Open Arms gelar lokakarya seniman disabilitas, perkuat inklusivitas di Indonesia

Yayasan Selasar Sunaryo (YSS) melalui Open Arms kembali mengadakan kegiatan untuk mendorong penguatan inklusivitas di bidang seni rupa Indonesia.

Kali ini adalah lokakaryaLembang Terkembang” yang telah diselenggarakan pada Jumat (25/8) lalu di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung, dan dihadiri oleh para seniman disabilitas.

Menariknya, lokakarya ini juga didampingi oleh Juru Bahasa Isyarat (JBI) dan memberikan pengalaman yang berbeda dari sebelumnya. Pasalnya, seniman, fasilitator, hingga pendamping acara hadir sebagai partisipan.

Baca juga: Seni rupa minim inklusi bagi difabel, Open Arms gelar program gaet aktivis dan ruang seni

Menyorot persoalan manajemen seni inklusif

Rangkaian acara lokakarya “Lembang Terkembang” terbagi menjadi dua sesi yang dengan tema utama yang menyorot mengenai pengelolaan seni inklusif.

Sesi pertama mengangkat tema “Accessible Art: Empowering Differently-abled Artists Through Effective Handling and Management”, yang dibuka dengan pemaparan materi oleh Program Manager Open Arms, Agung Hujatnika.

Agung memaparkan topik seputar pengantar manajemen seni inklusif, mulai dari pemahaman pentingnya keragaman dan inklusivitas dalam dunia seni hingga cara mengidentifikasi dan membongkar hambatan, komunikasi, dan sikap dalam industri seni.

Pada sesi ini, Agung menyampaikan bagaimana manajemen seni rupa ini bertujuan untuk mendukung praktik kesenian.

“Lokakarya ini berpusat pada produksi, dalam pengelolaan seniman, sehingga seniman hanya perlu berfokus dengan pembuatan karya. Seniman tidak hanya berdiri sendiri sebagai seseorang yang mengerjakan pesanan, namun pembuatan karya dapat bertujuan untuk pengadaan proyek, hibah, kompetisi, dan lainnya,” jelas Agung.

Selanjutnya, sesi pertama dilanjutkan pemaparan materi oleh Gabriel Aries Setiadi, yang membagikan pendapatnya terkait ranah manajemen seni.

Perupa lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang akrab dipanggil Jibril itu menekankan bagaimana seniman juga harus memahami proses di luar produksi karya, mulai dari pengarsipan, branding, kontrak kerja sama, hingga pelaksanaan pameran.

Dalam kesempatan yang sama, Jibril turut membagikan demo packaging berjudul “How to Pack Artworks for Shipment” karya kepada seluruh peserta lokakarya.

Sesi kedua lokakarya “Lembang Terkembang” mengangkat tema “Manajemen Seni bagi Seniman Disabilitas” untuk membahas lebih jauh bagaimana manajer untuk seniman disabilitas dapat menyediakan ruang kerja hingga membantu publikasi karya.

Jurnalis Nawa Tunggal mengisi sesi ini untuk berbagai pengalaman sekaligus menampilkan karya sang kakak, Dwi Putro, seorang perupa yang mengidap skizofrenia dan memiliki disabilitas tuli.

Lewat pengalaman Nawa, para peserta dapat belajar dan memahami langsung peran manajer bagi seniman disabilitas. Selain pemaparan materi, rangkaian lokakarya juga dilengkapi dengan sesi tanya jawab, sehingga lebih interaktif bagi semua peserta yang hadir.

Melalui penyelenggaraan acara ini, Open Arms berharap kesadaran tentang inklusivitas di dunia seni dapat meningkat. 

Dengan begitu, para seniman difabel berkesempatan berjejaring secara lebih luas dan memperoleh peluang untuk bergabung dengan proyek yang lebih besar, seperti pameran yang dikuratori oleh museum dan galeri.