TFR

View Original

Sutradara “In the Name of God: A Holy Betrayal” berniat luncurkan musim kedua usai melihat dampak karyanya

Sutradara “In the Name of God: A Holy Betrayal” mengaku berencana garap musim kedua serial Netflix tersebut, akibat dengar banyak orang keluar dari kultus setelah menonton karya besutannya.

Niatan itu diungkapkan Cho Sung-hyun, sutradara yang juga merupakan seorang produser di stasiun televisi MBC tersebut, dalam wawancaranya bersama Koreaboo (7/3).

Docuseries “In the Name of God: A Holy Betrayal” sendiri memang menuai popularitas sejak dirilis beberapa minggu yang lalu. 

Serial Netflix tersebut menguak kenyataan pahit di balik empat kultus Korea dan dampak yang diberikan pemimpinnya terhadap para korban yang sempat menjadi anggota kultus mereka.

Sebagai informasi, “In the Name of God: A Holy Betrayal” merupakan tayangan khusus dewasa yang menampilkan kekerasan seksual, kekerasan terhadap anak, bunuh diri, dan ketelanjangan.

Baca juga: Docuseries “I Love You, You Hate Me” ungkap sisi gelap “Barney & Friends”

Cho Sung-hyun garap docuseries lantaran mendengar kisah korban kultus sejak kecil

Kepada Koreaboo, Sung-hyun mengaku bahwa ide “In the Name of God: A Holy Betrayal” berasal dari pengalamannya mendengar dampak yang dirasakan para korban kultus.

“Sejak kecil saya mendengar banyak orang di sekitar saya yang menjadi korban dari kultus agama, dan setelah membuat dokumenternya, topik ini seakan menjadi tugas bagi saya,” tutur Sung-hyun.

Setelah bertahun-tahun meneliti isu tersebut, Sung-hyun mengajukan proyeknya kepada Netflix, yang kemudian disambut baik oleh streaming platform tersebut.

Berhasil motivasi para korban untuk meninggalkan kultus, Sung-hyun sebut musim keduanya akan digarap

Berfokus para dampak parah terhadap korban-korbannya, ternyata banyak anggota kultus serupa yang tergerak untuk meninggalkan kultus yang mereka ikuti setelah menonton docuseries Sung-hyun. 

Hal itu disampaikan langsung oleh sang sutradara yang mengujar, “Awalnya saya tidak berencana untuk membuat musim kedua, tapi itu semua berubah, ketika saya melihat banyak orang meninggalkan kultus pasca menonton “In the Name of God: A Holy Betrayal”.”

 “In the Name of God: A Holy Betrayal” hanya tampilkan 10% dari kasus di dunia nyata

Selanjutnya, Sung-hyun turut membeberkan kenyataan memilukan soal kasus yang dialami para korban kultus agama di Korea. 

Menurutnya, kejadian tragis yang disampaikan dalam  “In the Name of God: A Holy Betrayal” hanya merangkum 10% dari realitas.

“Saya sadar bahwa banyak kontroversi soal konten visual (dalam serial), tapi perlu dicatat bahwa semuanya adalah kisah nyata,” ujarnya.

Pasalnya, di awal episode pertama “In the Name of God: A Holy Betrayal” saja, penonton langsung disuguhi pengakuan Maple, seorang korban kultus Christian Gospel Mission yang juga dikenal sebagai Jesus Morning Star (JMS) atau Providence.

Selama sekitar sepuluh menit pertama docuseries tersebut, Maple menceritakan pelecehan seksual yang dilakukan pemimpin JMS, Jeong Myeong Seok dan berbagai rekaman suara dari kejadian itu.

Selain itu, ada pula kisah bunuh diri massal 32 orang anggota Odaeyang Church pada 1987 silam, termasuk pimpinannya Park Soon-ja dan seluruh keluarganya, kecuali sang suami.

“Sungguh memilukan mendengar seluruh kesaksian (korban) karena membuat trauma. Namun, kita harus menyajikan kenyataan, dan hanya mengisahkan apa yang perlu dibagikan sampai ke ‘level’ satu dari sepuluh kenyataan aslinya,” jelas Sung-hyun.

JMS sempat gugat  “In the Name of God: A Holy Betrayal” ke meja hijau

Sebelum ditayangkan, berdasarkan laporan Korean Times, JMS sempat menggugat MBC dan Netflix akibat docuseries “In the Name of God: A Holy Betrayal”.

JMS menilai bahwa “In the Name of God: A Holy Betrayal” telah melanggar ‘prinsip praduga tak bersalah’ serta ‘merusak kebebasan beragama’.

Namun, pengadilan Korea menolak gugatan dan mengatakan MBC serta Netflix menunjukkan pandangan yang valid, berdasarkan materi objektif serta subjektif yang mendukung klaimnya.