Mengubah citra warisan: Industri cerita bergambar Indonesia
Read in English
Komik adalah salah satu bentuk seni visual yang paling mudah diakses di Indonesia. Kita mungkin ingat masa kecil kita saat menemukan komik dalam bentuk majalah, di koran, atau dalam bentuk buku komik. Kita mengenal komik dari saudara, teman, atau tidak sengaja menemukannya sendiri. Sebagian dari kita bahkan sangat suka komik sampai mencoba membuat komik sendiri, belajar dari tumpukan buku komik yang ada.
Sebagai komoditas yang tertanam sangat lekat dengan kehidupan orang Indonesia, komik memberikan tidak hanya hiburan, namun juga konteks untuk membentuk identitas. Seperti halnya sarana budaya pop lainnya, buku komik juga merefleksikan sejarah, isu sosial, budaya, dan lain-lain.
Komik Indonesia merefleksikan situasi sosio-politik dan budaya di Indonesia. Dikenal secara lokal sebagai cergam atau cerita bergambar, komik Indonesia selalu menjadi sarana untuk menyebarluaskan kearifan lokal dan budaya. Cergam Indonesia yang paling awal dibuat oleh pengarang Melayu-Cina. Sebagai contoh, Put On adalah cerminan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu-Cina pada masa itu.
Put On memasukkan berbagai elemen budaya, seperti penggunaan bahasa Peranakan seperti ‘owe’ untuk merujuk diri sendiri atau bahasa Hokkien seperti ‘gua’ dan ‘elu.’ Budayawan David Kwa mengidentifikasi elemen sejarah-budaya dari pakaian yang dikenakan oleh ibu Put On, yang berupa kebaya panjang yang biasanya dipakai oleh wanita Peranakan pada tahun 1800an. Namun, perubahan tidak terelakkan karena Indonesia membuka diri bagi negara lain dan menerima masuknya beragam karya dari luar negeri.
Ledakan buku komik yang diterjemahkan dari seluruh dunia memengaruhi industri komik lokal. Awalnya, buku komik Perancis-Belgia, Jepang, dan Cina mendominasi industri komik terjemahan. Ledakan ini memengaruhi bukan saja industri komik, namun juga proses kreatif seniman lokal. Seniman komik memiliki referensi yang lebih kaya berkat banyaknya komik terjemahan. Ayoga Nanda Restu, editor buku komik lokal di M&C, menganggap ini sebagai hal yang positif bagi perkembangan komik Indonesia.
Ini adalah salah satu alasan mengapa sampai sekarang tidak ada gaya komik Indonesia yang spesifik. Gaya-gaya komik Indonesia beragam dan seringkali sangat berbeda satu dengan yang lainnya, yang, menurut Ayoga, merupakan ciri spesial komik Indonesia sebagai bentuk seni. “Dalam beberapa tahun terakhir, genre aksi menjadi populer di buku komik buatan lokal,” ucapnya. “Ini mungkin dipengaruhi oleh komik luar negeri juga.” Ia menambahkan bahwa genre horor masih merupakan genre yang populer – ciri khas komik dan pembaca Indonesia.
Meski begitu, Ayoga mengakui bahwa kehadiran komik luar negeri di Indonesia bisa menjadi tantangan bagi seniman komik lokal. “Dulu, ada saat ketika seniman Indonesia menolak ledakan komik luar negeri di Indonesia,” katanya. “Seiring berjalannya waktu, mereka mulai membangun strategi untuk menempatkan komik Indonesia dan luar negeri pada kedudukan yang sama.” Bahkan sampai sekarang, seniman, komunitas, dan penggemar komik masih mencoba untuk mencari jalan agar komik Indonesia berdiri sejajar dengan buku komik luar negeri.
Ayoga juga mencatat bahwa tantangan datang sebagian dari kurangnya struktur pemasaran yang tetap untuk buku komik lokal. Bonni Rambatan, pendiri agensi pembuat komik Naobun, sependapat bahwa ini adalah isu yang cukup penting dalam industri komik lokal. “Di Jepang, sudah ada pipeline-nya,” ucapnya. “Jadi kita menerbitkan manga dahulu, diserialisasikan, kita mendapatkan adaptasi anime, mendapatkan mainan...itu proses yang sudah tetap.” Industri komik Jepang memiliki model bisnis tetap yang mencakup produksi, pemasaran, dan penjualan. Strukturnya dibangun di sekeliling industri, yang membuat siklus komik terus berputar. Menurut Ayoga, pasar komik Indonesia membutuhkan struktur seperti ini untuk memperkenalkan buku komik buatan lokal.
Sementara itu, komik shounen atau ‘laki-laki’ sudah meroket dalam pasar manga terjemahan. D. Tyagita Ayuningtyas, editor komik luar negeri di M&C, mengkonfirmasi hal ini. “Ini karena baik laki-laki maupun perempuan membaca buku komik dengan genre ini,” jelasnya. “Sementara itu, komik gadis (shoujo) seringkali hanya dibaca oleh perempuan.” Ayu juga mencatat bahwa tidak hanya genre aksi (yang biasanya terdapat dalam shounen), genre tragedi juga meningkat, sementara genre horor tetap populer.
