UKM dan perdagangan elektronik; Daud dan Goliat di digital
Read in English
Sepanjang pandemi COVID-19 yang berlangsung hingga kini, pertumbuhan perdagangan elektronik di Indonesia sudah mencapai 91%. Hal ini didukung oleh meningkatnya penetrasi Internet dari 64% ke 73,7% per Desember 2020. Sekarang, semakin banyak orang yang menggunakan Internet, dan semakin banyak orang yang makin nyaman dengan konsep belanja online. Pasar perdagangan online menjadi pemenang dalam hati masyarakat, mengalahkan situs web dan Instagram sebagai platform belanja online favorit bangsa.
Hal ini seharusnya tidak mengejutkan, karena luasnya penawaran situs perdagangan elektronik dan harga yang kompetitif merupakan dorongan yang kuat bagi pembeli. Kita bisa menemukan hampir segalanya di sana; mulai dari merek-merek internasional sampai UMKM lokal yang menawarkan produk pesanan khusus.
Secara teori, situs-situs perdagangan elektronik ini memberikan kesempatan besar bagi bisnis kecil dan baru, karena situs-situs ini memberi mereka wadah untuk menjangkau lebih banyak pelanggan dengan biaya minimal dibandingkan dengan membuka toko fisik. Per Desember 2020, 10,2 juta atau 16% dari total populasi UMKM Indonesia sudah masuk ke ranah digital. Sebuah tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, mengingat penetrasinya hanya 13% pada awal tahun 2020.
Dari sudut pandang penjual, bergabung dalam platform perdagangan elektronik juga memiliki keuntungan lain. Saefutdin, yang sudah menjalankan bisnis kerajinan tangannya @poohh.handmade sejak tahun 2015, akhirnya memutuskan untuk bergabung ke dalam platform perdagangan elektronik pada tahun 2019. Menurutnya, memiliki kehadiran di platform perdagangan elektronik memudahkan bisnisnya untuk mendapatkan kepercayaan pelanggan, karena platform tersebut memiliki protokol keamanan untuk memastikan transaksi yang aman. “Juga lebih praktis, karena saya tidak perlu memeriksa biaya pengiriman dan alamat pembeli secara manual,” tambahnya.
Namun, UMKM lokal hanya bertanggung jawab atas 6%-7% produk yang ditawarkan dalam platform perdagangan elektronik. Produk impor masih mendominasi pasar. Ini berarti masih banyak ruang untuk perbaikan, terutama mengingat bahwa UMKM membentuk 99% dari bisnis lokal di Indonesia dan secara keseluruhan bertanggung jawab atas 60% produk domestik bruto nasional.
Kita butuh UMKM bukan hanya untuk bertahan, tapi juga untuk berkembang, terutama karena 74,1% dari para pedagang UMKM ini mengandalkan bisnis mereka sebagai sumber pemasukan utama (Survei World Bank tahun 2021). Dan dalam masa pandemi, ini berarti masuk ke dalam ranah online dan mampu bersaing.
Pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki situasi, terutama dengan program digitalisasi UMKM. Program tersebut meliputi peningkatan kapasitas, pengembangan bisnis, dan pengembangan akses pasar. Namun, kita belum sampai ke titik yang ingin kita tuju. Pemerintah menargetkan 30 juta UMKM masuk ke ranah digital pada tahun 2023 dan pada akhirnya mampu mengekspor produk mereka melalui platform digital.
Sayangnya, jalan tidak terlihat mulus mengingat lanskap yang kompetitif; ada praktik predatory pricing yang dijalankan oleh para pedagang asing yang perlahan membunuh UMKM lokal. Ini mungkin menjelaskan ucapan Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengenai “membenci produk asing.”
Apa yang sedang terjadi adalah pedagang asing mulai meniru produk UMKM dan menjualnya dengan harga yang lebih rendah. Inilah yang terjadi pada produk Muslim lokal pada tahun 2016-2018.
Pada saat itu, industri fesyen Muslim rumahan di dalam negeri sedang berkembang secara eksponensial. Kemudian, produsen asing - dari China khususnya - mulai menyadari potensi segmen ini. Mereka mulai mempelajari fesyen Muslim dan permintaannya di Indonesia, dan pada akhirnya melahirkan barang tiruan atau mirip dan menjualnya dengan harga yang lebih rendah. Setelah itu, produsen lokal kesulitan untuk bersaing.
Isu ini tidak hanya terbatas pada segmen fesyen Muslim saja. Kaitlyn Denise, yang mendirikan Flashie.id, produsen bulu mata buatan tangan yang bebas dari kekejaman terhadap hewan, mengaku bahwa dia merasakan efek perang harga. Dia menyoroti fakta bahwa pesaing langsungnya menggunakan foto palsu untuk menjual produk serupa - namun dengan kualitas lebih rendah - dengan harga yang lebih murah. “Pelanggan tidak benar-benar melihat brand dan kualitas ketika membicarakan hal-hal seperti itu, mereka melihat harga,” tuturnya.
“Perang harga,” jawab Amelia Bunjamin singkat ketika ditanya mengenai tantangan bergabung dalam platform perdagangan elektronik sebagai bisnis berskala kecil. Dia baru-baru ini memulai NUUK Studios, sebuah label pakaian yang ramah lingkungan, dan langsung bergabung dalam platform perdagangan elektronik.
Meski begitu, dia menyadari keuntungan bergabung dalam pasar online. Berada dalam platform perdagangan elektronik membuat produk menjadi lebih mudah ditemukan oleh pelanggan, baik lokal maupun regional. Platform tempatnya bergabung – Shopee – juga memiliki jaringan di negara-negara Asia Tenggara lainnya, yang membuat produknya tersedia di berbagai negara, seperti Singapura, Malaysia, dan Filipina, yang merupakan sebuah keuntungan besar.
Harus dimengerti bahwa strategi predatory pricing ini adalah strategi yang terstruktur dan membutuhkan kolaborasi antara platform perdagangan elektronik, investor, dan pemerintah negara asal produk impor itu.
Pemerintah China, contohnya, memiliki beberapa strategi untuk memastikan bahwa harga mereka tetap rendah, di antaranya subsidi bagi industri rumahan, mendukung pajak bisnis ekspor, dan bantuan logistik. Dari sisi investor, perusahaan besar memberikan bantuan dana bagi platform perdagangan elektronik dan memberikan diskon pengiriman gratis dan berbagai promosi. Berbagai strategi ini mendorong pertumbuhan produk impor dalam pasar lokal. Produk buatan China, khususnya, menyumbang 30,9% terhadap total impor non-minyak dan gas selama tahun 2020.
Jelas, intervensi dibutuhkan – secepatnya kalau bisa, mengingat akan semakin banyak UMKM yang menjadi korban jika praktik tersebut berlanjut terlalu lama. Jika tidak ada hal signifikan yang dilakukan, usaha pemerintah untuk mendigitalisasi UMKM sebagai strategi pertumbuhan bisa jadi malah membunuh bisnis-bisnis ini.
Satu cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan memperketat regulasi impor. Regulasi tersebut juga harus mengatur kuota produk asing yang bisa dibeli di platform perdagangan elektronik. Contohnya, pemerintah bisa membuat kebijakan yang membatasi proporsi produk impor maksimum 30% dalam platform perdagangan elektronik yang beroperasi di Indonesia.
Sedangkan sebagai konsumen, langkah pertama untuk menciptakan perubahan yang berarti adalah untuk mengakui bahwa ada praktik tidak adil di dalam pasar dan bahwa kita memiliki kemampuan untuk mengubahnya, disusul dengan pendekatan belanja online yang lebih bijaksana.