Kelangkaan minyak goreng di Indonesia terungkap
Sebagai salah satu negara produsen minyak kelapa sawit (CPO) terbesar di dunia, Indonesia tengah mengalami kelangkaan minyak goreng sejak akhir 2021.
Sebelumnya diketahui bahwa kelangkaan tersebut diakibatkan oleh faktor musiman dari penurunan produksi minyak goreng. Meski demikian, penurunan pada tahun ini tidak terlalu signifikan sehingga tidak akan menyebabkan kelangkaan nasional.
Harga minyak goreng pun naik hingga mencapai Rp25.000 per liter. Menurut Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga, harga minyak goreng tetap mengikuti fluktuasi harga CPO dunia. Hal tersebut menjadi penyebab naiknya harga minyak goreng di Indonesia.
Namun nyatanya, kelangkaan minyak goreng di Indonesia terjadi akibat pemberian fasilitas ekspor CPO. Kejaksaan Agung pada Selasa (19 April) menetapkan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan berinisial IWW sebagai tersangka dalam kasus tersebut, dilansir dari CNN Indonesia.
Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan bahwa pihaknya segera memulai penyelidikan setelah mendapat arahan dari Presiden RI Joko Widodo. Penyelidikan kasus tersebut bermula dari kelangkaan minyak goreng sejak awal tahun ini.
Setelah Kejaksaan Agung memulai penyelidikan, didapati adanya dugaan tindak pidana korupsi terkait pemberian izin ekspor minyak goreng ke luar negeri.
Saat itu, Kementerian Perdagangan sudah mengambil aturan Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) pada perusahaan penghasil minyak goreng.
DMO adalah kewajiban seluruh produsen minyak goreng yang akan melakukan ekspor untuk mengalokasikan 30%dari volume produksinya untuk kebutuhan dalam negeri, sedangkan DPO adalah peraturan harga CPO di Indonesia.
Kebijakan tersebut disusul dengan adanya harga eceran tertinggi (HET) pada penjualan minyak goreng dalam negeri.
“Namun pelaksanaannya, perusahaan eksportir tidak memenuhi DPO, namun tetap memberikan persetujuan ekspor. Perbuatan tersebut diindikasikan dapat menimbulkan kerugian keuangan negara atau perekonomian negara," kata Burhanuddin.
Terdapat 19 saksi yang sedang diperiksa dan 596 dokumen yang sedang ditelaah oleh kejaksaan terkait proses ekspor tersebut. Hasilnya, ditemukan dua alat bukti yang dapat menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Selain IWW, jaksa juga menetapkan tiga tersangka lainnya, yaitu Komisaris Wilmar Nabati Indonesia berinisial MPT, Senior Manager Corporate Affairs Permata Hijau Group (PHG) berinisial SMA, dan General Manager Musim Mas berinisial PT.
Keempat tersangka diketahui melakukan komunikasi aktif untuk mendapatkan persetujuan ekspor, meski perusahaan tersebut tidak berhak mendapatkan izin.
"Perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka adalah satu adanya permufakatan antara pemohon dan pemberi izin dalam proses penerbitan persetujuan ekspor," kata Burhanuddin.
Terkait kasus tersebut, Menteri Perdagangan M Lutfi menegaskan bahwa institusinya akan terus mendukung proses hukum yang tengah diselidiki Kejaksaan Agung.
"Saya telah menginstruksikan jajaran Kementerian Perdagangan untuk membantu proses penegakan hukum yang tengah berlangsung karena tindak korupsi dan penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian negara dan berdampak terhadap perekonomian nasional serta merugikan masyarakat," kata Lutfi dalam siaran pers.