Pekerja garmen Myanmar hadapi kekerasan dan pelecehan di bawah kekuasaan militer
Setidaknya lebih dari 60 ribu pekerja garmen di Myanmar alami kekerasan di bawah kekuasaan militer, berdasarkan pengamatan dan laporan Business & Human Rights Resource Centre (BHRC). Perjuangan pekerja garmen Myanmar yang 90% diantaranya adalah perempuan dilaporkan menjadi cerminan persoalan yang menyerang rakyat sipil sejak okupasi kekuasaan oleh militer Myanmar.
Pengamatan BHRC menangkap lebih dari 100 kasus kekerasan dalam 70 pabrik di Myanmar. Di antaranya adalah milik 32 jenama dan ritel global seperti adidas, Guess, H&M, hingga Primark. Catatan BHRC sendiri merupakan hasil pengamatan selama 18 bulan sejak pendudukan militer meningkat di Myanmar.
Pasalnya, para pekerja mengalami kekerasan mulai dari ketidakadilan upah, kekerasan seksual, hingga waktu kerja yang tak masuk akal. Sedangkan, mereka hanya mendapat upah $2 (Rp29 ribu) tiap harinya.
“Dalam keadaan ini, merek pakaian harus mengingat bahwa tidak bertindak bukan suatu pilihan: paling tidak, mereka harus melakukan uji tuntas hak asasi manusia yang tinggi dan berkelanjutan untuk menentukan apakah mereka dapat secara bertanggung jawab mencari dari pemasok Myanmar. Jika tidak, strategi keluar yang bertanggung jawab harus dipertimbangkan untuk mematuhi standar internasional yang telah diadopsi oleh merek,” tulis BHRC dalam pernyataan laporannya.
Melansir Fashion United, sejumlah organisasi telah mendorong perusahaan ritel fesyen untuk menarik tempat produksinya dari Myanmar, demi melindungi keselamatan para pekerja garmen di negara tersebut.
Kekerasan militer yang meningkat sejak awal tahun lalu Myanmar dilaporkan telah menjadi bentuk kediktatoran yang mengancam demokrasi Myanmar. Demi menjaga kekuasaannya, setidaknya 55 aktivis terbunuh serta 301 pemimpin dan anggota gerakan tenaga kerja Myanmar telah ditangkap.