Anatomi teori konspirasi
Read in English
Hari ketika artikel ini ditulis - 4 Maret 2021 - adalah hari yang penting bagi pengikut QAnon. Sedikit catatan sejarah, sebelum amandemen ke-20 Konstitusi AS - diadopsi pada tahun 1933 - memindahkan tanggal pelantikan presiden dan Kongres menjadi Januari, para pemimpin Amerika mulai menjabat pada tanggal 4 Maret.
Sekarang, pengikut QAnon - teori konspirasi sayap kanan Amerika yang menyatakan bahwa komplotan rahasia pedofil kanibal penyembah setan menjalankan jaringan internasional perdagangan seks anak dan berkomplot melawan mantan presiden AS Donald Trump - percaya bahwa pada tanggal 4 Maret 2021, mantan presiden AS Donald Trump akan mendapatkan kembali kursi kepresidenan dan memerintah negara itu sekali lagi.
Pada saat artikel ini diterbitkan, kita telah melewati tanggal 4 Maret dan Joe Biden masih menjadi presiden Amerika Serikat. Namun, alangkah naifnya kalau kita berpikir bahwa hanya karena (sekali lagi) teori mereka dipatahkan, para pengikut QAnon akan melepaskan keyakinan mereka dan mulai mempertanyakan keabsahan QAnon. Tidak, karena peristiwa ini sudah sering terjadi sebelumnya. Misalnya, pada tanggal 20 Januari 2021 ketika mereka meramalkan 'The Storm' atau kudeta akan terjadi saat pelantikan Biden. Tidak ada kudeta yang terjadi hari itu. Namun, prediksi yang gagal ini tidak menggoyahkan keyakinan mereka sedikit pun.
Begitulah sifat teori konspirasi, juga dikenal sebagai teori yang menjelaskan suatu peristiwa atau serangkaian keadaan sebagai hasil dari plot rahasia oleh konspirator yang biasanya kuat. Teori konspirasi seperti QAnon banyak dikenal sebagai teori konspirasi 'payung,' karena memiliki elemen teori konspirasi lain, seperti Pizza-gate dan isu anti-vaksin, dan memiliki aspek gamifikasi yang mungkin tidak dimiliki teori lain.
Dengan teori konspirasi, setiap kali ada 'petunjuk,' orang akan bergerak untuk menyelidikinya. Masalahnya, petunjuk ini bisa mendorong pengikutnya jatuh lebih dalam ke dalam liang kelinci; ketika salah satu prediksi tidak menjadi kenyataan, orang-orang dikondisikan untuk berpikir bahwa kegagalan itu bukan karena teori konspirasi tersebut palsu, tetapi karena mereka salah membaca petunjuknya.
Tapi kenapa begitu banyak orang percaya pada teori konspirasi? QAnon mungkin yang paling keras saat ini, tetapi bukan satu-satunya. Pandemi COVID-19 yang kini sedang berlangsung memiliki beberapa ahli teori konspirasi yang mencoba menjelaskan akar penyebabnya; beberapa percaya bahwa virus itu adalah senjata biologis yang dikembangkan di laboratorium di China yang bocor, sementara lainnya percaya bahwa virus itu dapat ditularkan melalui teknologi 5G. Mengapa begitu banyak orang tampaknya telah kehilangan kapasitas untuk berpikir kritis dan secara membabi buta percaya pada gagasan yang tampaknya konyol?
Bagi sebagian orang, kepercayaan tersebut adalah mekanisme bertahan saat menghadapi situasi sulit, atau alat untuk memahami peristiwa yang mengancam diri mereka. Dr Steven Taylor, seorang profesor dan psikolog klinis di University of British Columbia yang baru-baru ini menulis buku 'The Psychology of Pandemics,' berpendapat bahwa teori konspirasi dapat membuat orang merasa bahwa mereka memiliki informasi penting yang langka yang tidak dimiliki orang lain - membuat mereka merasa istimewa dan dengan demikian meningkatkan penghargaan diri mereka.
Penelitian yang ia lakukan juga menunjukkan bahwa teori konspirasi menarik bagi orang-orang yang mencari keakuratan atau makna tentang masalah yang mereka anggap penting tetapi tidak memiliki cukup sumber daya kognitif atau menghadapi masalah lain yang menghalangi mereka untuk menemukan jawaban atas pertanyaan dengan cara yang lebih rasional. Misalnya, mereka cenderung tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk menganalisis sumber dan konten berita secara kritis. Hal ini ditunjukkan, misalnya, oleh kecenderungan untuk percaya pada berita palsu.
