UU TPKS SAH! Langkah apa lagi yang perlu kita lakukan?
Ditulis oleh Olivia Nabila | Read in English
12 April 2022 menjadi hari disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang (UU TPKS) oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). UU TPKS disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022.
10 tahun berlalu, banyak hal yang telah terjadi – mulai dari simpang siur kabar dimasukkannya RUU TPKS ke dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR RI pada 2016 hingga sempat dikeluarkan dari Prolegnas pada 2020 karena dinilai pembahasannya terlalu sulit.
Sempat pula terjadi penggantian nama Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) menjadi RUU TPKS pada 2021. Saat disahkan, 85 pasal dihapus.
Pengesahan UU TPKS merupakan langkah awal, namun pengawasan terhadap penerapannya akan terus memerlukan perhatian kita bersama.
Gagasan awal RUU TPKS sudah dimulai sejak 2010, yang berkaca dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sepanjang 2000-2010 yang mencatat 15 jenis kekerasan seksual. Jenis kekerasan seksual terus berkembang, dari semula 10 jenis menjadi 11 jenis, lalu 14 jenis.
Gagasan ini kemudian dikembangkan dan disusun menjadi RUU TPKS pada 2014 dengan tujuan memberikan perlindungan dan pemulihan yang tepat bagi korban kekerasan seksual, termasuk merehabilitasi pelaku. Berikut poin-poin menarik dalam UU ini:
Terobosan dalam UU TPKS
UU TPKS membawa terobosan-terobosan sebagai berikut:
Selain pengkualifikasian Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), terdapat juga tindakan pidana lain yang dinyatakan sebagai TPKS sebagaimana diatur dalam ketentuan perundang-undangan lainnya;
Pengaturan hukum yang komprehensif, mulai dari tahap penyelidikan hingga penuntutan dan pemeriksaan dalam sidang yang menjunjung tinggi prinsip tanpa intimidasi. Lebih lanjut, penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam memeriksa saksi/korban/tersangka/terdakwa tidak diperkenankan melakukan viktimisasi atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual dengan pertanyaan yang bersifat menjerat atau menimbulkan trauma bagi korban atau yang tidak berhubungan dengan TPKS;
Hak Korban; hak korban merupakan terobosan yang paling banyak mendapat perhatian dalam UU ini. Hak korban meliputi hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya kekerasan seksual. Selain hak korban atas pemulihan, UU ini juga membawa konsep restitusi sebagai bentuk perhatian terhadap penderitaan korban yang diberikan melalui ganti rugi materi.
Korban dapat didampingi oleh pendamping yang memiliki kompetensi dan telah disebutkan dalam UU. Pendamping juga berhak memperoleh perlindungan hukum.
UU ini secara tegas mengatur bahwa perkara TPKS tidak dapat dilakukan di luar pengadilan, kecuali untuk pelaku anak; dan
Rehabilitasi bagi pelaku berupa rehabilitasi medis dan sosial.
Ruang lingkup TPKS
UU TPKS menjelaskan TPKS sebagai segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam UU ini. UU TPKS juga mulai membedakan kekerasan seksual fisik dan non-fisik. Terdapat 9 jenis TPKS, yakni:
Pelecehan fisik;
Pelecehan non-fisik;
Pemaksaan kontrasepsi;
Pemaksaan sterilisasi;
Pemaksaan perkawinan;
Penyiksaan seksual;
Eksploitasi seksual;
Perbudakan seksual; dan
Kekerasan seksual berbasis elektronik.
Selain klasifikasi TPKS di atas, UU TPKS juga mengakui bentuk-bentuk TPKS lain, yaitu:
Pemerkosaan
Perbuatan cabul
Persetubuhan terhadap anak
Perbuatan cabul terhadap anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap anak
Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban
Pornografi yang melibatkan anak/pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual, dan pemaksaan pelacuran
Perdagangan orang untuk eksploitasi seksual
Kekerasan seksual dalam rumah tangga
Tindak pidana pencucian uang yang dasar tindak pidananya adalah TPKS
TPKS lain yang disebutkan dalam ketentuan perundang-undangan.
Alat bukti dalam TPKS
Adapun alat bukti yang diakui dalam UU ini, antara lain:
Alat bukti menurut hukum acara pidana (keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa);
Alat bukti lain berupa informasi dan dokumen elektronik.
Barang bukti yang digunakan untuk melakukan TPKS, hasil TPKS, atau benda/barang (sesuatu yang berwujud) yang berkaitan dengan TPKS.
Dokumen berupa surat keterangan psikolog/psikiater, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan rekening bank dapat digunakan sebagai alat bukti.
