TFR

View Original

Seminar Open Arms menyorot wacana disabilitas dalam seni rupa Indonesia

Yayasan Selasar Sunaryo bekerja sama dengan Kelompok Kepakaran (KK) Estetika dan Ilmu Seni Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB untuk menggelar seminar Lengan Terkembang atau Open Arms, Senin (23/10) lalu.

Menghadirkan berbagai akademisi dan praktisi sebagai narasumbernya, seminar yang dilangsungkan di Galeri Soemardja, ITB ini membahas wacana disabilitas dalam seni rupa di Indonesia. 

Beberapa di antaranya yang hadir untuk membagikan pandangan, tinjauan kritis, dan pengalamannya ialah Slamet Tohari, S. Fil, M.A.; Dr. Budi Irwanto, S.IP., M.A.; Zakka Nurul Giffani Hadi; dan Hana Madness.

Sebagai informasi, seminar ini merupakan rangkaian kegiatan program Open Arms yang aktif mengkampanyekan inklusivitas terhadap penyandang disabilitas.

Sebelumnya, Open Arms sendiri telah menggelar ceramah, diskusi, lokakarya, hingga pameran yang seluruh pelaksanaannya melibatkan para penyandang disabilitas. Tujuannya tak lain untuk meminimalisir kesenjangan antara komunitas difabel dan non-difabel di dunia seni.

Berbagai kegiatan tersebut kemudian menjadi studi kasus mengenai wacana seni dan disabilitas untuk dipahami serta dipraktikan. 

Lebih jauh, juga dijadikan sebagai bahan pengembangan modul pengajaran pada sejumlah mata kuliah di FSRD ITB. 

Baca juga: Open Arms perkuat inklusivitas dunia seni lewat “lengan terkembang: ruas lintas-abilitas”

Seminar Open Arms ungkap masih minimnya inklusivitas di dunia seni

Dalam pengantarnya, Agung mengutarakan bahwa pameran seni serta sejumlah kegiatan seni yang belakangan dianggap sebagai “ruang publik” masih belum cukup tepat untuk disebut dengan istilah tersebut.

Pasalnya, ruang publik memiliki arti ranah di mana publik dapat menyampaikan sesuatu dan menginklusikan semua individu, tak terkecuali penyandang disabilitas.

“Program pendidikan seperti pameran keliling, workshop, artist talk, dan lain-lain masih minim inovasi, dan belum mengutamakan penyandang disabilitas sebagai bagian dari masyarakat yang juga berhak mendapatkan pendidikan melalui seni,” ujarnya.

Selaras dengan itu, narasumber lainnya, Slamet, mengatakan bahwa dibutuhkan transformasi masyarakat yang menunjukkan keragaman dan ditopang oleh norma. Sebab, setiap individu bertanggung jawab dengan individu lainnya.

“Jadi tidak cuma menawarkan inklusi, tetapi juga interaksi di dalam masyarakat inklusi itu. Terutama saling membantu bagaimana saling mendorong untuk memberi ruang, mewadahi, dan mengakomodir di ranah publik. Sehingga tidak sekadar inklusif, tapi juga transformatif,” jelas Slamet.

Oleh sebab itu, Open Arms pun telah mencoba berjejaring dengan pemerintah, namun belum bisa memaparkan hasil konkrit lantaran masih dalam tahap perumusan.

Kendati demikian, Open Arms sendiri telah melaksanakan sebuah pameran di Selasar Sunaryo Art Space yang inklusif bagi pengunjung tuli dan netra.

Publik perlu mengerti dan merasakan pengalaman penyandang disabilitas

Dalam proses menuju inklusivitas tersebut, dibutuhkan pemahaman dan pengalaman yang dirasakan oleh para penyandang disabilitas.

“Seni disabilitas mengingatkan betapa rentannya kondisi manusia. Kita semua ini berpotensi sebagai penyandang disabilitas, terutama semakin masuk usia tua dan kondisi Indonesia di beberapa daerah rawan bencana,” tambah Budi.

Hal ini dapat terlihat dari karya narasumber lainnya, Hanna, seorang penyandang disabilitas tidak terlihat  yang berkaitan dengan kondisi jiwa atau spektrum mental.

Dalam karya-karyanya, ia sering kali menggunakan simbolisasi bernama “joy tears”, yang berawal dari salah satu karyanya berjudul “Fallen” mengenai air mata, menggambarkan penerimaan kondisi oleh keluarganya.

Turut hadir seniman teman tuli bernama Zakka yang membagikan pengalamannya dalam berkarya. Ia menyorot perjuangannya sebagai teman tuli ketika menempuh pendidikan sarjana seni.

Ia mengujar, “Sangat sulit untuk mengerti perkuliahan, tidak mudah dan kadang tidak mengerti apa yang disampaikan. Hal itu karena tidak ada juru bahasa isyarat dan hanya mengandalkan gerak bibir.”

Walaupun seminar ini tidak menghadirkan solusi yang dibutuhkan untuk mengatasi permasalahan demikian, namun kegiatan yang digelar ini sukses menumbuhkan wacana mengenai inklusi disabilitas agar terus berkembang.

Harapannya, acara ini dapat menjadi refleksi yang melahirkan jejaring untuk terus mendorong inklusivitas seni disabilitas.