Sekuel budaya hustle: Kultus performative workaholism

Read in English

Ketika kami menulis tentang budaya hustle pada awal tahun ini, kami tidak menyangka artikel itu akan menjadi begitu populer. Nyatanya, tidak hanya artikel itu sendiri yang populer, tapi juga unggah-unggahan di media sosial kami yang mendiskusikan topik tersebut. Kami tidak tahu bahwa topik – atau isu? – ini lebih menyebar luas dan relatable dari yang kami duga sebelumnya. 

Oleh karena itu, kami melihat hal tersebut sebagai undangan terbuka untuk membawakan artikel terkait tentang saudara bajingan budaya hustle: performative workaholism. Perilaku performatif adalah sebuah tindakan yang dilakukan dengan sengaja untuk memengaruhi audiens, untuk mendapatkan tanggapan atau reaksi. Sementara, workaholism adalah paksaan atau kebutuhan yang tidak terkendali untuk bekerja terus menerus (Oates, 1971).

Meski banyak opini berbeda, kebanyakan setuju bahwa workaholism melibatkan komponen berikut: merasa harus bekerja karena tekanan internal, terus menerus memikirkan pekerjaan ketika sedang tidak bekerja, dan bekerja melebihi apa yang secara wajar diharapkan dari seorang pekerja terlepas dari potensi konsekuensi negatifnya.

Karenanya, kita bisa mengartikan performative workaholism sebagai dorongan untuk bekerja secara berlebihan yang bertujuan untuk mendapatkan reaksi. Dalam hal ini, kita semua mengikrarkan diri pada pemujaan terhadap kesibukan dan memberi isyarat jelas pada orang lain mengenai betapa produktif dan sibuknya kita karena masyarakat secara bertahap sudah memutuskan bahwa jika kita tidak terus-menerus bekerja, maka kita malas.

Di dunia di mana kerja keras telah menjadi aspirasi, kita pasti merasa terdorong untuk menunjukkan, pada setiap kesempatan yang ada, betapa keras kita bekerja. 

Kami memulai survei terhadap pembaca - sebagian besar berada dalam kelompok usia 23–32 tahun alias profesional muda - mengenai fenomena performative workaholism. 80,2% responden sadar mengenai konsep tersebut. Sebanyak 96,5% responden melaporkan bahwa mereka pernah menemukan konten yang mempromosikan "kerja keras", "hustle", atau "grind" di berbagai platform, digital atau lainnya, dan tanggapan mereka terhadap konten ini beragam.

Seorang responden menulis, “Awalnya saya tidak terlalu memedulikannya, tetapi karena polarisasi, saya mulai merasakan FOMO dan saya termasuk minoritas jika saya tidak bekerja keras. Meskipun itu tidak benar. Kebetulan saya memasuki lingkaran di mana mayoritas orang berpikir bahwa hustling itu hidup.”

Responden lain berbagi, “Awalnya terasa memotivasi, dan saya sebagai pembaca merasa tervalidasi bahwa kerja keras diperlukan untuk mencapai apa yang disebut kehidupan ideal. Padahal ketika saya merasa lelah, konten-konten seperti itu terasa seperti tekanan, karena rasanya kita tidak boleh merasa lelah, padahal sebenarnya merasa lelah itu hal yang wajar.”

Selain itu, 65,5% responden mendapati bahwa romantisasi kerja keras membuat mereka ingin terlihat sibuk atau terlihat seperti pekerja keras dalam kehidupan sehari-hari atau media sosial. Dan para responden ini memiliki cara berbeda untuk menunjukkan seberapa "sibuk" mereka. Memposting tempat kerja, dokumen kerja, atau rapat di media sosial tampaknya menjadi cara yang paling populer, termasuk salah satu responden yang menulis "Memposting 172839393 tab terbuka saya di IG Story."

Beberapa responden mengambil rute berbeda, seperti yang berbagi bahwa mereka “Dulu menganut mentalitas bahwa 'Anda tidak hidup jika Anda tidak hustle'. Jadi saya biasa 'bekerja' lembur meskipun tidak ada yang harus dikerjakan.” Ada juga yang ikut dalam kegiatan amal agar terlihat sibuk.

