Apakah pekerja lepas paham dampak RUU Cipta Kerja?
Read in English
Sumber foto: Shutterstock
Pemerintah berupaya menarik pemodal asing untuk membuka lapangan kerja di Indonesia dengan tujuan memajukan perekonomian nasional agar bisa bersaing dengan negara-negara lain, terutama di Asia Tenggara.
Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja diharapkan dapat menjadikan Indonesia negara yang ramah investor. Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain, mengingat pasal-pasal yang diubah dan dihapus cenderung merugikan pekerja.
Salah satu potensi masalah ada di perubahan Pasal 56 Undang-Undang (UU) No.13/2013 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur selesainya jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu, serta penghapusan Pasal 59 di UU yang sama, yang mengatur syarat-syarat perjanjian kerja waktu tertentu, termasuk batasan jam kerja dan perpanjangan kontrak bagi pekerja kontrak. (Sebagaimana dijelaskan di bagian pertama artikel Omnibus Law).
Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Februari 2020, sebanyak 74,04 juta orang (56,50%) bekerja di sektor informal, naik 0,77% dari tahun sebelumnya. Rencana revisi Pasal 56 dan penghapusan Pasal 59 akan mengancam kesejahteraan para pekerja kontrak dan pekerja lepas yang terikat Perjanjian Kerja Waktu Tertentu.
Pasal 10 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No.100/2004 menyatakan bahwa pekerja lepas bekerja untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berubah-ubah dalam hal waktu, dan dengan volume pekerjaan yang upahnya didasarkan pada kehadiran (kurang dari 21 hari kerja dalam 1 bulan).
Pekerja lepas adalah individu yang bekerja sendiri, tidak dinaungi oleh perusahaan mana pun, dan tidak terikat kontrak jangka panjang. Para pekerja lepas ini biasanya hanya bekerja dalam satu proyek tertentu dan sering ditemukan di sektor kreatif, seperti penulis, penata busana, serta desainer grafis.
Perusahaan lebih hemat, pekerja?
RUU Cipta Kerja juga menghapus Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur, antara lain, lingkup pekerjaan pekerja alih daya. Dalam ketentuan tersebut, pekerja alih daya tidak boleh dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi.
Dihapusnya Pasal 66 dalam RUU Cipta Kerja berarti lingkup pekerjaan pekerja alih daya diperluas. Akibatnya, kesempatan bagi para pekerja lepas untuk bisa menjadi pegawai tetap semakin kecil.
Muhammad, seorang staf senior digital marketing di sebuah perusahaan startup yang sering menggunakan jasa penulis lepas, mengakui bahwa menggunakan jasa pekerja lepas dianggap lebih efektif daripada mencari pekerja kontrak, apalagi pekerja tetap. Hal ini karena proses rekrutmen pegawai membutuhkan waktu lebih lama dan investasi sumber daya manusia yang lebih tinggi dibandingkan dengan sistem “beli putus.”
Ia menambahkan, proses pembayaran pekerja lepas sama seperti pembayaran vendor-vendor lainnya, yaitu dilakukan setelah jasa/produk/proyek selesai. Pekerja lepas hanya akan dibayar sesuai dengan pekerjaannya. Mereka tidak menerima berbagai fasilitas yang dinikmati pekerja tetap, seperti asuransi kesehatan dan pesangon.
RUU Cipta Kerja hanya akan menguntungkan perusahaan dan pemodal, karena aturan ini memungkinkan mereka untuk “menghemat” biaya tanpa harus memikirkan kesejahteraan pegawai. Jika RUU ini disahkan, kesejahteraan pekerja akan terancam karena pegawai kontrak akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pegawai tetap. Selain itu, mereka juga berisiko diperlakukan seperti pekerja lepas.
Pekerja lepas tidak tahu dampak RUU Cipta Kerja terhadap pekerjaannya
Sayangnya, banyak pekerja informal, termasuk pekerja lepas, yang belum paham betul mengenai dampak RUU Cipta Kerja terhadap diri dan pekerjaannya.
