Takashi Murakami: Kemiskinan adalah roda utama seniman, kalau yang kaya cuman mau pesta
Seniman legendaris Takashi Murakami yang menginisiasi gerakan kesenian “SUPERFLAT”, baru saja singgah ke Ibu Kota Jakarta pada akhir pekan kemarin dan menjadi panelis di IdeaFest 2022 (27/11).
Saat ditemui dalam presentasi dan diskusi bersama media, Murakami melontarkan pandangannya yang terkait gejolak awal karier seniman muda. Di mana perjuangan utamanya ialah melawan kemiskinan. “Seniman muda? (Kesulitannya) adalah kemiskinan,” ujar Murakami kepada TFR (27/11).
Akan tetapi, menurutnya tak dimungkiri bahwa di saat bersamaan, kemiskinan yang bukan semata-mata tentang finansial tapi juga fasilitas merupakan, “mesin utama” bagi seniman muda untuk bermimpi, berkreasi, berpikir kritis. Bahkan kemiskinan jadi dorongan untuk “membuat sebuah perubahan.”
“Jadi, ketika ada orang yang bilang dirinya seniman tapi bicara ‘oh, saya miskin, saya tidak bisa bikin karya’, itu bukan seniman,” ujar Murakami tegas. Katanya lagi, “Soalnya, kalau yang kaya, pasti tidak mau jadi seniman. Orang kaya hanya mau pergi pesta, belanja LV, GUCCI atau apa pun itu.”
Ia lanjut mengatakan dengan semangat, “Oh, ini contoh yang bagus! Belanda? Kementerian Budayanya (kini) terus berupaya mendanai senimannya, tapi, apakah kamu mengetahui seniman Belanda yang terkenal hari ini?,” ujar Murakami yang membuat satu ruangan di JCC pada sore itu, hening.
Murakami pun bilang, “Nah (itu menunjukkan bahwa), dibiayai oleh pemerintah, bukanlah hal yang baik.”
Sedangkan menurut Murakami, keadaan sebaliknya terjadi di negaranya. Keuangan di Jepang yang “sangat buruk” melahirkan luapan kreasi seni, termasuk manga hingga gim Jepang yang telah mendunia.
“Ketika saya debut pada 1990an, dunia seni Jepang sangat buruk,” ujarnya. Hal itu jugalah yang mendorong Murakami untuk menuangkan kegelisahannya dalam karya-karyanya.
Namun, Murakami juga sadar bahwa seniman muda tetap membutuhkan sokongan dana yang didukung oleh edukasi soal dunia kesenian. Dirinya paham betul manfaat pendanaan bagi seniman muda.
Pada 1994, kesempatan untuk mencicipi kesenian di New York, Amerika Serikat (AS), datang dari sebuah lembaga kebudayaan, yang kemudian menjadi gerbang utama karier kontemporer Murakami.
“Karena waktu saya muda, yang membantu adalah yayasan dari AS, dan itu sangat membantu saya,” ujar seniman yang dikenal dengan visual ‘bunga Murakami’ tersebut. Kesadaran itu membuatnya terpikir, “Saya harus melakukan sesuatu, dan bisa berguna bagi anak-anak (seniman) muda.”
Alhasil, lewat perusahaan Kai Kai Kiki yang didirikan Murakami sejak 2001, divisi Artist Management-nya terus mengembangkan program edukasi bagi talenta muda kesenian, demi melahirkan regenerasi.
Murakami juga menginisiasi program inkubasi bernama GEISAI sejak 2002 hingga hari ini. Program itu menjadi wadah pembinaan dan eksplorasi karya, juga pendanaan untuk karier seniman muda.
“Saat ini (perusahaan) telah berkembang pesat,” ujarnya, “Jika ada orang yang mau mendanai dan mendukung seniman muda dan dunia seni,” dapat dilakukan melalui GEISAI.
Bagi Murakami, dukungannya terhadap seniman muda dilakukan lantaran Ia merasakan betul kesulitan kemiskinan yang dilalui kebanyakan seniman muda. “Ketika saya sudah tiada, mungkin seniman muda bisa belajar dari saya,” pungkasnya.