Pemeran cilik, apakah mereka dilindungi?
Read in English
Gemerlap dunia perfilman tak ubahnya pedang bermata dua yang tidak jarang memberi pengalaman kurang menyenangkan bagi pemeran cilik. Berulang kali kita mendapat berita mengenai pemeran anak mengalami stress akibat tuntutan pekerjaan yang harus ia tanggung di usia belia, salah satunya Arumi Bachsin.
Pada tahun 2010, Arumi dikabarkan sempat kabur dari rumah, diduga akibat tertekan karena kemerdekaannya sebagai remaja dirampas. Arumi juga sempat mengaku ke mantan ketua KPAI Hadi Supeno bahwa ia merasa selalu dipaksa, capek, dan tertekan.
Kasus eksploitasi ekonomi yang melibatkan pemeran cilik kerap terjadi, seperti yang dialami oleh Misca Fortuna, pemeran karakter Mancung dalam sinetron Emak Ijah Pengen ke Mekah. Ketika ia masih tampil di sinetron tersebut, almarhum ayahnya Muhammad Delsy diduga menggelapkan uang hasil kerja keras Misca sebesar Rp100.000.000. Alhasil, ibu Misca melaporkan Delsy ke kepolisian atas tuduhan pencurian uang.
Sayangnya, pembicaraan mengenai eksploitasi ekonomi, khususnya terhadap pemeran cilik, masih kurang mendapat perhatian. Meski dapat digolongkan sebagai sarana penyaluran minat dan bakat anak, di sisi lain akting bisa disebut sebagai tindak eksploitasi secara ekonomi apabila melanggar hak-hak asasi anak.
Pada dasarnya, hakikat seorang anak adalah untuk bermain, beristirahat, dan berkreasi sesuai dengan minat dan bakatnya untuk pengembangan diri. Untuk menjalani profesi sebagai aktor, tentunya ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Untuk dapat melakukan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatnya, setiap anak yang akan bekerja harus memenuhi syarat-syarat yang ada di dalam Pasal 2 ayat (2) Kepmenaker 115/2004, yaitu:
Pekerjaan tersebut haruslah sudah biasa dikerjakan oleh anak sejak usia dini;
Diminati oleh anak;
Sesuai dengan kemampuan anak; dan
Pekerjaan tersebut dapat menumbuhkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak.
Tidak hanya itu, pelibatan anak dalam pekerjaan juga harus memerhatikan kepentingan terbaik bagi anak. Bentuk perhatian tersebut dapat diwujudkan dengan mendengar pendapat anak serta tidak menghambat pertumbuhan fisik, mental, intelektual, dan sosial anak. Selain itu, anak wajib untuk tetap memperoleh pendidikan dan bebas dari paksaan (Pasal 3 ayat (2) Kepmenaker 115/2004).
Untuk membahas lebih jauh terkait praktik pekerjaan pemeran cilik di lapangan, The Finery Report mewawancarai Mawar*, seorang manajer artis yang meminta namanya disamarkan. Aktris paling belia yang pernah ditangani oleh Mawar berusia 15 tahun.
*bukan nama asli
Ketika ditanya pengalamannya dalam menangani pemeran cilik, ia menerangkan bahwa persoalan yang sering timbul dengan adalah menyimbangkan pekerjaan, kehidupan pribadi, dan sekolah. Hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan. Ditambah lagi, pergaulan kerap menjadi isu yang berpengaruh dalam perkembangan pemeran cilik.
“Untuk kehidupan sehari-hari, meskipun ada orang tua yang mengawasi, anak tetap harus diberi pengertian dan pembatasan dalam pergaulan sehari-hari,” ucap Mawar.
Terkait kasus eksploitasi ekonomi terhadap pemeran cilik di dunia hiburan, ia menjawab, “Jika dinyatakan sebagai bentuk eksploitasi oleh lembaga perlindungan anak atau hukum negara sebenarnya belum, tetapi kalau menjurus ke mengalami atau tidaknya sangat sering sebenarnya.”
Definisi eksploitasi ekonomi dijelaskan dalam UU Perlindungan Anak. Penjelasan Pasal 66 UU 35/2014 menyebutkan eksploitasi ekonomi sebagai tindakan yang dilakukan dengan atau tanpa persetujuan anak yang memanfaatkan tenaga atau kemampuan anak oleh pihak lain untuk mendapat keuntungan material.
Salah satu contohnya adalah jam kerja yang melebihi orang dewasa pada umumnya. Menurut Mawar, “Hal ini sebenarnya sangat rancu karena sepengalaman saya dalam bekerja, hal ini belum jelas hukumnya. Belum ada badan hukum yang memberikan batasan waktu maksimal seorang anak dapat bekerja dalam seminggu. Biasanya hanya didasarkan pada kesepakatan antara management talent dengan PH itu sendiri.”
