Kenalkan seni budaya keraton, Festival Bedhayan 2024 tampilkan 15 grup tari

Festival Bedhayan yang menampilkan berbagai tari tradisional Jawa.

Untuk keempat kalinya, Festival Bedhayan yang menampilkan tari-tari keraton atau bedhaya kembali hadir tahun ini dan diadakan pada 18 Agustus lalu di Gedung Kesenian Jakarta.

Festival berskala nasional yang pertunjukan tarinya terbagi dalam dua sesi ini diadakan oleh Laskar Indonesia Pusaka dan Jaya Suprana School of Performing Arts bersama Swargaloka.

Tak tanggung-tanggung, Festival Bedhayan 2024 bahkan sukses menampilkan karya dari 15 grup tari yang mempertunjukkan berbagai tari tradisional Jawa yang berbeda-beda.

Beberapa grup tari tersebut antara lain adalah Jaya Suprana School of Performing Arts yang menampilkan bedhayan Warastri Anindyajati, The Ary Suta Center Academy yang membawakan bedhaya Wilwatikta, Mitra Tari Hadiprana yang menampilkan bedhaya Bedhah Madiun, dan Sanggar Kamaratih yang menampilkan bedhaya Pangkur.

Pasalnya, pementasan spesial ini hadir dengan tujuan untuk menumbuhkan rasa bangga kepada masyarakat Indonesia bahwa kita memiliki sejarah kerajaan yang sangat membanggakan.

Lima pengamat budaya dan akademisi tari yang terdiri dari GKR Wandansari Koes Moertiyah, KP Sulistyo S. Tirtokusumo, Wahyu Santoso Prabowo, Heni Winahyuningsih, dan Theodora Retno Maruti pun menghadiri festival yang digelar untuk memperkenalkan kejayaan seni budaya keraton ini. 

Betapa tidak, kehadiran festival ini pada kesempatan-kesempatan sebelumnya telah memberikan kontribusi yang luar biasa bagi upaya pelestarian, pengembangan, dan pemanfaatan seni budaya bangsa Indonesia. 

Maka itu, dengan terus diadakan di daerah Jakarta, kegiatan ini diharapkan  menjadi alat pemersatu masyarakat pecinta seni dari berbagai profesi serta berhasil menggugah antusiasme komunitas seni yang ada di daerah, kota, ibu kota, istana (keraton), hingga masyarakat mancanegara.

Peluncuran buku terkait karya bedhayan

Pada pembuka Festival Bedhayan kali ini pun dilakukan peluncuran “Buku Cipta Bedhayan Terhadap Karya Musik Jaya Suprana” yang merupakan inisiatif Aylawati Sarwono.

Dalam buku tersebut, penulis buku Aylawati menuliskan segala sesuatu terkait karya bedhayan berdasarkan inspirasi dari lima karya komposisi piano dari pianis dan komponis Jaya Suprana. 

Berdasarkan rilis pers yang TFR terima, ternyata komposisi tersebut diaransemen ke dalam bentuk orkestra gamelan oleh Prof. Dedek Wahyudi dan Lukas Danasmoro.

Lima komposisi piano Jaya Suprana yang menginspirasi terciptanya bedhayan ini adalah “Tembang Alit”, “Uro-Uro”, “Aduhai Indonesia”, “Trireminiskensa”, dan “Terima Kasih Ayla:.

Sukma atau nyawa dari lima karya bedhayan tersebut pun turut dituliskan dengan detail oleh sang koreografer, maestro Dewi Sulastri dan Lila Noviastantri agar dapat dipelajari dan ditarikan oleh semua masyarakat pecinta bedhayan sehingga dapat memperkaya kancah tari Jawa klasik. 

Baca juga: Penelitian baru mengungkap mainan populer anak zaman prasejarah

Bedhaya, bedhayan, dan perkembangannya

Bedhaya ialah warisan tarian yang dianggap sakral awalnya hanya diperuntukkan di lingkungan keraton. 

Akan tetapi, pada perjalanannya, bedhaya mengalami perkembangan yang membawa beberapa perubahan yang menyesuaikan ruang dan waktu serta tujuan pementasan.

Pergeseran tersebut membawa istilah bedhaya yang mulanya dikhususkan bagi keraton dan dipenuhi syarat-syarat khusus lainnya mendapatkan istilahnya yang baru, yaitu “bedhayan”.

Bedhayan akhirnya bisa dinikmati dan ditarikan oleh umum serta diharapkan mampu menampung kreativitas para pecinta bedhaya di berbagai kalangan dan usia dalam melestarikan tarian yang ada..

Menariknya, dalam pementasan bedhayan, pakem-pakem atau aturan baku berupa syarat-syarat khusus yang berlaku pada bedhaya menjadi lebih fleksibel.