Jargon dan perlindungan hukumnya dalam rezim hak kekayaan intelektual
Read in English
“TBL TBL TBL, Takut Banget Loh” adalah frasa pendek yang populer akhir-akhir ini. Frasa ini sedang ramai dibahas, bukan karena kelucuannya, tapi terkait izin penggunaannya. Pemilik frasa pendek tersebut, @bondol_jpg, melalui Instagram menyampaikan kekecewaannya terhadap tindakan perusahaan-perusahaan besar yang menggunakan frasa tersebut untuk kepentingan promosi tanpa meminta izinnya terlebih dahulu.
Sosok yang menghidupkan kembali musik dan nuansa remaja ala tahun 2000an ini menilai bahwa seharusnya diberikan professional credit atau “sowan” kepada dirinya dan @nonikmenieszt (akun Instagram) selaku pihak yang mempopulerkan frasa tersebut.
Dalam wawancara dengan The Finery Report, Bondol menceritakan awal kemunculan kata TBL. Mulanya, frasa ini terkenal melalui TikTok dan Instagram. “Jadi, kalau kami live berdua suka pakai pose-pose Facebook gitu. Kan yang nonton pada takut, jadi buat yang pada takut suka komen TB (Takut Banget) atau TBL (Takut Banget Loh) biar lebih singkat,” ujarnya. Kini, baik Bondol dan Nonik sudah banyak menjalin kerjasama karena frasa ini yang menjadi ciri khas mereka.
Tindakan Shopee Care, Zalora, dan Holywings yang menggunakan singkatan TBL sebagai sarana promosinya sangat disayangkan Bondol. Sebelum mengangkat topik ini di media sosialnya, ia telah terlebih dahulu menghubungi pihak-pihak terkait, namun hingga saat ini belum ada jawaban.
Selanjutnya, pertanyaan yang timbul adalah apakah frasa pendek yang dipopulerkan seseorang dapat memeroleh perlindungan hukum dalam kelompok hak kekayaan intelektual?
Jargon dan hak cipta
Jargon dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai kumpulan kosakata (himpunan kata) yang digunakan dalam lingkungan tertentu. Istilah jargon sering kita dengar saat mengikuti kegiatan sejenis latihan dasar kepemimpinan, di mana jargon digunakan sebagai kumpulan kata pendek yang catchy dan mewakili identitas kelompok tertentu.
Dalam dunia bisnis, kata jargon biasa dikenal dengan istilah tagline yang umumnya diciptakan oleh copywriter untuk mempromosikan identitas sebuah produk. “Apapun makanannya, minumannya Teh Botol Sosro” merupakan salah satu contoh tagline yang paling terkenal. Tagline dibuat dengan tujuan untuk diingat dan menarik minat beli konsumen.
Dewasa ini, para artis, pembuat konten, serta pihak-pihak yang bergerak di dunia hiburan berlomba-lomba membuat tagline agar mudah dikenali publik. Contohnya, kata “sesuatu” yang bila disebutkan dengan nada yang sedemikian rupa akan langsung mengingatkan kita pada sosok Syahrini.
Begitupun dengan frasa “kalo aku sih yes”, frasa yang mungkin tidak sengaja diucapkan musisi Anang Hermansyah yang hingga kini melekat pada dirinya. Sama halnya dengan Bondol dan Nonik Manis yang mempopulerkan frasa “TBL TBL TBL Takut Banget Loh”.
Dalam hukum hak cipta, frasa pendek seperti yang disebutkan di atas tidak termasuk dalam lingkup objek yang dilindungi. Suatu tagline atau frasa pendek baru dapat dilindungi apabila dituangkan ke dalam salah satu jenis objek yang dilindungi UU Hak Cipta. Misalnya, jika tagline tersebut memiliki nada maka bisa dikategorikan sebagai lagu yang menjadi objek perlindungan hak cipta.
Tagline yang memiliki nada ini umumnya kita kenal dengan istilah jingle yang lazimnya digunakan perusahaan sebagai sarana pemasaran. Beberapa contoh jingle adalah milik Susu Bendera “aku suka susunya hingga tetes terakhir…” atau milik Tepung Beras Rose Brand.
Jargon sebagai bagian dari hak atas merek dagang dan jasa
Meski tidak menjadi objek perlindungan UU Hak Cipta, jargon bisa dilindungi melalui UU Merek sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari merek dagang dan jasa suatu perusahaan. Salah satu tagline yang mungkin memperoleh perlindungan hak atas merek (apabila didaftarkan) adalah milik snack Chitato yang berbunyi “life is never flat” atau Silverqueen “ada Silverqueen ada santai”.
Tagline tersebut baru dapat memperoleh perlindungan berdasarkan UU Merek apabila merupakan suatu bagian dari merek tertentu, entah itu barang atau jasa yang memperdagangkan sesuatu yang dapat dinilai dengan uang, memiliki logo, dan telah didaftarkan.
Dengan demikian, jargon atau tagline yang belum memenuhi syarat-syarat di atas belum dapat memeroleh perlindungan di bawah hak kekayaan intelektual. Namun, di samping nilai-nilai hukum yang berlaku, terdapat juga nilai-nilai moral yang harus diperhatikan, seperti yang dikehendaki Bondol dan Nonik Manis.