Dari tiga pekerja lepas yang pernah bekerja sama dengan startup dan agensi yang TFR wawancarai, tidak ada yang benar-benar memahami dampak RUU ini serta hak dan kewajiban mereka sebagai pekerja lepas.
Dwi (25), manajer influencer lepas, mengaku hanya tahu bahwa RUU Cipta Kerja akan merugikan pegawai kontrak. Ia belum mempelajari dampak RUU tersebut terhadap pekerja lepas seperti dirinya.
Esa (30), fotografer lepas, mengatakan bahwa biasanya ia bekerja atas dasar gentlemen’s agreement (perjanjian informal dan tidak mengikat secara hukum–biasanya tidak tertulis) atau atas dasar pertemanan saja, tidak ada hitam di atas putih.
Ahmad (27), seorang penulis lepas, mengungkapkan bahwa sejauh ini, kalau bekerja sama dengan brand, ia selalu memastikan isi Surat Perjanjian Kerja (SPK). Terkadang ada pula perusahaan yang memintanya menandatangani perjanjian kerahasiaan. Namun, yang paling penting adalah perjanjian mengenai waktu dan nominal pembayaran. Ia mengaku belum memahami UU Ketenagakerjaan dan aturan-aturan lain yang sejenis.
Sudah saatnya pekerja lepas mempelajari lebih dalam mengenai hak dan kewajiban mereka yang diatur dalam undang-undang, karena tidak sedikit kasus pekerja lepas menjadi korban wanprestasi. Sebaliknya, banyak pula pekerja lepas yang merasa tidak wajib untuk melaporkan pajaknya.
Pekerja lepas harus memahami hak dan kewajibannya
Menurut Anugrah Aditya (@adityalogy), seorang influencer di bidang gaya hidup, seorang pekerja lepas harus sadar betul mengenai nilai pekerjaannya serta berpikir lebih matang layaknya menjalankan sebuah perusahaan.
Aditya mengaku dirinya sampai meminta temannya yang bekerja sebagai pengacara untuk membantunya agar lebih teliti dalam setiap penandatanganan perjanjian kerja dengan klien.
Ia tahu bahwa tidak semua perusahaan memiliki kesadaran untuk membayarkan pajak dari jasanya. Solusinya, harga jasa yang ia berikan sudah termasuk pajak.
Seorang pekerja lepas harus berpikir lebih kompleks dibandingkan pekerja tetap, serta lebih proaktif dan kreatif dalam memikirkan sistem kerjanya, mulai dari pengurusan pajak hingga pemeriksaan kontrak kerja dengan perusahaan, tuturnya.
Masalahnya, tidak semua pekerja lepas berpikir jauh ke depan seperti Aditya. Pemerintah boleh saja menarik pemodal sebanyak-banyaknya agar Indonesia mampu bersaing dengan negara lain di tengah krisis seperti saat ini, tapi bagaimana dengan kesejahteraan pekerja?
Belajar dari negara lain
Mungkin Indonesia bisa belajar dari Singapura yang merupakan negara penerima modal asing terbesar kedelapan di dunia.
Singapura memiliki program Three-Year Transition Support Package yang terdiri dari: (1) Pemotongan pajak penghasilan perusahaan dan perorangan, pemotongan tersebut diharapkan bisa meringankan biaya operasional perusahaan hingga 20% dan ditutup pada S$10.000; (2) Pemberian kredit upah untuk membantu investor dalam mendanai kenaikan upah karyawan hingga 10% di tahun 2020; dan (3) Pembebasan pajak untuk startup hingga 75% untuk S$100.000 penghasilan pertama yang dibebankan selama 3 tahun pertama berturut-turut.
Program tersebut ditujukan untuk meringankan biaya yang ditanggung pemodal asing selama tiga tahun pertama membuka usaha mereka di Singapura. Dengan adanya stimulus dari pemerintah ini, perusahaan tidak perlu mengorbankan kesejahteraan karyawan demi menghemat biaya.
Three-Year Transition Support Package adalah salah satu contoh nyata bagaimana sebuah negara menyediakan kebijakan penanaman modal asing yang menguntungkan semua pihak, terutama rakyatnya.