TFR

View Original

Brand fashion ternama bayar pabrik Bangladesh lebih murah dari biaya produksinya

Sejumlah high brand fashion ternama dilaporkan membayar pabrik di Bangladesh lebih murah dari biaya produksi pakaiannya. Hal ini diketahui dari temuan sebuah riset terhadap 1.000 pabrik.

Berdasarkan penelitian tersebut, banyak brand fashion yang membayar harga sama seperti sebelum pandemi dua tahun yang lalu. Padahal, harga bahan-bahan telah mengalami peningkatan.

Dalam survei Sekolah Bisnis Aberdeen University bersama Transform Trade itu pun ditemukan, satu dari lima pabrik bahkan mengaku kesulitan membayar upah minimum para pekerjanya, yakni senilai £2.30 atau Rp44.000.

Melansir BBC (9/1), riset yang diamati dari Maret 2020 sampai Desember 2021 menemukan 90% dari jenama fashion besar yang membayar empat atau lebih pabrik terlibat dalam pembelian yang tak adil.

Mulai dari pembatalan, gagal membayar, keterlambatan pembayaran dan permintaan potongan harga, yang kemudian mengakibatkan pada lembur paksa serta kekerasan pada para pekerja pabrik. Meski begitu, sejumlah ritel membantah pernyataan dalam laporan.

Baca juga: Investigasi ungkap buruh pabrik SHEIN kerja 18 jam sehari dengan bayaran koin

Pekerja tidak dapat bayaran sesuai

Muhammad Azizul Islam, profesor di Aberdeen University yang memimpin proyek tersebut mengatakan bahwa peristiwa ini mengakibatkan para pekerja di Bangladesh tidak mendapatkan bayaran yang sesuai, terlebih dengan adanya inflasi.

“Dua tahun sejak awal pandemi, pekerja pabrik pakaian Bangladesh tidak dibayar dengan cukup untuk bertahan hidup, dengan satu dari lima manufaktur kesulitan membayar upah minimum sementara brand fashion yang menggunakan tenaga kerja Bangladesh meningkatkan keuntungannya,” ujarnya.

Ia juga mengatakan bagaimana brand fashion besar yang membeli dari pabrik-pabrik Bangladesh lebih banyak terlibat dalam praktik tidak adil daripada brand yang lebih kecil.

Industri pakaian sendiri menyumbang sebanyak 85% pendapatan ekspor Bangladesh, dengan lebih dari 12 juta penduduknya yang bergantung pada sektor tersebut.

Dibutuhkan regulasi ritel pakaian

Lebih jauh, riset tersebut menemukan bahwa setelah pandemi, pabrik-pabrik hanya mempekerjakan sebanyak 75% pekerja dari sebelumnya, dengan begitu diperkirakan terdapat mencapai 900.000 orang telah kehilangan pekerjaannya.

Sebagai informasi, Prof Islam telah menghabiskan selama 17 tahun hidupnya untuk mengamati kehidupan para pekerja pabrik pakaian di Bangladesh. Pasalnya, ia tumbuh di Kota Dhaka dan dikelilingi oleh mereka.

Lewat penelitian ini, ia berharap para pembuat kebijakan di Inggris dapat mengambil tindakan dari temuannya. Fiona Gooch dari Transform Trade turut mengatakan hal senada.

“Kami membutuhkan pengawas fashion untuk membuat regulasi ritel pakaian di Inggris, bersama dengan pengawas supermarket yang telah ada,” ungkapnya.