Katakan ‘ya’ pada pernikahan pandemi
Read in English
“Orang akan tetap melakukan pernikahan bagaimanapun situasinya,” tutur Wahyu Pahlawati, General Manager Hotel Royal Kuningan Jakarta, kepada The Finery Report. “Walau hanya 30 orang* yang dapat hadir, mereka akan tetap maju kalau sudah memutuskan untuk menikah,” tambahnya.
Tampaknya memang demikian adanya bagi sejumlah besar penduduk Indonesia. Pandemi COVID-19 telah mengubah industri pernikahan dengan sangat signifikan. Saat ini kita tengah menghadapi lawan yang asing bagi kita, sehingga peraturan yang mengatur pernikahan pun terus berubah seiring dengan berjalannya waktu, memaksa konsumen dan penyedia jasa terkait untuk terus beradaptasi dengan perubahan yang konstan.
Meski protokol dan pembatasan sosial telah diterapkan, bukan berarti masyarakat Indonesia menjadi ragu untuk melangsungkan pernikahan. Kendati ada laporan mengenai turunnya angka pernikahan di sebagian daerah di Indonesia, seperti Sumatera Utara dan DKI Jakarta, di daerah-daerah lain seperti Aceh, angka pernikahan tidak berubah jika dibandingan dengan sebelum pandemi. Di beberapa daerah, angka pernikahan justru naik.
Secara umum, peraturan di Indonesia memperbolehkan maksimal sepuluh orang untuk hadir dalam prosesi akad nikah di rumah atau Kantor Urusan Agama, atau maksimal 20% dari kapasitas ruangan - yang tidak boleh lebih dari 30 orang – bila diadakan di lokasi lain. Untuk resepsi pernikahan, peraturan mengharuskan jumlah hadirin tidak melebihi 50% dari kapasitas ruangan agar penerapan jarak aman dapat terlaksana dengan baik.
Peraturan yang dijabarkan di atas terbilang lebih longgar dibandingkan peraturan pernikahan di negara lain, seperti Singapura. Tamma (30), seorang warga negara Indonesia yang tinggal di Singapura, dan istrinya Felicia memutuskan untuk melangsungkan pernikahan di Singapura pada bulan Agustus 2020, yang dihadiri orang tua masing-masing mempelai secara virtual dari luar negeri.
Acara tersebut hanya memperbolehkan 20 orang untuk berkumpul, termasuk kedua mempelai. Namun, sejak saat itu Singapura telah memperbarui peraturan pernikahan di masa pandemi, di mana kini pesta pernikahan dapat dihadiri sampai 50 orang dengan ketentuan khusus. “Untuk acara yang dihadiri sampai 50 orang, penyelenggara harus memastikan bahwa para tamu tidak akan bersosialisasi bebas satu sama lain. Biasanya, pernikahan seperti ini akan menggunakan meja banquet, sehingga hanya orang-orang yang duduk semeja yang dapat bersosialisasi satu sama lain,” tutur Tamma.
Bagi pasangan yang memutuskan untuk tetap melangsungkan pernikahan di tengah pandemi, ada beberapa pro dan kontra yang harus dipertimbangkan. Pertama, situasi saat ini sangat cocok untuk pasangan yang mendambakan pernikahan yang intim dan berskala kecil. Kemudian, pernikahan pandemi relatif lebih terjangkau dibandingkan pernikahan normal di Indonesia. Selain itu, pernikahan pandemi yang dilengkapi siaran langsung virtual justru dapat menjangkau lebih banyak orang. Kerabat atau teman yang mungkin tidak dapat hadir secara fisik dapat menyaksikan langsung acaranya dari jauh, sementara penyelenggara dapat mengundang tamu dengan tenang tanpa mengkhawatirkan pembengkakan biaya.
Di sisi lain, pernikahan pandemi menuntut banyak kompromi bagi pasangan yang mendambakan pernikahan a la fairytale maupun pernikahan destinasi. Pernikahan tanpa kehadiran fisik seluruh kerabat dan teman juga merupakan poin sensitif yang harus dipertimbangkan. Tentunya, ada pula rasa tanggung jawab untuk melindungi para tamu dan panitia dari bahaya pandemi ini dengan semaksimal mungkin.
Perubahan regulasi, sikap, dan perkembangan dari pandemi itu sendiri telah berdampak besar pada para penyedia jasa pernikahan dan layanan penunjangnya. Hanya karena masyarakat tetap melangsungkan pernikahan, bukan berarti permintaan pasar terhadap jasa pesta pernikahan dan layanan penunjangnya tetap sama. Sebagian besar pesta pernikahan kini dilangsungkan dengan skala yang lebih kecil, dan hal-hal yang dianggap tidak terlalu perlu kerap dieliminasi. Tergantung pada calon mempelainya, hal-hal yang dianggap kurang perlu dapat berupa penghibur acara, dekorasi, dan lain-lain.
Hotel Royal Kuningan, yang memiliki ballroom yang dapat menampung hingga 1.800 orang, hanya melayani pesta pernikahan yang dihadiri 30–100 orang dalam enam bulan terakhir. “Kami hanya mengikuti pemerintah, kalau dikatakan boleh melayani pesta hingga 50% kapasitas, maka itu yang kami lakukan. Kami tidak ada pesta pernikahan sama sekali dari bulan April sampai Juli, dan sebagian besar pasangan yang telah melakukan reservasi sudah memindahkan pesta mereka ke bulan September–Desember,” Wahyu menjelaskan.
