Reog Ponorogo dan warisan budaya yang kerap kali diklaim negara lain

Problematika pengklaiman warisan kebudayaan reog Ponorogo antara Indonesia dan Malaysia terus berlanjut hingga saat ini. Perdebatan ini dimulai pertama kali pada 2007, saat Malaysia mengklaim reog Ponorogo sebagai salah satu warisan budayanya melalui sebuah iklan pariwisata berjudul “Malaysia Truly Asia”.

Usai kasus ini, beberapa waktu lalu Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengungkapkan bahwa Malaysia juga akan mengajukan reog Ponorogo ke United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).

“Untuk reog, Malaysia rencananya mau ajukan juga, maka dari itu kita harus lebih dulu. Karena ini kan sudah menjadi budaya dan warisan kita,” terang Muhadjir seperti dikutip Kompas.

Namun, ungkapan ini ditepis oleh Wakil Duta Besar Malaysia di Indonesia, Adlan Mohd Shaffieq, yang menjelaskan bahwa negaranya tidak ada niatan untuk mengajukan reog Ponorogo ke UNESCO.

Ia menjelaskan, “Saya sudah berdiskusi dengan pusat mengenai ini. Berdasarkan informasi awal, Malaysia tidak berniat mengajukan reog Ponorogo ke UNESCO sebagai milik kami.”

Tidak hanya reog, beberapa warisan budaya Indonesia lain juga pernah diklaim Malaysia, di antaranya batik, lagu “Rasa Sayange”, tari piring, wayang kulit, kesenian pencak silat, serta rendang.

Malaysia bukan satu-satunya negara yang pernah mengklaim warisan kebudayaan Indonesia. Ada Sri Lanka yang mengklaim sasando sebagai warisan budayanya dan Cina yang mengklaim teknik membatik sebagai miliknya.

Ada pula kopi Gayo yang telah dipatenkan oleh perusahaan asal Belanda dan kopi Toraja yang dipatenkan oleh perusahaan asal Jepang. Hal ini membuat masyarakat Indonesia tidak bisa lagi mengekspor kopi dengan merek dagang tersebut.

Mengapa warisan budaya kerap kali diklaim negara lain?

Dosen Prodi Jawa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Dr. F.X. Rahyono, S.S, M.Hum dalam laman suaramahasiswa menjelaskan bahwa alasan pengklaiman budaya adalah kurang pedulinya masyarakat dan pemerintah Indonesia terhadap warisan budaya. 

Menurutnya, masyarakat Indonesia tidak “mewarisi” warisan budaya Indonesia, dalam artian masyarakat Indonesia tidak merawat, melestarikan, dan mengembangkan warisan budaya.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa, “Karena orang kita hanya mengagungkan, kita jadi berpikir ‘oh, jangan sampai warisan yang maha dahsyat ini diubah-ubah, harus tetap apa adanya agar tidak rusak’. Itu justru pemikiran yang salah.”

Langkah apa yang dapat kita lakukan?

Dalam artikel TFR yang berjudul “Warisan budaya diklaim negara lain, apa yang bisa negara lakukan?” dijelaskan bahwa langkah yang dapat dilakukan negara adalah dengan setiap tahun mendaftarkan warisan budaya ke UNESCO dan mendorong masyarakat untuk terus menghidupi warisan budaya yang ada.

Pasalnya, warisan budaya atau ekspresi budaya tradisional (EBT) baru dapat dilindungi jika terdapat kegiatan intelektual yang dilakukan individu/komunitas yang menjadi identitas suatu komunitas secara terus-menerus yang menjadi kebiasaan adat. Jadi, diperlukan usaha bersama dari pemerintah dan masyarakat dalam menjaga kelestarian warisan budaya dalam bentuk nyata.