanjangan kontrak bagi pekerja lepas.
Menurut naskah akademik RUU Cilaka, Pasal 59 dihapus sebagai upaya adaptasi terhadap sektor tenaga kerja global yang terus berubah. Penghapusan pasal ini ditujukan untuk melegalisasi kontrak pekerjaan yang lebih “lentur” bagi pekerja lepas.
Meski tidak tampak seperti sebuah masalah, hal ini membuka peluang bagi perusahaan untuk memilih menggunakan tenaga kerja dari pihak ketiga secara permanen daripada menjadikan mereka karyawan tetap karena tidak ada batasan waktu untuk proyek lepasan.
Tidak hanya itu, metode ini bisa diberlakukan di bidang pekerjaan apa saja. Situasi ini bisa menempatkan pekerja mana pun di posisi yang sulit untuk mengamankan pekerjaan mereka karena perusahaan bisa semaunya memutus kontrak pekerja lepas tanpa konsekuensi hukum apa pun.
Jika RUU Cipta Lapangan Kerja disahkan, tenaga kerja dari pihak ketiga akan semakin rentan terhadap dampak dari permintaan klien. Dalam RUU tersebut, pasal yang khusus mengatur batasan lingkup pekerjaan yang boleh dilakukan karyawan dari pihak ketiga dihapus. Ini berarti nasib mereka akan benar-benar berada di tangan klien dan perusahaan mereka sendiri.
Belum lagi kalau kita bicara mengenai peningkatan batasan jam kerja per minggu dan jam lembur, yang dilakukan semata-mata demi "memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan produksi."
Kalau mau jujur, sebenarnya ini semua telah terjadi di mana-mana di dalam industri mana pun, meski sudah ada aturannya. Kita selalu hidup dalam kenyataan di mana pekerja lepas bekerja hampir setiap saat dan pekerja penuh waktu melakukan pekerjaan lepas tambahan untuk bisa hidup layak.
Setidaknya sampai saat ini, kita masih punya cara untuk mencari keadilan sebagai pekerja, walaupun prosesnya tidak selalu seefektif yang dikesankan oleh hukum.
RUU ini bisa menutup bukan saja kesempatan untuk menyelesaikan masalah ketidakadilan dalam bentuk apa pun di lingkungan pekerjaan kita, tapi juga kesempatan untuk memperbaiki apa yang salah. Bukannya menyelesaikan masalah mendasar yang sudah ada sejak lama di sektor tenaga kerja kita, RUU Cipta Lapangan Kerja mungkin malah akan memperburuk situasi. Inilah mengapa undang-undang ini cilaka.