Sementara itu, penata rias Priscilla Myrna mengaku bahwa dampak pandemi terhadap kegiatannya sangat besar. Biasanya, pada musim pernikahan di bulan September–Desember, ia menerima sekitar 15–20 klien pernikahan. Tahun ini, ia hanya menerima 5–7 klien pernikahan per bulannya.
Di samping itu, dirinya harus beradaptasi dalam pekerjaannya sehari-hari. “Klien mulai meminta untuk tes rapid atau serologi – bahkan pernah swab test – satu hari sebelum acara. Ada klien saya yang meminta saya dites di hari H. Nggak kebayang misalnya hasilnya positif, siapa yang akan merias, ya?” cerita Priscilla. Sedari dulu Priscilla sudah terbiasa membawa cairan sanitiser dan mensterilisasi peralatan riasnya, namun saat ini ia juga menggunakan alat rias sekali pakai untuk alat-alat yang bersentuhan langsung dengan mata dan bibir, seperti kuas pemulas bibir.
Govinda Rumi, seorang fotografer yang berdomisili di Bali, menjelaskan bahwa normalnya ada dua tipe fotografi pernikahan di Bali, yaitu yang ditujukan untuk klien internasional atau interlokal (destination wedding) dan klien lokal. “Saya pribadi sama sekali tidak ada proyek destination wedding dalam enam bulan terakhir. Sebelumnya, saya dan teman-teman bisa menerima 4–8 destination wedding per bulan,” tambahnya. Untungnya, Govinda dan rekan-rekan fotografernya masih menerima pekerjaan untuk klien lokal, walau tidak sebanyak sebelumnya.
Yang menarik dari pernikahan pandemi, terkadang muncul permintaan dan kesempatan baru yang tak terduga. Jasa live stream untuk pernikahan, misalnya, telah meroket popularitasnya akhir-akhir ini. Untuk para penyedia jasa yang lain, penyesuaian dibutuhkan demi dapat bertahan.
Jasa katering kini mungkin tak lagi menyediakan paket prasmanan untuk ratusan orang, namun mereka bisa menyediakan paket rantangan atau boks cantik yang dapat dikirimkan kepada kerabat dan teman yang tidak dapat hadir di pesta pernikahan. Menyediakan opsi bento atau porsi perorangan di acara pernikahan juga menjadi populer karena meminimalisasi penggunaan peralatan makan yang sama. Beberapa bisnis, seperti Hotel Metland di Cirebon, malah mulai mengembangkan produk baru; hotel ini menawarkan paket pernikahan drive-thru yang dilengkapi fasilitas untuk memberikan sumbangan atau hadiah pernikahan dengan cara non-tunai.
Sebagian besar dari penyedia jasa pernikahan yang kami wawancarai menyatakan bahwa mereka tidak memberikan pengembalian uang muka yang telah dibayarkan, namun menawarkan penyesuaian untuk jasa yang diberikan. Contohnya, Govinda menawarkan untuk mengubah dana yang sudah dibayar menjadi voucher yang dapat dijadikan hadiah untuk orang lain. Sementara, Priscilla memperbolehkan kliennya untuk mengubah tanggal acara tanpa penalti dalam tenggat waktu enam bulan.
Carol (29), seorang klien Priscilla, menikmati kemudahan dari penyesuaian yang diberikan. Sebelumnya, Carol sudah menggeser pernikahannya ke tanggal 18 September 2020. Sayangnya, karena Jakarta kembali memberlakukan PSBB, acara pernikahannya tidak dapat berjalan sesuai jadwal. Karena itu, Carol memutuskan untuk memindahkan tanggal pernikahannya ke tanggal 13 September 2020 pada H-3 acara.
Satu hal yang pasti, pembatasan yang diterapkan karena wabah COVID-19 tidak menghalangi para calon mempelai untuk menggelar acara pernikahan yang tak terlupakan. Hal ini bisa jadi merupakan awal mula dari perubahan budaya besar-besaran terkait pesta pernikahan di Indonesia.
Priscilla percaya bahwa pesta pernikahan tidak akan sama lagi, walaupun kelak pandemi sudah berakhir: “Kita sudah ada dalam situasi ini selama enam bulan, dan sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita untuk lebih berhati-hati; saya rasa kita tidak akan seleluasa sebelumnya.” Priscilla melihat bahwa tren pesta pernikahan akan mengarah ke acara yang lebih kecil dan intim, dan akan semakin sedikit masyarakat yang memilih untuk menyelenggarakan acara tertutup di sebuah ballroom dengan ribuan tamu undangan.
Govinda pun berpendapat demikian, “Saya tahu di Jakarta mulai ada tren ‘Intimate Wedding Package.’ Sebetulnya di Bali kita sudah bertahun-tahun melakukan itu, saya sudah biasa menangani acara pernikahan yang dihadiri 20 atau 30 orang. Sekarang pernikahan seperti ini mulai populer juga di Jakarta karena pandemi.”
Pada akhirnya, cinta tidak hilang karena pandemi dan tidak akan hilang sampai kapanpun. Bahkan di saat dunia sedang menghadapi salah satu tantangan terbesar abad ini, manusia akan terus mencari cara untuk meresmikan cinta. Bagi para pelaku industri pernikahan, fleksibilitas dan kemampuan untuk menemukan kesempatan baru adalah kunci untuk terus bertahan.
*sebelum PSBB