5 tanda kamu terjebak budaya hustle culture
Kamu punya kebiasaan susah menutup laptop usai jam kerja? Atau susah tidur di malam hari karena pekerjaan yang belum selesai? Sebenarnya… wajar tidak, sih, kalau merasa seperti ini? Jika terus-terusan seperti itu, sampai membuat kamu tetap kerja lembur setiap hari, maka kemungkinan kamu sedang terjebak dalam hustle culture atau budaya gila kerja.
Apa yang dimaksud dengan hustle culture?
Mengutip dari Kementerian Ketenagakerjaan, hustle culture adalah standar di masyarakat yang menganggap bahwa kamu hanya bisa mencapai sukses kalau benar-benar mendedikasikan hidupmu untuk pekerjaan dan bekerja sekeras-kerasnya hingga menempatkan pekerjaan di atas segalanya.
Jika dilihat sejenak, fenomena hustle culture terlihat seperti sebuah motivasi kepada para pekerja untuk bekerja dengan semaksimal mungkin. Namun, dalam praktiknya, budaya kerja yang seperti ini justru bisa membuat seseorang merasa stres, kelelahan, hingga burnout.
Baca Juga: Mengapa menjadi "lunak" diperlukan di tempat kerja?
Pada tahun 2021, The Finery Report melakukan survei “Budaya Gila Kerja” dengan mengajak responden yang bekerja di 27 industri. Mayoritas responden berasal dari industri teknologi, media, dan retail. Setiap responden sangat paham mengenai budaya gila kerja. Hasil survei tersebut cukup mengagetkan, yaitu:
83,8% responden menganggap bahwa lembur adalah kejadian yang normal;
69,6% mengaku bahwa mereka rutin bekerja di akhir pekan;
60,8% merasa bersalah ketika mereka tidak bekerja lebih lama dari semestinya.
Tak hanya itu saja, ketika ditanya mengenai jumlah jam yang mereka gunakan untuk bekerja per minggunya, seorang responden menjawab bahwa ia menghabiskan rata-rata 100 jam per minggu dan beberapa di antara mereka bekerja antara 75-80 jam setiap minggu. Itu berarti mereka menghabiskan banyak waktu hanya untuk bekerja, mengingat tolok ukur 'pekerjaan penuh waktu' adalah 40 jam per minggu.
Mengapa angkanya bisa sangat mengkhawatirkan, ya? Mungkin saja karena kamu dan pekerja lainnya tidak menyadari ketika terjebak dalam hustle culture. Kira-kira, seperti apa ciri-ciri terjebak hustle culture di dalam kehidupan kerja sehari-hari?
5 tanda terjebak dalam hustle culture
Overworking atau lembur
Ketika jam kerja normal dimulai pukul 9 pagi dan berakhir di pukul 6 sore, namun kamu masih terus bekerja setelah jam kerja berakhir dan secara terus menerus, mungkin kamu sedang terjebak dalam hustle culture.
Istilah overworking atau lembur memang bukanlah istilah baru di dunia kerja. Lembur terkadang diperlukan ketika ada pekerjaan mendesak yang harus diselesaikan dengan cepat. Namun, jika lembur terus menerus dilakukan, tentu bisa mengganggu produktivitas dan waktu istirahat kamu sebagai karyawan.
Hustle culture mendorong kamu untuk menghabiskan banyak waktu dengan fokus pada pekerjaan demi mencapai tujuan karirmu. Hal ini seringkali memicu perasaan khawatir, bersalah, atau takut tertinggal dengan rekan-rekan kerja lainnya. That is why hustle culture is toxic.
Perlu diingat, tidak apa-apa jika kamu ingin meluangkan waktu untuk bersantai, beristirahat, dan menjaga kesehatan mental kamu selama bekerja. Gunakanlah waktu istirahat sebaik-baiknya dan atur waktu semaksimal mungkin agar kamu bisa clock-out sesuai dengan waktu normal kerja yang berlaku.
