Fashion sebagai identitas bersama bagi kelompok LGBTQ+
Ditulis oleh Ilman Ramadhanu | Read in English
“Fashion for me is a shield, a liberation of identity, and also a safe place for me to get away with everything”, begitu kata aktivis queer Indonesia Noval Auliady tentang kelekatan hubungan pribadinya dengan fesyen.
Dalam lingkungan masyarakat di mana hukum-hukum yang represif terus berusaha untuk memudarkan visibilitas mereka, kelompok queer di seluruh dunia telah menggunakan fesyen sebagai perisai untuk melindungi keaslian identitas mereka, termasuk juga bagi Noval.
Hubungan yang erat antara identitas queer dan fesyen ini memunculkan suatu sebutan populer yang dikenal sebagai queer aesthetic. Memahami konsep queer aesthetic merupakan suatu hal yang rumit karena definisi queer aesthetic sendiri tidak menekankan pada karakteristik visualnya, tetapi lebih pada esensinya.
Seperti dijelaskan oleh Adam Gecsy dan Vicki Karaminas dalam buku mereka “Queer Style”, queer aesthetic adalah suatu representasi atas perlawanan kelompok queer terhadap ideal atau tradisi cara berpakaian yang sangat bergantung pada norma gender.
Untuk memahami konsep queer aesthetic lebih dalam, kita perlu melihat bagaimana fesyen telah digunakan oleh kelompok queer serta bagaimana kelompok queer telah memengaruhi fesyen sepanjang sejarah.
Queer aesthetic sebagai semiotika visual
Pada 1895 di era Victoria Inggris ketika homoseksualitas masih merupakan pelanggaran pidana, penyair dan penulis naskah Oscar Wilde disidang atas tindak pidana ketidakpatutan. Sidang tersebut terjadi setelah hubungan homoseksualnya dengan Lord Alfred Douglas diketahui oleh publik. Persidangan kasus Oscar Wilde tidak hanya mempermasalahkan homoseksualitas sebagai preferensi seksual, tetapi juga sebagai ekspresi.
Seperti yang dijelaskan oleh Gecsy dan Karaminas, satu detail yang tampaknya sering diabaikan oleh banyak orang tentang kasus ini adalah bahwa Wilde tidak didakwa karena ia tertangkap basah melakukan hubungan homoseksualitas, melainkan dia dituduh berperilaku sebagai seorang homoseksual.
Pihak penuntut memasukkan karya sastra, pandangan politik, serta gaya berpakaian Wilde yang flamboyan ke dalam bahan bukti untuk membuktikan identitas Wilde sebagai homoseksual. Menurut Dominic James, penulis buku “Oscar Wilde Prefigured”, pada saat persidangan, pihak penuntut menyatakan bahwa, "Saya tidak mengatakan Anda adalah seorang homoseksual, tetapi Anda terlihat sebagai homoseksual, dan Anda berpose seperti homoseksual, yang mana adalah sama buruknya."
Wilde terkenal sering menentang norma busana atas nama kebebasan berekspresi. Ini terlihat dari gayanya yang sering dideskripsikan sebagai eksentrik atau aneh. Ia terkenal memiliki rambut panjang yang menonjolkan sisi feminin-nya yang membuatnya dirinya semakin menjadi sosok kontroversial saat itu.
Aksi terbesar Wilde terjadi pada 1892 ketika dia dan sekelompok pria muda lainnya menghadiri pembukaan dramanya, “Lady Windermere's Fan”, dengan mengenakan bunga anyelir hijau cerah yang serasi di kerah mereka. James mencatat bahwa anyelir hijau merupakan simbol homoseksualitas.
Ekspresi laki-laki yang bergaya “kewanitaan” selalu menimbulkan kecurigaan mengenai penyimpangan seksual, namun Wilde mampu menghindari kecurigaan tersebut karena adanya gerakan aestheticism, yaitu sebuah gerakan seni yang muncul pada akhir abad ke-19 yang dibangun di atas gagasan "art for art’s sake".
Para pengikut gerakan ini terkenal sering mengabaikan norma-norma tradisional dalam berpakaian saat itu. Gerakan tersebut mengaburkan hubungan antara ekspresi diri dengan identitas seksual dan gender seseorang sehingga memberi kelonggaran bagi orang-orang seperti Oscar Wilde dan, dapat diasumsikan, pria gay lainnya pada masa itu untuk menjadi diri mereka sendiri. Alhasil, karakteristik queer dalam fesyen yang ada pada saat itu lebih dianggap sebagai ekspresi seorang seniman daripada indikasi seksualitas seseorang.
Namun, persepsi publik berubah setelah persidangan Wilde. Menurut Shaun Cole, penulis buku "Don we Now Our Gay Apparel", publik mulai mengasosiasikan gerakan aestheticism dengan homoseksualitas. Yang terjadi selanjutnya adalah serangkaian kepanikan moral yang dapat terlihat melalui rangkaian penggerebekan polisi dan perburuan homoseksual pada dekade awal abad ke-20. Cole menulis bahwa sepanjang tahun 1930 hingga 1950, banyak homoseksual di Inggris dan Amerika yang hidup dalam ketakutan akan pemerasan dan pemenjaraan.
