Masyarakat suku asli Amerika memboikot "Avatar 2" karena apropriasi sejarah penjajahan dan rasisme
Setelah peluncuran sekuel “Avatar” membanjiri bioskop global, masyarakat suku asli Amerika keluarkan kampanye untuk memboikot “Avatar: The Way of Water” karena dianggap tidak akurat dan rasis.
“Bergabung dengan penduduk asli dan suku indijenes lainnya di seluruh dunia dalam memboikot film buruk dan rasis ini,” ujar Yuè Begay, seniman Navajo dan wakil ketua dari Indigenous Pride Los Angeles (Amerika Serikat), lewat surat terbukanya yang diunggah dalam Instagram dan Twitter (19/12).
Film yang telah mengantongi lebih dari US$300 juta (sekitar Rp4,6 triliun) itu dianggap mengapropriasi (meniru) budaya penduduk asli Amerika untuk memuaskan hasrat savior complex laki-laki berkulit putih.
Sebenarnya, kekhawatiran terhadap muatan film James Cameron itu bukan terjadi untuk pertama kalinya. Melainkan, sejak film pertama “Avatar” digarap sejak 2009 dan tayang pada 2010.
Pasalnya, sutradara pemenang piala Oscar itu menjadikan sejarah suku asli Amerika sebagai, “dorongan utama,” dari kisah “Avatar”, setelah berkesempatan mengunjungi Amazon (Brazil). Hal itu disampaikannya dalam sebuah artikel Guardian pada 2010 silam.
“Saya merasa seperti berada di 130 tahun yang lalu dan menyaksikan apa yang mungkin dilakukan Lakota Sioux (masyarakat asli Amerika) ketika direpresi dan dibunuh serta diminta pindah dengan kompensasi tertentu,” ujar Cameron kepada Guardian.
Ungkapan Cameron itu mengarah pada era awal kolonialisasi Amerika oleh Bangsa Eropa dalam sejarah lampaunya. Melansir Los Angeles Times (19/12), ‘Earth’ (bumi) dalam film mengartikan ‘Europe’ (Eropa) dan, suku ‘Na’vi’ merupakan refleksi dari ‘Native Americans’ (penduduk asli Amerika).
Meski menurut laporan Business Insider Cameron telah menyampaikan bahwa kisah “Avatar” hanyalah fiksi dari sejarah aslinya, sutradara “Titanic” (1997) itu telah menghadapi sejumlah gugatan hukum sejak 2012.
Selain inspirasi kisah film, para aktivis indijenes juga menyoroti masalah bahwa pemain utama suku fiksi ‘Na’vi’ dalam “Avatar: The Way of Water” merupakan seorang berkulit putih.
Terlebih lagi, pemilihan kulit perwarna biru yang disebut ‘blueface’ juga dianggap mencontohkan tindakan rasis terhadap masyarakat dengan kulit berwarna, seperti kulit merah, kuning, dan hitam.
Lantas, Yuè Begay menyinggung dalam surat terbukanya untuk Cameron, “Seharusnya wajah dan suara kami yang diangkat ke layar (film).” Ia lanjut mengatakan, “Kami lah yang paham bagaimana penggambaran rasa sakit, penderitaan, dan yang paling penting, pertahanan,” dari gejolak kolonial yang suku Amerika asli rasakan.