Sementara itu, internet dan kemajuan teknologi lainnya telah memungkinkan teori konspirasi berkembang dengn laju yang tidak pernah kita lihat sebelumnya. Sekarang ini, berita menyebar lebih cepat, tapi begitu pula dengan hoaks. Informasi yang kita miliki di ujung jari tidak semuanya diverifikasi atau akurat. Ini tidak berarti bahwa teori konspirasi tidak ada sebelum internet ditemukan.
Namun, dulu dengan media massa, baik televisi, koran, maupun lainnya, selalu ada bentuk pengecekan fakta. Meski mungkin tidak selalu komprehensif, tetapi jauh lebih baik daripada saat ini ketika semua orang dapat dengan mudah memublikasikan pemikiran mereka di ranah daring.
Pada saat yang sama, algoritma mesin pencari mendukung popularitas, bukan akurasi. Mesin telusur menampilkan konten populer lebih tinggi di laman setelah kita menelusuri sebuah istilah, alih-alih menyajikan hanya informasi dari sumber yang telah diperiksa.
Internet juga merupakan tempat yang ideal bagi individu untuk saling terhubung dan berbagi teori satu sama lain, terutama selama pandemi. Keyakinan yang salah mungkin tidak terlalu berbahaya ketika satu orang memegangnya, tetapi ketika orang-orang yang berpikiran sama bertemu secara daring dan menumbuhkan keyakinan tersebut dan akhirnya bergerak bersama, dampaknya bisa signifikan. Serangan Capitol AS pada Januari 2021 muncul di benak.
Sekali lagi, seperti yang sudah kami sebutkan, teori konspirasi sudah ada sebelum internet ditemukan. Teori konspirasi akan tetap ada tanpa internet. Mari kita ambil contoh teori konspirasi 'Paul Is Dead' yang terkenal. Para penganut teori ini percaya bahwa Paul McCartney meninggal pada tahun 1966 di puncak popularitas The Beatles. Mereka percaya bahwa anggota The Beatles yang lain memutuskan untuk menutupi kematiannya, menyewa seseorang dengan penampilan dan suara yang mirip untuk menyamar sebagai Paul, dan menyembunyikan berbagai petunjuk mengenai kematiannya dalam lagu dan sampul album mereka.
Sampul album 'Abbey Road' yang dirilis pada 1969 terkenal diyakini mengandung beberapa 'petunjuk' penting. Beberapa menafsirkan sampul itu sebagai prosesi pemakaman dengan 'Paul McCartney,' tanpa alas kaki dan langkah yang tidak selaras dengan yang lain, melambangkan mayat. Plat nomor Volkswagen Beetle putih di latar belakang berisi karakter LMW 28IF dan diyakini sebagai 'bukti' yang mengonfirmasi bahwa Paul akan berusia 28 JIKA dia masih hidup. 'LMW' konon merujuk pada istri Paul, Linda McCartney Weeps atau Widow.
Saat itu, belum ada internet untuk menyebarkan teori konspirasi ini, namun teori ini masih menyebar secara masif. Namun, The Beatles menuai keuntungan. Teori konspirasi ini terbukti meningkatkan penjualan rekaman mereka; yang dilaporkan menjadi salah satu bulan terbesar dalam sejarah dalam hal penjualan album The Beatles. Mungkin teori konspirasinya seharusnya adalah bahwa The Beatles menanamkan teori konspirasi ini sebagai alat pemasaran.
Sebuah studi oleh Barkun (2016) berpendapat bahwa sebagian besar teori konspirasi ada sebagai bagian dari "pengetahuan yang distigmatisasi," atau klaim pengetahuan yang belum diterima oleh institusi yang kita andalkan untuk validasi kebenaran. Teori konspirasi yang dulunya hanya dipercaya oleh kaum 'pinggiran' sekarang mulai bergabung dengan arus utama. Ini adalah hasil dari banyak faktor, termasuk internet seperti yang kita diskusikan, meningkatnya kecurigaan terhadap otoritas, dan penyebaran tema-tema khusus dalam budaya populer. Teori-teori tersebut tidak lagi memengaruhi sebagian kecil masyarakat, namun kini berpotensi menjadi wacana publik.
Jadi, teori konspirasi sayangnya tidak bisa dihindari. Pandemi telah memperkuat ketergantungan kita pada internet dan teknologi, sehingga membuat kita lebih rentan terhadap informasi yang tidak diverifikasi daripada kondisi setahun yang lalu. Tentu saja, internet dan perangkat lainnya hanya sebaik yang kita - pengguna - buat. Kita dapat memperlambat pertumbuhan teori konspirasi yang berpotensi menimbulkan polarisasi dan bencana dengan tetap bersikap kritis dan berhati-hati dengan jenis informasi yang kita kirimkan ke dunia.