Cole menjelaskan bahwa pria gay pada saat itu menggunakan fesyen dengan cara yang sama seperti Wilde dan rekan-rekannya menggunakan anyelir hijau, yaitu sebagai penanda visual untuk berkomunikasi dengan pria gay lainnya. Cincin yang dikenakan di jari kelingking, sepatu suede, dan dasi merah adalah beberapa contoh semiotika busana yang populer dikenakan oleh pria gay di Inggris dan Amerika pada saat itu.
Cole lebih lanjut menjelaskan bahwa sepatu suede merupakan suatu indikasi pasti homoseksualitas pada 1930-an. Hal tersebut memaksa banyak pria gay pada waktu itu untuk mencari alasan setiap kali mereka menggunakan sepatu suede. Alasan yang digunakan adalah seperti mereka bekerja sebagai artis, aktor, atau di museum.
Gecsy dan Karaminas memberikan penjelasan lebih lanjut bahwa konotasi homoseksualitas seputar sepatu suede tercipta karena adanya sisi ketidakpraktisan dari bahan suede. Suede adalah salah satu bahan yang sulit dirawat, karena suede tidak seharusnya dipakai saat hujan atau saat bekerja. Jenis barang fesyen yang membatasi mobilitas pria untuk melakukan kerja keras seperti ini bertentangan dengan ide maskulinitas pada zaman itu, dan oleh karena itu merupakan indikasi seseorang sebagai homoseksual.
Sepanjang 1960-an hingga 1970-an, terjadi pergeseran budaya yang membawa kekuatan ke identitas kelompok queer. Protes Stonewall pada 1969 memulai gerakan perjuangan untuk hak-hak queer di Amerika yang kemudian menyebar secara global. Gerakan revolusi ini tercermin pada fesyen yang dikenakan pada masa tersebut.
Sebagaimana dijelaskan oleh Gecsy dan Karaminas, peranan fesyen berubah menjadi suatu pilihan pribadi ketimbang kebutuhan. Kelompok queer memiliki kebebasan lebih dalam mengekspresikan dirinya, yang lalu menghasilkan budaya subkultur yang berdampak dalam pembentukan dunia fesyen sebagaimana yang kita ketahui saat ini.
Peranan fesyen sebagai semiotika visual pun tidak lagi digunakan untuk hanya menandakan identitas seksual seseorang, melainkan juga menandakan peran dan preferensi seseorang dalam hubungan seksual.
Menurut Hal Fischer, penulis “Gay Semiotics”, pada 1970-an banyak pria gay di Amerika Serikat yang mengenakan anting-anting, saputangan, atau gantungan kunci di saku belakang mereka.
Warna dan posisi komponen fesyen tersebut berperan penting dalam menguraikan makna di baliknya. Misalnya, saputangan biru yang diletakkan di saku kanan belakang berarti pemakainya lebih memilih peran yang lebih pasif saat berhubungan.
Semiotika busana ini tidak hanya menjadi sarana komunikasi bagi kelompok gay di dunia Barat, tetapi juga di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Ini terlihat dari koleksi yang dikuratori oleh Queer Indonesia Archive yang memuat suatu laporan investigasi oleh majalah Indonesia, Matra, yang memberikan gambaran tentang kehidupan kelompok gay di Indonesia pada 1999.
Seorang pria gay Indonesia yang tidak disebutkan namanya yang pada saat itu tinggal di Jakarta menjelaskan tentang apa, kapan, di mana, dan bagaimana kelompok gay Jakarta bertemu dan berkomunikasi satu sama lain, termasuk melalui simbol-simbol fesyen. Kutipan dari laporan tersebut menjelaskan bahwa “...banyak laki-laki gay muda yang masih percaya pada kode, mereka sering memakai anting-anting di sisi kanan telinga mereka, cincin yang dikenakan di kelingking mereka sebagai kode untuk hasrat sesama jenis, atau menempelkan saputangan di tangan kantong belakang mereka”.
Penggunaan fesyen sebagai semiotika visual bagi kelompok queer pada masa lalu membuktikan peranan penting yang dimainkan fesyen dalam kehidupan kelompok queer. Dengan munculnya media sosial, penggunaan fesyen sebagai sarana komunikasi seperti ini menjadi usang, dan sisa-sisa dari estetikanya berubah menjadi artefak fesyen yang melambangkan perlawanan kelompok queer terhadap keadaan lingkungan yang diskriminatif.