Menunda waktu tidur atau waktu istirahat
Memiliki tekanan untuk tetap sibuk sepanjang waktu seringkali bisa menyebabkan seseorang mengorbankan waktu istirahat. Saking sibuknya, terkadang kamu sampai lupa untuk menikmati waktu senggang di sela-sela jam kerja. Ketika pekerjaan belum selesai di penghujung hari, tidak jarang kamu mencurinya di waktu lain yang kamu punya, seperti waktu tidur dan waktu istirahat.
Alhasil, kamu harus begadang demi menyelesaikan semua pekerjaan yang kamu punya. Hal ini berdampak pada semakin minimnya waktu yang kamu punya untuk bersantai, yang akhirnya membuat kamu tidur semakin larut untuk bisa bersantai sejenak setelah lembur.
Meskipun begadang tampaknya sudah menjadi hal yang biasa di sekitar kita, perlu diingat bahwa begadang bisa berdampak negatif pada kesehatan mental maupun fisik. Contohnya seperti mengurangi tingkat produktivitas, meningkatkan rasa lelah dan mudah tersinggung, hingga memicu penyakit seperti kardiovaskular dan diabetes. Untuk itu, cobalah untuk menetapkan rutinitas tidur setiap hari sehingga kamu bisa bangun secara konsisten di pagi hari dengan perasaan yang lebih baik.
Membandingkan diri dengan orang lain
Salah satu hal yang paling toxic dalam hustle culture adalah adanya dorongan untuk bersaing, sehingga kamu tanpa sadar jadi membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Membandingkan diri dengan orang lain bisa membuat kamu meragukan value dan menetapkan ekspektasi yang tidak realistis untuk diri sendiri.
Misalnya, kamu melihat rekan kerja sangat giat bekerja hingga malam hari, atau bahkan pada bekerja di akhir pekan. Karenanya, kamu jadi terdorong untuk memiliki dedikasi kerja yang besar seperti rekan kerja tersebut. Nah, hal ini justru bisa membuat kamu burnout hingga stres nantinya.
Hal terpenting yang perlu kamu lakukan yaitu fokus pada diri sendiri dan tidak terpaku pada orang lain. Alih-alih membandingkan diri dengan orang lain, kamu bisa menuliskan goals seperti apa yang ingin kamu capai dalam pekerjaan.
Kurangnya minat atau waktu untuk menikmati hobi
Karena hustle culture mendorong kamu untuk terus bekerja 24/7, kamu mungkin jadi kesulitan untuk menikmati waktu senggang dan melakukan hobi yang ibaratnya tidak berpengaruh pada tujuan karirmu.
Baca Juga: Apakah pekerja lepas paham dampak RUU Cipta Kerja?
Membiarkan diri terus bekerja tanpa adanya waktu untuk bersantai di penghujung hari bisa berbahaya bagi kesehatan mental, lho. Pasalnya, orang-orang yang suka melakukan hobi, memiliki kecil kemungkinan menderita stres, bad mood, dan depresi. Hobi juga sangat bagus sebagai sarana untuk bersosialisasi dengan orang lain.
Menetapkan ekspektasi yang tidak realistis
Dampak positif hustle culture mungkin mendorong seseorang menjadi ambisius. Ya, tidak apa-apa untuk menjadi seseorang yang ambisius. Namun, jika hal tersebut sampai membuat kamu menempatkan diri di bawah tekanan setiap kali ingin mencapai tujuan, bisa membuat kesehatan mental kamu terganggu juga.
Mengikuti budaya gila kerja di mana ‘setiap detik harus diperhitungkan’ bisa membuat kamu menetapkan ekspektasi yang tidak realistis. Contohnya, kamu memiliki lima pekerjaan di minggu ini, namun kamu sangat terpacu untuk menyelesaikannya sekaligus tanpa memberikan diri untuk beristirahat sejenak. Ini merupakan ekspektasi yang tidak realistis, karena akhirnya kamu harus mengorbankan waktu istirahat demi mencapai tujuan tersebut.
Ibaratkan kerja seperti lari maraton, di mana kamu butuh mencapai beberapa titik secara perlahan sebelum akhirnya sampai ke tujuan utama. Jadi, ketika menetapkan tujuan, cobalah untuk menyusun timetable agar kamu bisa membagi waktu kerja dengan maksimal tanpa harus mengambil waktu istirahat di luar jam kerja.