Masuknya Line Webtoon ke Indonesia pada tahun 2014 menandai bentuk persaingan baru di industri komik lokal. Platform komik online seperti Line Webtoon tidak hanya menyediakan pilihan baru yang lebih mudah diakses, tetapi juga memberikan kesempatan bagi seniman komik Indonesia untuk menerbitkan karya mereka di platform tersebut. Ini mungkin terlihat seperti perubahan drastis di industri, terutama mengingat pasar bukan pembaca komik yang ditangkap oleh platform itu.
Industri komik cetak Indonesia menyadari pergeseran tersebut dan melihat pola yang baru dan berkembang. Saat platform-platform komik online memperkenalkan lebih banyak genre romansa, dia melihat adanya pertumbuhan genre romansa dalam buku komik cetak buatan lokal. “Ini mungkin karena platform itu turut membawa budaya pop Korea yang sangat berpusat pada remaja,” katanya. Dia juga menilai bahwa kehadiran platform komik online sangat baik bagi seniman komik Indonesia, mengingat mereka sekarang memiliki lebih banyak pilihan sarana untuk menerbitkan karya mereka.
Kemunculan platform online juga memperkenalkannya pada generasi seniman komik yang lebih akrab dengan format webtoon dibandingkan format komik konvensional. “Para seniman komik yang lahir di era digital ini cenderung lebih akrab dengan format ini karena mereka mungkin mengenal komik dari platform-platform ini,” jelasnya. Pada awalnya, memang ada kebingungan karena secara perlahan, beberapa penulis webtoon mulai tertarik untuk menerbitkan karya mereka dalam versi cetak. Saat itulah Ayoga ambil bagian dan membantu mereka untuk memformat ulang komik mereka agar cocok dengan media cetak.
Sementara itu, Ayu mengungkapkan bahwa M&C sudah mulai mengunggah beberapa komik luar negeri ke dalam platform onlinemereka, Gramedia Digital, dan Google Books. “Kami melakukan ini selangkah demi selangkah sembari mendapatkan persetujuan dari penerbit mereka karena tidak semuanya akan mengizinkan,” jelasnya. “Sebelumnya, kami juga bekerjasama dengan sebuah platform komik online, namun sayangnya, mereka tutup pada tahun 2019.”
Dari apa yang dijelaskan Ayu pada TFR, terlihat bahwa sudah ada kesadaran dalam industri bahwa suatu hari nanti, apa yang awalnya dicetak akan menjadi digital. Oleh karena itu, digitalisasi buku komik dan perlahan beralih dari media cetak ke media digital menjadi bagian dari strategi industri untuk bertahan. Namun, strategi ini tampaknya tidak terlalu berdampak buruk terhadap penjualan komik cetak. Menurut Ayu, pasar komik luar negeri, terutama manga, masih berhasrat untuk membeli buku komik, baik sebagai koleksi maupun sebagai bentuk apresiasi. “Ada juga pembaca yang terlebih dahulu mengakses komik dari situs komik ilegal, namun kemudian membeli versi cetaknya dari kami,” terangnya.
Alih-alih memengaruhi pasar dalam hal penjualan, Ayu mengatakan bahwa kehadiran platform komik online justru memengaruhi genre. Seperti yang dia ungkapkan sebelumnya, kepopuleran genre shounen yang terjadi belakangan ini sebagian didorong oleh genre-genre yang tersedia di webtoon dan sejenisnya. “Kami dulu dikenal dengan komik gadis, namun sekarang pembaca bisa menemukan sumber lain untuk genre ini,” dia menjelaskan, “saat itulah kami mulai memasukkan lebih banyak genre komik laki-laki ke dalam katalog kami.” Ayu menambahkan bahwa sampai saat ini, penjualan buku komik cetak masih lebih tinggi dibandingkan versi digital.
Dalam industri kreatif, ide merupakan komoditas yang membuat industri bertahan hidup. Ketika seseorang meniru ide seseorang dan menjalankannya, hasilnya bisa jadi tidak sebaik aslinya, namun tetap bisa mengganggu jalannya industri. Zaman dulu, buku komik bajakan dicetak dan dijalin dengan cara yang membuatnya terlihat seperti komik asli. Namun, setelah membelinya, kita bisa melihat kualitas yang sangat buruk dalam begitu banyak aspek. Sekarang, industri komik masih menghadapi masalah yang sama, namun dalam bentuk digital.
Mengingat pembaca kadang akan mengunjungi situs-situs ilegal sebelum membeli versi cetak aslinya, pembajakan semacam ini bisa menghasilkan dampak positif dan negatif terhadap industri. “Pembajakan kebanyakan merugikan industri,” tutur Ayu. Kebanyakan orang mengunjungi situs-situs itu untuk mengakses komik secara gratis. Bagi industri, hal ini merupakan sebuah kerugian besar, terlebih lagi bagi seniman. Menyediakan dan mengakses komik secara ilegal berarti merampas apresiasi yang selayaknya diterima seniman komik, tapi tidak menurunkan ekspektasi publik terhadap mereka. Pembajakan komik adalah penghinaan terhadap seniman komik.