Subkultur queer dan pengaruhnya di dunia fesyen
Pada 1966, Yves Saint Laurent memperkenalkan desainnya yang paling terkenal yang setelah lebih dari setengah abad kemudian masih relevan di dunia fesyen saat ini. Ia memperkenalkan Le Smoking, jaket tuksedo klasik yang pada pertama kalinya dirancang khusus untuk tubuh perempuan.
Seperti dikutip dari Musee YSL Paris, nama itu berasal dari jaket khusus untuk merokok yang awalnya hanya diperuntukkan bagi laki-laki untuk melindungi pakaian dari bau cerutu. Desain tuksedo ini dapat dibilang sangat mutakhir dan juga radikal, bukan hanya karena ide desain tuksedo untuk perempuan merupakan hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya di ranah couture, tapi juga karena peran dari desain ini yang memperkenalkan gagasan fesyen tanpa gender ke ranah arus utama.
Gambar koleksi Yves Saint Laurent untuk musim gugur/musim dingin 1966 menunjukkan jas tuksedo yang dikenakan dengan kemeja putih dengan renda-renda serta ikat pinggang satin. Dasi kupu-kupu yang secara tradisional dikenakan laki-laki disulap menjadi pita satin yang feminin dan diserasikan dengan ikat pita yang dipakai sebagai aksesoris untuk gaya rambut bouffant yang dikenakan oleh model. Gaya tersebut menjadikan Le Smoking sebuah perpaduan sempurna antara gaya maskulin dan feminin.
Sebelum munculnya Le Smoking, gaya androgini ini lumayan populer di kalangan subkultur lesbian pada awal 1920-an di Paris. Karena sudut pandang masyarakatnya yang liberal dan semaraknya kehidupan malam di sana, kota Paris pada waktu itu menjadi seperti surga bagi kalangan bohemian. Hal ini kemudian menarik banyak seniman, penulis, dan pemikir bebas lainnya, termasuk mereka yang mengidentifikasi diri mereka sebagai queer.
Sebuah klub di Paris yang disebut Le Monocle menjadi pusat subkultur lesbian pada saat itu. Nama dari klub itu diambil dari aksesoris pakaian yang sering dikaitkan dengan kelompok lesbian, yaitu kacamata bulat tunggal yang disebut monocle. Seperti dijelaskan oleh Gecsy dan Karaminas, banyak lesbian berambut pendek yang terlihat bercengkerama di klub Le Monocle sambil mengenakan pakaian yang terinspirasi dari pakaian pria yang meliputi monocle, topi fedora, sebuah rokok di tangan mereka, dan dilengkapi dengan tuksedo yang rapi.
Gaya ini kemudian dipopulerkan ke ranah arus utama oleh aktris Marlene Dietrich. Dietrich yang merupakan seorang biseksual, dan seperti yang dilansir oleh Another Magazine sering terlibat dalam komunitas drag di Berlin pada 1920-an, terkenal dengan gayanya yang provokatif dan gender-bending.
Salah satu penampilannya yang paling terkenal merupakan suatu referensi ke subkultur lesbian pada saat itu. Dalam salah satu adegan dari filmnya, “Morocco”, Dietrich mengenakan tuksedo, topi fedora, lengkap dengan rokok di tangannya, dan mencium bibir seorang wanita, menjadikan adegan tersebut sebagai salah satu adegan ciuman lesbian pertama di dunia film.
Gecsy dan Karaminas secara lebih lanjut menjelaskan bahwa penampilan Dietrich, bersamaan dengan selebriti androgini lainnya pada masa itu, seperti Greta Garbo, membantu gaya tuksedo lesbian ini menjadi dikenal sebagai pernyataan ke publik yang melambangkan fluiditas gender dan penentangan terhadap norma-norma seksualitas.
Subkultur lesbian terus berkembang sampai tahun 1940-an ketika Nazi mulai menduduki Perancis. Penganiayaan terhadap kelompok queer yang dilakukan oleh Nazi pada waktu itu mendorong kelompok lesbian dan kelompok queer lainnya untuk bersembunyi, termasuk Le Monocle yang menutup pintunya pada waktu yang hampir bersamaan. Warisan dari subkultur ini kemudian diabadikan oleh Yves Saint Laurent melalui desain Le Smoking.
Le Smoking merupakan salah satu contoh dari banyaknya desain fesyen terkenal yang terinspirasi dari ekspresi komunitas queer. Hal ini menyoroti peranan fesyen dalam menyediakan medium kepada kelompok queer untuk mengekspresikan identitas seksual atau gender mereka dengan cara yang otentik serta membentuk komunitas-komunitas tersendiri yang dipenuhi dengan estetika-estetika yang unik dan berbeda, termasuk pada masa-masa di mana masih ada pelarangan atas keberadaan mereka.
Oleh karena itu, estetika yang dikenakan oleh kelompok queer, seperti komunitas lesbian pada 1920-an dengan tuksedo dan kacamata monocle mereka, menjadi suatu lambang yang melampaui dunia fesyen namun juga melambangkan ketangguhan komunitas queer.