Bekerja telah dijadikan sesuatu yang seakan-akan glamor; seolah-olah para pekerja diharapkan untuk mencintai apa yang mereka lakukan, dan kemudian mempromosikan cinta itu di media sosial, di mana kita kemudian melihat perpaduan antara identitas pribadi mereka dengan tempat kerja mereka.

Ini membingungkan karena kenyataannya tidak selalu demikian. Mungkin sulit bagi "hustlers" untuk memahaminya, tetapi pekerjaan pernah dianggap sebagai kerja keras yang menyakitkan, dan sebaiknya dihindari. Tetapi keadaan berubah pada abad ke-16 – ketika pekerjaan mulai dianggap sebagai sesuatu yang baik secara moral.

Baru-baru ini, berita tentang budaya 996 di China menjadi viral. Ternyata, budaya bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam selama enam hari dalam seminggu sudah menjadi hal yang wajar di negara tersebut. Untungnya, ada protes yang menyoroti kebrutalan budaya tersebut. Sebenarnya tidak sulit untuk melihat mengapa generasi milenial dan Z sering disebut sebagai generasi burnout. Kemajuan teknologi telah memberi mereka lingkungan kerja yang jauh berbeda dengan rekan-rekan mereka yang lebih tua.

Faktanya, burnout sangat umum ditemui sehingga menjadi sebuah kondisi yang dapat didiagnosis menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Gejala dari kondisi ini termasuk perasaan terkuras energi atau lelah, menjauhnya jarak mental dari pekerjaan, atau perasaan negatif atau sinisme terkait dengan pekerjaan, dan berkurangnya kehandalan dalam bekerja.

Jadi, bagaimana kita sampai di sini? Fenomena ini tentu tidak terjadi dalam semalam. Kelelahan kolektif kita telah dicap sebagai "kecemasan milenial", dan tampaknya cap itu  tidak akan hilang. Sebagian, kecemasan ini adalah produk sampingan dari ketidakadilan struktural yang diwarisi oleh kaum milenial. Dengan pinjaman mahasiswa yang tidak pernah berakhir, hipotek setinggi langit, pekerjaan sampingan, dan magang yang tidak dibayar, situasi kita tidak semudah yang terlihat.

Mungkin tidak ada jalan keluar dari dunia hustle dan performative workaholism, tapi kita bisa mengambil sudut pandang berbeda dalam menghadapinya. Misalnya, kita perlu menilai kembali bagaimana kita mendefinisikan "ketahanan" di tempat kerja.

“Kita sering mengambil pendekatan militeristik untuk ketahanan dan ketabahan. Kita membayangkan seorang marinir berjuang di lumpur, seorang petinju yang melakukan satu ronde lagi, atau seorang pemain sepak bola yang bangkit dari lapangan untuk satu permainan lagi. Kita percaya bahwa semakin lama kita bertahan, semakin tangguh kita, dan karena itu kita akan semakin sukses. Namun, seluruh konsepsi ini secara ilmiah tidak akurat,” tulis peneliti Shawn Achor dan Michelle Gielan dalam artikel Harvard Business Review.

Pertama dan terpenting, ketahanan berjalan seiring dengan istirahat dan pemulihan. Oleh karena itu, memuji karyawan yang tetap berada di kantor sampai tengah malam untuk menyelesaikan sebuah proyek sama saja dengan memberi makan kesalahpahaman mengenai ketahanan. Kurangnya pemulihan merugikan perusahaan sebesar $62 miliar per tahun karena hilangnya produktivitas. Ini menunjukkan bahwa istirahat restoratif jauh dari pekerjaan sebenarnya meningkatkan produktivitas.

Kita perlu mulai mengatur ulang pikiran kita untuk melihat bekerja sebagai sarana untuk mencapai tujuan, bukan sebagai cara hidup. Salah satu responden merangkum konsep tersebut dengan baik, “Batas antara mencintai pekerjaan kita dan membutuhkan validasi tipis. Mencintai pekerjaan kita membuat kita ingin berbagi cerita dan buah dari pekerjaan kita. Perbedaannya terletak pada penekanannya: dalam mencintai pekerjaan kita, penekanannya ada pada proses dan hasil. Sedangkan pada performative workaholism, penekanannya adalah pada etos kerja tertentu, sedangkan pada kenyataannya kita tidak bekerja demi etos kerja itu sendiri.”


Artikel terkait


Berita