Mengenai pengelolaan pendapatan anak, Mawar menerangkan bahwa biasanya orang tua sebagai pihak yang mengelola pendapatan anak akan memberikan jatah per bulan kepada sang anak. Menurut pengalamannya, anak pun biasanya tidak keberatan apabila uang hasil kerjanya digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan rumah tangga keluarganya.
Dari sudut pandang hukum, jam kerja diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Pasal 69 ayat (2) menjelaskan bahwa seorang anak maksimal bekerja selama 3 jam dan hanya boleh dilakukan pada siang hari tanpa mengganggu jam sekolah anak tersebut.
Hanya saja, hal ini mungkin sulit untuk dipahami karena aturan terkait perlindungan anak tersebar dalam berbagai peraturan dan undang-undang, sementara aturan yang secara khusus mengelola pendapatan anak masih belum ada.
Lebih jauh, UU Ketenagakerjaan menjelaskan syarat-syarat bagi pengusaha yang akan mempekerjakan anak, yaitu: (rangkuman BAB X Paragraf 2 tentang anak)
Berusia 13-15 tahun;
Tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan mental, fisik, dan sosial anak;
Memperoleh izin tertulis dari orang tua atau wali;
Memiliki perjanjian kerja yang dilakukan antara pengusaha dengan orang tua atau wali anak;
Memiliki hubungan kerja yang jelas;
Memerhatikan keselamatan dan kesehatan kerja anak;
Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Anak berusia di bawah 15 tahun hanya boleh bekerja maksimal 3 jam dalam sehari dan 12 jam dalam seminggu. Mereka wajib dipekerjakan di luar jam sekolah dan didampingi oleh orang tua atau wali. Pengusaha juga wajib menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu.
Lebih rinci, Kepmenaker No.235/2003 menyebutkan bahwa anak tidak boleh dilibatkan dalam jenis pekerjaan yang membahayakan moral anak, seperti pekerjaan di bar, diskotek, karaoke, biliar, panti pijat, atau lokasi tempat prostitusi. Anak juga tidak boleh menjadi model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksual, atau rokok.
Kenyataannya, pemeran cilik tidak hanya terlibat dalam dunia perfilman saja, tetapi juga dalam sinetron yang memiliki banyak episode dan sinetron kejar tayang. Dalam aturannya, anak tidak boleh bekerja antara jam 18:00 dan 06:00 dan tidak diperkenankan untuk lembur. Namun, hal ini masih mungkin terjadi di lapangan. Maka dari itu, diperlukan aturan khusus yang dapat menyeimbangkan kepentingan dan memberikan kepastian hukum bagi pemeran cilik dan rumah produksi.
Pemeran cilik ternyata tidak hanya rentan terhadap eksploitasi ekonomi, tetapi juga eksploitasi seksual. Mawar juga membagikan pengalaman seorang talent anak yang mungkin saja hampir mengalami pelecehan seksual karena diajak bekerja di luar kota tanpa pengawasan orang tua.
Apabila kita perhatikan, karakter dalam serial film asing seperti Gossip Girl, Elite, atau Wild Girl biasanya diperankan oleh aktor yang lebih dewasa. Todd Thaler, seorang casting director, menjelaskan hal ini disebabkan oleh batasan jam kerja anak yang ditetapkan undang-undang. Batasan jam kerja yang diberikan ke anak sangat ketat dan pada akhirnya membatasi waktu yang dimiliki produser.
Faktor lain seperti karakter dan etos kerja anak juga turut memengaruhi pemilihan peran, sehingga lebih banyak casting director yang memilih untuk bekerja dengan aktor berusia minimal 18 tahun karena mereka dapat bekerja lebih lama.
Aturan-aturan yang sudah ada sebenarnya sudah cukup memberikan perlindungan yang memadai, hanya saja diperlukan penegakan hukum yang berkeadilan serta edukasi kepada masyarakat.
Tak kalah penting adalah aturan untuk menangani kasus yang dialami oleh Misca Mancung. Sebagai perbandingan, negara bagian California di AS memiliki California Child Actor’s Bill atau Coogan Law yang mewajibkan pemberi kerja untuk memotong 15% pendapatan kotor anak dan menyalurkannya ke dalam blocked trust account dalam jangka waktu 15 hari kerja. Aturan ini dibuat menyusul kejadian yang dialami aktor Jackie Coogan, yang hampir sama dengan kasus Misca Mancung, di mana uang yang ia hasilkan sebagai pemeran cilik digelapkan oleh orangtuanya yang mengelola pendapatannya.