Dilansir dari HukumOnline, informasi elektronik adalah data dalam berbagai bentuk, sedangkan dokumen elektronik adalah wadah atau “pembungkusnya”. Misalnya, musik dalam bentuk mp3. Segala informasi dalam musik tersebut adalah informasi elektronik, sedangkan mp3 adalah dokumen elektroniknya.
Agar sebuah informasi dan dokumen elektronik sah, maka perlu memenuhi syarat formil berupa bukan dokumen yang diwajibkan dalam bentuk tertulis dan diperoleh dengan cara yang sah (Pasal 5 ayat (4) UU ITE). Syarat materil otentik, utuh, dan tersedia. Jadi, e-mail, screenshot chat, dan barang bukti lainnya dapat digunakan.
Restitusi bagi korban
Restitusi bagi korban diberikan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak salinan putusan diterima. Restitusi dapat berupa:
Ganti rugi atas kehilangan kekayaan/penghasilan;
Ganti rugi akibat penderitaan yang dialami;
Penggantian biaya rawat medis/psikolog; dan
Ganti rugi terhadap hal lain yang diderita korban.
Hak korban
Hak atas penanganan
Beberapa poin menarik dari hak ini adalah adanya hak untuk penghapusan konten mengenai kekerasan seksual dalam media sosial, hak pelayanan psikologis, dan hak untuk perawatan medis.
Hak atas perlindungan
Memberikan perlindungan berupa (namun tidak terbatas pada) kerahasiaan identitas, perlindungan dari sikap dan perilaku aparat yang merendahkan korban, dan perlindungan dari ancaman kekerasan pelaku. Hak ini juga memberikan perlindungan sementara bagi korban, 1x24 jam sejak dilakukan pelaporan yang bentuknya dapat bermacam-macam, salah satunya menjauhkan korban dari pelaku.
Hak atas pemulihan
Memberikan perlindungan yang bersifat kompleks mulai dari sebelum dan selama proses persidangan, hingga pasca-peradilan, yang dapat diberikan dalam bentuk material, penguatan psikis, maupun rohani.
Rumusan pasal yang perlu diperkuat dalam UU TPKS
Meskipun UU TPKS menjadi batu loncatan dalam penanganan kekerasan seksual di Indonesia, terdapat beberapa pasal yang masih memerlukan penguatan
Peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Maidina Rahmawati menjelaskan bahwa terdapat beberapa pasal yang masih memerlukan penguatan, antara lain:
Rumusan pasal pemerkosaan melalui RKUHP
Sekalipun rumusan pemerkosaan dicantumkan dalam UU TPKS, pengkualifikasiannya termasuk ke dalam TPKS lain yang memerlukan penguatan melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini harus dilakukan dengan jaminan bahwa rumusan perkosaan dalam RKUHP mengatasi permasalahan rumusan perkosaan dalam KUHP, yakni harus diatur gender netral, unsur paksaan menjangkau relasi kuasa/kekerasan psikis, tidak hanya penetrasi penis-vagina dan tidak hanya dapat terjadi di luar perkawinan.
Pemaksaan aborsi sebagai bentuk kekerasan seksual
Pengaturan pemaksaan aborsi saat ini ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan RKUHP (Pasal 469 ayat (2)). Maka dari itu, dalam RKUHP nanti perlu ditegaskan bahwa pemaksaan aborsi adalah salah satu bentuk kekerasan seksual sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf j UU TPKS.
Sinkronisasi revisi UU ITE
Dengan dicantumkannya kekerasan seksual berbasis elektronik sebagai salah satu bentuk TPKS dalam UU TPKS, maka perlu dilakukan sinkronisasi dalam revisi UU ITE. Ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU ITE yang berorientasi penyebaran konten pribadi sebagai konten pornografi dan tidak memerhatikan persetujuan dari para pihak harus dihapuskan. Penyebaran konten pribadi harus dilakukan dengan persetujuan; jika salah satu pihak tidak setuju maka ia adalah korban.
Jaminan implementasi pemberian layanan kepada semua korban
UU TPKS menyebutkan korban sebagai orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, kerugian ekonomi, dan/atau kerugian sosial akibat TPKS. Maka dari itu, pemberian layanannya harus diperluas karena korban tidak hanya perempuan dan anak saja, tetapi juga laki-laki dan kelompok gender minoritas atau kelompok lainnya tanpa diskriminasi.
Jaminan hak penguatan korban dalam RKUHP
Oleh karena hak korban atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan menjangkau sampai tahap restitusi dan kompensasi hingga dana bantuan korban, maka RKUHP harus mampu mengakomodir pengaturan prosedural akan hal ini.